HR. At-Tirmidzi : "Ya Allah, sesungguhnya aku mohon perlindungan kepada Engkau dari hati yang tidak pernah tunduk, dari do'a yang tidak didengar, dari jiwa (nafsu) yang tidak pernah merasa puas, dan dari ilmu yang tidak bermanfaat."
|
Sabtu, 2 November 2013 pukul 22:22 WIB
Penulis : Rahmat Hidayat Nasution
Bulan waktu yang lalu, hampir seluruh surat kabar Indonesia ‘ribut’ memberitakan kabar yang cukup “panas” dan berkaitan dengan agama Islam. Diawali dengan berita UU Antipornografi, bebasnya Abu Bakar Ba’asyir dari lapas Cipinang, kasus pemondokan haji, hingga berita pembubaran ormas-ormas Islam. Semuanya berita-berita tersebut bernuasa konflik. Dan konflik yang paling seru dan panas adalah, UU Antipornograri dan pembubaran ormas-ormas Islam yang dinilai anarkis. Dinilai seru dan panas, karena ‘merembet’ sampai kepada permasalahan Islamophobia. Yaitu, Kekhawatiran dan ketakutan akan bangkitnya Islam fundamentalis.
Salah satu media yang menampilkan berita tersebut adalah situs online harian Rakyat Merdeka. Tak hanya sampai di situ, situs inipun menampilkan berita wawancara bersama “gembong” Jaringan Islam Liberal (JIL), Dawam Raharjo, pada 14/6/2006. Dalam wawancara tersebut, Dawam meminta kepada pemerintah untuk tidak ragu-ragu lagi membubarkan ormas-ormas Islam yang dinilai anarkis. Bahkan, ormas-ormas itu, kata Dawam, telah menyimpang dari konstitusi negara dan bertujuan untuk melaksanakan syari'at Islam, dengan dalil tindakan anarkis ormas-ormas Islam ‘garis keras’ terhadap kelompok Ahmadiyah yang berada di Parung, Bogor.
Ternyata, Dawam telah “bermesraan” dengan kelompok Ahmadiyah, sehingga dia menilai kelompok tersebut sangat layak untuk dilindungi. Jika Dawam menilai bahwa ormas-ormas yang menggunakan nama Islam merusak persatuan dan kesatuan bangsa, kelompok Ahmadiyah sendiri juga telah mengaburkan konsepsi tauhid Islam. Dan jelas, ini juga merusak persatuan dan kesatuan bangsa, karena telah merubah akidah murni umat Islam di Indonesia.
Tak pelak lagi, bahwa maksud Dawam Raharjo meminta pemerintah untuk tidak ragu-ragu membubarkan ormas-ormas Islam hanya takut akan terlaksananya syari'at Islam di Indonesia. Ternyata, Jaringan Islam Liberal (JIL) memainkan lagu lama kaum Islamophobia atau bisa jadi JIL adalah konotasi Konsepsi kaum Islamopobia.
Keselerasan Konsep JIL dengan Konsep Islamophobia
Islam Liberal muncul di dunia ini sejak 1950, dengan tokoh terkenalnya Ali Ashgar Fyzee. Ali menilai, bahwa Islam liberal merupakan nama lain dari Islam protestan. Karena misi dari jaringan ini adalah Islam yang nonortodoks atau Islam yang kompatibel terhadap perubahan zaman; dan Islam yang berorientasi ke masa depan dan bukan ke masa silam. Sedangkan di Indonesia, JIL mulai ada pada 1980 dengan tokoh utamanya Nurcholis Majid melalui gagasan sekularisasi dan ide-ide teologi inklusif dan pluralisnya. Namun, baru terlihat pola ‘permainan’ opini mereka pada Maret 2001, diawali dengan menggelar kelompok diskusi maya (mailits). Baru pada 25 Juni 2001, JIL berani menampilkan “permainan” opininya yang pamungkas di surat kabar-surat kabar dan stasiun radio. Harian Jawa Pos menjadi “lapangan” perdana untuk menampilkan kehebatan opini mereka.
Secara global, pola konsepsi yang dipakai JIL di seluruh dunia nyaris sama. Sama-sama tidak setuju pemberlakuan syari'at Islam, sama-sama getol memperjuangkan sekularisasi, emansipasi wanita, “menyamakan” konsepsi teologis semua agama sama, dan lain-lain.
Bila dilihat lebih ke dalam, langkah Islam Liberal, sebenarnya, mengikuti pola ‘permainan’ Kamal At-Tatruk, pemimpin sekuler Turki. Turki resmi menjadi negara sekuler sejak proklamasi kemerdekaan negara Republik Turki pada 29 Oktober 1923. Dan terpilih sebagai presiden saat itu Mustafa Kamal yang berganti nama dengan Kamal at-Tatruk. Sejak menjadi presiden, Kamal At-Tatruk ingin menjadikan negara Turki modern yang berdasarkan kebudayaan Barat, dengan paksa ia menerapkan segala konsep yang direncanakannya. Tak ada lagi hukum Islam yang diterapkan di Turki. Langkah pertamanya dengan melarang adzan dengan bahasa Arab dan diubah dengan bahasa Turki, tidak ada lagi fakultas theologi dan diubah menjadi Institut Riset Islam. Dalam masalah perkawinan, hukum perkawinan pun tidak lagi dilakukan sesuai dengan syari'at Islam, tetapi dilakukan sesuai dengan hukum sipil yang diadopsi dari Swiss. Sehingga wanita pun mendapatkan hak cerai sama dengan laki-laki. Poligami dilarang. Bahkan wanita muslimah memiliki hak untuk menikah dengan pria nonmuslim.
Apa yang ‘diperankan’ Kamal at-Tatruk juga telah ‘diperankan’ JIL di Indonesia melalui opini-opini mereka dalam buku Fiqih Lintas Agama misalnya. Dalam buku itu dimuat salah opini mereka tentang bolehnya nikah beda agama. “Soal pernikahan laki-laki nonmuslim dengan wanita muslimah merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, di antaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita muslimah boleh menikah dengan laki-laki nonmuslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaanya.”
Jelas sekali, kalau konsep yang dipakai JIL merupakan konsep yang selaras dengan apa yang dilakukan Kamal at-Tatruk, yang bersumber dari Imperialisme Barat. Dengan keselarasaan konsep tersebut, juga dapat ditimbulkan pertanyaan, benarkah kaum Imperialisme Barat, termasuk kaum Zionis, menggunakan JIL untuk menghancurkan musuh-musuhnya? Jika dijawab benar, mungkin terlalu dini dan berlebihan. Tapi, menariknya, slogan-slogan dan jargon-jargon yang diungkapkan imperialis Barat, hampir sama dengan apa yang diusung Islam Liberal. Karena eksistensi Islam Liberal antara lain dibangun di atas landasan pemikiran yang sederhana, “Hancurkan Islam fundamentalis!”
Jadi, misi ‘kotor’ kelompok Islam Liberal sejalan dengan misi imperiaslisme Barat, yaitu memberangus Islam fundamentalis. Melihat adanya kesejajaran misi tersebut melahirkan pertanyaan kembali, apakah kelompok Islam Liberal memang bentukan Barat, agen misi Barat, atau bermaksud mengabdi pada proyek pelestarian imperialisme Barat? Jika memang Islam Liberal merupakan proyek kolonialis imperialis Kristen Barat, maka tidak sulit untuk memahami bahwa kelompok ini akan melanjutkan misi Snouck Hourgronje. Yaitu, berusaha keras memerangi Islam militan dan mencegah fanatisme agama. Maka tak heran, jika kelompok ini sangat aktif mengkampanyekan agar umat Islam jangan peduli pada masalah “Kristenisasi” dan jangan bawa-bawa agama dalam politik.
Oleh karena itu, marilah kita untuk lebih semangat mempelajari ajaran-ajaran Islam dengan kaffah, dengan melihat benar-benar keotentikan sumber yang dipakai. Sehingga kita tidak terkecoh oleh umpan-umpan opini yang dimainkan JIL. Akhirnya kemurnian akidah dan syari'at kita benar-benar terjaga.
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Rahmat Hidayat Nasution sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.