Umar bin Abdul Aziz : "Jika engkau bisa, jadilah seorang ulama. Jika engkau tidak mampu, maka jadilah penuntut ilmu. Bila engkau tidak bisa menjadi seorang penuntut ilmu, maka cintailah mereka. Dan jika engkau tidak mencintai mereka, janganlah engkau benci mereka."
|
Selasa, 24 September 2013 pukul 22:00 WIB
Penulis : Rahmat Hidayat Nasution
Muhammad bin Abu Bakar dalam kitabnya “Al-Mawaaidz Al-Ushfuuriyyah” mencantumkan cerita Mansur Ibnu Ammar.
Dalam perjalanan haji, aku tinggal di salah satu jalan di daerah Kufah. Karena aku memiliki keperluan, meski sudah tengah malam aku tetap menempuh jalan yang gelap di daerah itu. Ketika aku melintasi sebuah rumah, kudengar suara seseorang tengah bermunajat kepada Allah. ‘Ya Allah, dengan keagungan dan kebesaran-Mu, aku melakukan maksiat selama ini bukanlah karena menentang-Mu. Aku melakukan maksiat bukan karena kebodohanku, tapi karena salahku. Aku lengah. Aku mengandalkan kemurahan-Mu untuk melakukan kesalahan. Harta yang Kau berikan lebih banyak kulakukan untuk maksiat selama ini. Aku bodoh telah melakukan maksiat. Terimalah alasanku ini, Ya Allah. Jika tidak, kesedihan yang panjang akan menyiksaku.’
Begitu dia diam, kubacakan ayat Al-Qur’an, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. Bahan bakarnya dari manusia dan batu. Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras yang tidak pernah menolak perintah Allah. Semua yang diperintahkan (Allah) selalu dikerjakan.” (QS. At-Tahrim [6] : 6).
Tiba-tiba kudengar jeritan yang sangat keras dan suara yang mengagetkan, lalu berhenti. Tak kudengar lagi suara apapun. Akupun langsung kembali pulang ke tempat tinggalku.
Keesokan harinya, aku melintasi daerah itu kembali. Kudengar tangisan. Kulihat banyak orang melayat ke rumah itu. Ada seorang wanita tua sedang meratap. Setelah kuselidiki ternyata ibu si mayat. “Semoga orang yang melantunkan ayat tentang ancaman azab kepada anakku tidak diberi pahala oleh Allah. Sedangkan putraku ketika itu sedang melakukan shalat malam. Begitu mendengar ayat tersebut, ia langsung kejang,” ujar wanita tua tersebut dengan terisak-isak.
Pada malam harinya, aku bermimpi bertemu laki-laki itu.
“Bagaimana kamu diperlakukan Allah?” tanyaku.
“Allah menganggapku seperti syuhada’ dalam perang badar.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Para Syuhada’ di perang Badar tertebas karena pedang kafir. Sedangkan aku tertebas karena pedang Allah yang Maha Pengampun.”
Apa yang dapat dipetik dari kisah di atas? Hemat saya, ada dua. Pertama, dalam berdo'a jangan sungkan-sungkan menyebutkan kesalahan yang telah dilakukan. Lalu, mohonlah kepada Allah untuk diampuni dan akui bahwa itu semuanya terjadi karena kesalahan diri sendiri. Kedua, munculkanlah kesedihan dan ketakutkan tiap kali membaca ayat-ayat yang berbicara azab di dalam Al-Qur’an. Laki-laki yang sedang tahajjud tersebut meninggal lantaran membayangkan betapa luar biasanya siksa yang diberikan Allah di neraka. Ia tidak kuat membayangkan bagaimana kasar dan keras malaikat yang diperintahkan Allah untuk menghukum orang yang berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri dan orang.
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Rahmat Hidayat Nasution sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.