Pertama: Mendahulukan Keridhaan Allah, dan Keridhaan Pasangan
Banyak orang beranggapan, bahwa bila ingin rumah tangga senantiasa rukun, tentram dan bahagia, ia harus berusaha memperturutkan keinginginan pasangannya, meski itu harus berlawanan dengan kehendak mereka sendiri, atau bahkan melanggar syariat Allah. Karena bayangan kemarahan pasangan
senantiasa tergambar di matanya sebagai hal yang paling menakutkan. Karena itu, mereka berusaha mencari perhatian dan mengambil ‘hati’ pasangan mereka, meski dengan mengorbankan kepatuhannya kepada Allah.
Padahal, Nabi SAW bersabda,
مَنِ الْتَمَسَ رِضَى اللهِ بِسَخَطِ النَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَأَرْضَى النَّاسَ عَنْهُ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ اللهِ سَخِطَ اللهِ عَلَيْهِ وَأَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاسَ
“Siapa saja yang mencari keridhaan Allah dengan hal-hal yang dimurkai oleh umat manusia, pasti Allahpun akan meridhainya, dan umat manusia juga akan menyukainya. Siapa saja yang mencari keridhaan umat manusia dengan hal-hal yang dimurkai oleh Allah, pasti Allahpun akan murka terhadapnya, sementara umat manusia justru akan membencinya[1].”
Ibnu Rajab Al-Hambali menjelaskan,
“Manusia paling berbahagia adalah yang memperbaiki hubungannya dengan Allah. Karena, dengan cara itu, Allah akan memperbaiki hubungannya dengan manusia. Orang yang mencari keridhaan manusia dengan hal-hal yang membuat Allah murka, pasti pujian manusia terhadapnya, berubah menjadi cacian belaka[2].”
Kedua: Membangun Cita-cita Akhirat
Tentu kita semua tahu, bahwa cita-cita tertinggi dalam diri kita sebagai mukmin adalah masuk Surga, dan beroleh keridhaan Allah Yang MahaPengasih.
Keinginan adalah manusiawi. Tapi kerap kali keinginan suami maupun isteri, membayangi-bayangi pikiran mereka sepanjang waktu. Sehingga tak ada hari tanpa memikirkan target dan pencapaian yang harus diraih. Sebuah kegagalan, akan menyisakan tumpukan kegundahan dalam hati. Bagaimana bila kegagalan demi kegagalan terus berdatangan? Bersiaplah menjadi manusia paling melarat di dunia.
“Orang yang cita-citanya tertuju pada dunia saja, urusannya akan Allah cerai beraikan, kemiskinan senantiasa terba-yang di pelupuk matanya, sementara dunia yang mendatanginya hanya sebatas yang telah Allah tetapkan baginya saja. Dan siapa saja yang cita-citanya tertuju pada akhirat, pasti Allah beri keteguhan pada kesatuan jiwanya, kekayaan selalu melekat dalam hatinya, sementara dunia mendatanginya secara pasrah.[3]“
Ketiga: Meningkatkan Kwalitas Karakter dan Kebiasaan
Ada sebuah hal sederhana yang kerap diabaikan oleh pasutri, padahal itu amatlah berpengaruh pada proses pembahagiaan hidup dan penyejahteraan jiwa. Hal itu tersebut adalah perbaikan karakter dan kebiasaan.
Ada isyarat dalam hadits, yang tidak dipahami oleh banyak orang.
“Janganlah seorang suami beriman membenci istrinya yang beriman. Karena kalau ia tidak menyukai salah satu tabiatnya, pasti ada tabiat lain yang membuatnya merasa senang[4].”
Hadits ini sering digunakan untuk makna bahwa seseorang harus berusaha sabar menghadapi karakter dan kebiasaan pasangan yang tidak dia sukai. Padahal sesungguhnya, hadits juga memberi isyarat tegas bahwa setiap pasangan harus berusaha mengoptimalkan sisi karakter yang disukai oleh pasangan, agar dapat meminimalisir pengaruh karakter dan kebiasaan buruknya terhadap pasangannya tersebut.
Keempat: Menghargai Pasangan
Apapun yang diusahakan oleh manusia, selalu saja menyisakan kekurangan dan kealpaan. Alangkah baiknya, bila kitapun belajar menghargai kelebihan dan kekurangan orang lain, terlebih lagi, bila orang lain itu adalah pasangan kita. Suami, atau isteri kita.
Langkah keempat ini adalah langkah antisipasi atas segala kekurangan yang terjadi, saat segala upaya telah dilakukan. Sekadar menyadarkan kita, bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Maka kebahagiaan diri kita hanya bisa dicapai, bila kita mampu memahami segala kekurangan siapapun yang dengannya kita berinteraksi. Terutama sekali pasangan kita sehari-hari.
Yang Kelima: Bertawakal Kepada Allah
Manusia tidak mungkin menjemput kebahagiaan, dengan hanya mengandalkan kemampuannya sendiri. Manusia, tetaplah manusia dengan segala keterbatasannya. Tentu ada kekuatan tak terbatas yang mampu membolak-balikkan hati. Yang mengubah yang tidak ada menjadi ada, yang ada menjadi tidak ada. Kekuatan itu adalah kekuasaan Allah, YangMahaPerkasa.
Di sisi lain, manusia tak pernah bisa melepaskan diri dari kekurangan yang menjadi karakter dasarnya,
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apa-bila ia mendapat kebaikan ia amat kikir..” (Al-Ma’aarij : 19-21)
Pasutri harus membiasakan diri untuk bertawakal kepada Allah. Beban hidup, persoalan, keragaman peristiwa, hal-hal yang tak terduga, semua sering dapat mengejutkan dan menindih jiwa kita dengan beban yang berat.
Seringkali sesuatu itu menjadi tak seindah yang diba-yangkan. Seringkali hal-hal terjadi tak sewajar yang kita pikirkan. Maka, hanya dengan bertawakal segala persoalan itu mengendap menjadi ampas-ampas beban yang tak lagi menyiksa. Simak, sabda Nabi SAW,
لَوْ كَانَ لِيْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا لَسُرُّنِيْ أَنْ لاَ تَمُرُّ عَلَيَّ ثَلاَثَ لَيَالٍ وَ عِنْدِيْ مِنْهُ شَيْءٌ،
إِلاَّ شَيْءٌ أَرْصَدَهُ لِدَيْنٍ
“Seandainya aku memiliki emas sebanyak gunung Uhud, maka aku sangat bergembira kalau tidak sampai berlalu tiga hari lamanya hingga tidak ada sedikit pun yang tersisa dari emas itu, kecuali sesuatu yang aku siapkan untuk membayar utang.”[5]
Kita boleh saja berusaha, tapi segalanya sudah tersurat. Keyakinan ini seharusnya memberi kekuatan lebih pada jiwa pasutri, sehingga senantiasa menyadari bahwa mereka hanyalah manusia biasa. Dan bahwa asalkan mereka bertakwa, tidak ada hal yang dapat mencelakakan mereka.
“Ketahuilah, seandainya seluruh manusia berkumpul untuk mendatangkan manfaat padamu maka mereka takkan dapat memberikan manfaat itu kecuali manfaat sebatas yang telah Allah tetapkan padamu. Ketahuilah, seandainya mereka semua bersatu untuk mencelakakan dirimu, maka mereka tak dapat menda-tangkan mudharat kecuali sebatas mudharat yang telah Allah tetap
kan atas dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran telah kering.”[6]
———————-
[1] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi IV : 609. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban I : 510. Diriwayatkan oleh Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaa-id IV : 71. Juga oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannif VI : 198. Lalu oleh Ath-Thabrani X : 215.
[2] Lihat Jami’ul Uluum wal Hikam I : 163.
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah nomor 949.
[4] Diriwayatkan oleh Imam Muslim II : 1091 dan Ahmad II : 329.
[5] Shahih Al-Al-Bukhari, No. 6443
[6] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, No. 244. Beliau berkomentar, “Hadits ini hasan Shahih”.
7 September 2011 pukul 06:41 WIB • 2215 Klik
• 0
Tanggapan
•
Suka