Ramadhan seluruhnya kebaikan, siangnya berpuasa dan qiyamullail (terawih) di malam harinya, sementara infaq yang dilakukan di Ramadhan bagaikan infaq fi sabilillah demikianlah ucapan Umar Ibnul Khattab ra. ketika Ramadhan datang. Setiap muslim seharusnya mencontoh sunnnah khulafa'ir Rasyidin dalam menyambut kedatangan Ramadhan; yaitu dengan menyiapkan jiwa dan membersihkan hati, hati yang berbunga-bunga, berdo’a dan saling berucap selamat .
Imam Suyuthi berkata; Al-Asfahaniy di dalam Targhibnya meriwayatkan hadits dari Salman Al-Farisi, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berkhutbah pada hari terakhir dari bulan Sya’ban. Beliau bersabda, 'Wahai manusia telah datang kepadamu bulan agung, bulan yang penuh berkah, bulan yang di dalamnya terdapat satu malam, yang nilainya lebih baik dari seribu bulan …….'.”
Ibnu Rajab (795 H) berkata, "Hadits ini adalah dasar hukum bagi ucapan selamat atas kehadiran bulan Ramadhan."
Syaikh Shaleh Fawzan berkata, “Saling mengucapkan selamat atas kehadiran bulan ini dan perasaan bergembira dalam menyambut kedatangannya, menunjukkan adanya niat kuat dalam kebaikan. Dan para salaf dahulu saling memberi ucapan selamat atas datangnya Ramadlhan, karena meneladani Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sebagaimana diterangkan dalam hadits Salman yang sangat panjang.
Begitulah seharusnya kita bersikap, akan tetapi dalam kenyataannya kita mendapatkan beragam cara masyarakat dalam penyambutan Ramadhan. Setidaknya ada tiga ragam :
Kelompok Pertama :
Kelompok muslim yang sangat gembira dalam menghadapi dan menyambut Ramadhan dan kegembiraan mereka diluapkan dalam bingkai sunnah dan mencontoh salaf. Hal ini disandarkan kepada beberapa sebab, diantaranya :
1. Mereka telah terbiasa melaksanakan puasa-puasa sunnah dan menegakkan shalat berjamaah dan shalat-shalat sunnah, sehingga menghadap bulan shiyam dan qiyam tidaklah asing lagi bagi mereka.
Ulama-ulama salaf memiliki segudang kisah unik yang patut dicontoh dalam menghidupkan ibadah-ibadah yang hukumnya sunnah. Antara lain, dikisahkan ada sekelompok salaf yang menjual seorang budak perempuannya. Tatkala Ramadhan tiba, sayyid (tuan) yang baru ini menyambut Ramadhan dengan menumpuk berbagai macam makanan dan minuman –seperti kebanyakan yang dilakukan oleh sekarang- maka budak tadi bertanya dengan nada heran, “Apa yang tuan-tuan lakukan?” Mereka menjawab, “Untuk persiapan Ramadhan”. Maka budak tadi melampiaskan suara hatinya dengan mengucapkan, “Apakah anda semua tidak pernah berpuasa selain Ramadhan?! Demi Allah, saya telah datang dari satu rumah yang tahunnya padat dengan ibadah Ramadhan (maksudnya ibadah puasa) bagi mereka. Karena itu saya rasa, saya tidak perlu berada ditengah-tengah anda semua, kembalikan saya kepada mereka.” Maka budak itu pun kembali kepada sayyid yang pertamanya.
Dikisahkan pula bahwa Al-Hasan bin Shaleh –salah seorang ahli zuhud, ibadah, wara’ dan taqwa-, ia selalu membagi malam menjadi tiga bagian untuk tiga orang. yaitu dirinya, saudaranya dan ibunya. Ketika ibunya meninggal dunia dia dan saudaranya membagi malam menjadi dua bagian, separuh untuk dirinya dan separuhnya lagi untuk saudaranya. Dan ketika saudaranya meninggal. Maka dia menhidupkan seluruh malamnya dengan “qiyamullail”.
Al-Hasan bin Shaleh ini memiliki seorang jariyah (budak wanita), lalu jariyah ini dibeli oleh seseorang. Dan ketika tengah malam di rumah tuan barunya. Jariyah berteriak-teriak, “Wahai penghuni rumah ……..shalat…….shalat”. Maka seluruh penghuni rumah tersentak dan terbangun, sambil gugup mereka bertanya, “Apa sudah masuk waktu Shubuh?!. Maka jariyahpun tidak kalah herannya, dia balik bertanya: “Tuan-tuan tidak pernah shalat selain yang wajib ?” Maka pada pagi harinya jariyah itu kembali ke rumah Al-Hasan bin Shaleh. Dia berkata: “Anda telah menjual saya kepada orang-orang jelek yang tidak shalat kecuali yang wajib dan tidak berpuasa kecuali yang wajib pula. Tolonglah tebus saya dan kembalikan saya kemari”. Maka Al-Hasan pun mengembil kembali jariyah itu.
2. Mereka yakin bahwa dengan mereka menghindari kelezatan dunia sebagaimana yang diatur oleh syariat, merupakan sebab atau pun syarat untuk mendapatkan kelezatan akhirat. Karena itu mereka sangat bergembira menghadapi Ramadhan, karena di situlah mereka bisa membuktikan kesungguhan mereka meraih kelezatan akhirat kepada Allah, dengan tidak melakukan makan, minum dan jima’ di siang hari Ramadhan.
3. Mereka sangat memahami kedudukan Ramadhan yang sangat agung dan mulia, sebagai ajang untuk menggapai pahala, rahmat dan ampunan, dengan cara berlomba-lomba dalam melakukan ketaatan dan pendekatan kepada AllahSubhanahu wa Ta'ala.
4. Mereka sangat memahami dan menyadari bahwa yang disebut amal shaleh adalah amal yang dikerjakan sesuai dengan syariat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dengan ikhlas karena dan untuk Allah Ta'ala semata. Karena itu mereka merasa cukup dengan aturan-aturan Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam menyambut dan mengisi hari-hari Ramadhan, tanpa mengubah atau menambahi.
Inilah kelompok yang paling sempurna di dalam mengikuti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan sunnah para sahabat ra.
Kelompok Kedua :
Kelompok muslim yang sangat bergembira dalam menghadapi dan menyambut Ramadhan, tetapi karena kurang didasari oleh ilmu syar’i, sehingga mereka masih melakukan hal-hal yang kurang terpuji menurut As-Sunnah, atau hal-hal yang justru dilarang oleh ilmu syariat. Seperti mereka meluapkan kegembiraan dengan petasan (mercon, atau menyambut Ramadhan dengan “nyekar”, yaitu tabur bunga di kuburan. Atau ziyarah kubur didasarkan pada adat istiadat, bahkan ada yang melakukan upacara “nyadran”, yaitu melakukan bersih-bersih di kuburan kemudian pada sore harinya melakukan pesta kenduri atau selamatan di kuburan. Dan yang lebih ringan dari itu adalah melakukan “megengan”, yaitu kenduri atau selamatan untuk menyambut Ramadhan yang dilakukan di rumah-rumah atau masjid atau di jalan-jalan. Tentu hak-hal di atas bukanlah termasuk cara-cara yang diajarkan oleh As-Sunnah di dalam menyambut Ramadhan.
Kelompok ketiga :
Kelompok muslim yang merasa berat dengan datangnya Ramadhan, karena mereka tidak terbiasa melakukan puasa sunnah dan tidak terbiasa menghadiri jama’ah di masjid. Jadi keberatan mereka terpulang kepada dua sebab, yaitu :
Sebab kedua, mereka sudah terbiasa hidup leluasa dalam kenikmatan dan pemuasan syahwat, maka Ramadhan bagi mereka akan menghalangi keinginan dan kepuasan syahwatnya.
Sebab kedua, karena mereka terbiasa mengabaikan perintah-perintah Allah. Maka begitu Ramadhan tiba, mereka baru mengenal masjid, mengikuti jama’ah fardhu dan shalat tarawih, sehingga terasa berat sekali olehnya. Karena itu kelompok inilah yang kemudian mencari alternatif-alternatif lain yang bisa memuaskan selera mereka, seperti jalan-jalan di pagi hari dengan berpasang-pasangan, dan lain-lain. Akhirnya setiap Ramadhan akan tiba, kelompok ini berubah menjadi kelompok yang bergembira, bukan karena ingin mengisi dengan ibadah, melainkan ingin bersenang-senang. Ramadhan bagi mereka adalah bulan liburan dan hiburan. Tentu kita semua berharap semoga kita dan seluruh kaum muslimin disadarkan oleh Allah dan mendapatkan taufiqNya, amin.
Sumber: aldakwah.org