HR. At-Tirmidzi : "Pena (takdir) telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering, apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa kemenangan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan."
|
http://kotasantri.com |
Ahad, 22 Desember 2013 pukul 22:00 WIB
Penulis : Redaksi KSC
Setiap melihat bintang, ia selalu ingin menangis. Bukan, bukan hanya ingin, namun perlahan airmata itu pasti meleleh, menghantam jiwanya. Kemudian tangisan itu akan berubah menjadi marah. Kerlip bintang seakan mengejeknya. Ia ingin melempar bintang-bintang itu dengan kemarahannya. Kemarahan pada ketakberdayaannya, dan mungkin juga pada kebodohannya.
"Kita harus seperti bintang, jangan seperti bulan."
"Kenapa, Teh? Bukankah bulan lebih terang dari bintang? Bintang hanya berkelip, kecil. Tapi bulan, lihat tuh, Teh, bulat dan terang."
"Tapi itu bukan sinar dari bulan sendiri. Dia mendapat sinar itu dari matahari. Sedangkan bintang, sinarnya itu adalah sinar yang berasal dari dirinya sendiri. Kita harus bersinar. Sinar yang memancar dari dalam."
"Begitu, Teh?"
"Mbeeekkk..."
"Nah, saudaranya Ifat tuh yang jawab."
Dan tawa berderai. Ia masih ingat itu. Kalimat-kalimat yang dirangkai Teh Asma dan adik bungsunya, Fatimah. Kalimat-kalimat yang juga sering diulang sang kakak pada dirinya.
Ya, ia masih ingat dan tak mungkin akan lupa. Berbaring di atas dipan kayu yang sudah setengah reot di depan rumah adalah sebuah ritual yang sering ia lakukan dengan kakak dan kedua adiknya. Ritual yang diturunkan oleh ayah mereka sejak mereka kecil yang kerap menidurkan keempat anaknya di bawah langit berbintang sambil mendongeng, dan juga berharap agar anak-anaknya kelak menjadi bintang-bintang kehidupan. Sebuah harapan yang kadang diwujudkan berupa buku-buku dan majalah bekas yang dibeli di kota, tempatnya bekerja sebagai buruh, yang kemudian dengan lahap dibaca oleh keempat anak perempuannya di rumah.
Beratap langit, memandang keperkasaanNya, sambil menghitung gugusan bintang yang membentuk formasi tertentu. Sebuah kenikmatan tersendiri baginya menghilangkan kepenatan setelah menempuh perjalanan jauh ke kota kecamatan untuk belajar. Juga kepenatan sang kakak yang telah seharian menanam padi di sawah. Mereka akan bergantian memijat, dan baru masuk ke rumah setelah terdengar dengkur Fatimah dan Aminah, kedua adik mereka.
Ia tahu, kakaknya memang berbeda dengan perempuan-perempuan di desanya. Meski hanya tamat Sekolah Dasar, Teh Asma cukup cerdas dan berpikiran maju. Buah dari harapan ayah dan ibu mereka yang kerap menyenandungkan impian keberhasilan sejak mereka kecil, untuk tidak bernasib sama seperti mereka.
"Kamu harus jadi bintang, Isma. Paling tidak di desa ini." Itu kalimat yang diucapkan Teh Asma padanya hampir tiga tahun lalu, menjelang kelulusan SMA. "Kamu harus kuliah."
Kuliah?! Ah, ia hanya tertawa menanggapi perkataan kakaknya itu. Jadi bintang?
"Teh Asma jangan mimpi, ah!"
"Lho, siapa yang mimpi?" kakaknya balik bertanya.
Ia tertawa getir. Harapan yang terlalu jauh. Dia bisa sekolah sampai SMA saja sudah prestasi tersendiri di desa ini, desa yang masih dianggap tertinggal, meski hanya berjarak sekian ratus kilometer dari pusat pemerintahan negeri ini. Bahkan prestasi tinggi bagi keluarganya sendiri. Masih terbayang senyum di wajah ibunya saat menjual dua ekor kambing peliharaan mereka untuk membayar uang masuk SMA. Senyum yang tak terbayar karena beberapa bulan kemudian sang ibu wafat, menyusul ayahnya yang lebih dulu wafat lima tahun sebelumnya tertabrak truk saat kembali ke kota untuk mengadu nasib.
"Teteh menyuruhmu sekolah tinggi bukan semata untuk gengsi, atau untuk meninggikan nama keluarga kita. Bukan, bukan sekadar itu. Tapi agar kamu menjadi perempuan yang tegar, yang kuat."
"Menurut Isma, Teteh adalah perempuan yang kuat dan tegar tanpa harus kuliah. Teteh toh cuma tamat SD. Perempuan-perempuan di desa kita juga tegar-tegar dan kuat-kuat. Bagaimana tidak tegar dan kuat bila mereka bekerja keras untuk mendukung suami, untuk menghidupi keluarga, panas dan hujan bertani di sawah."
Ia beralasan. Alasan yang kemudian dipatahkan oleh sang kakak.
"Itu tak cukup. Kamu harus cerdas."
"Cerdas kan tidak harus dengan kuliah, Teh. Banyak orang yang makan bangku universitas, tapi pikiran mereka tak ubahnya lulusan SMP bahkan SD."
"Memang ada, makanya mereka bukan bintang. Yang Teteh ingin, Isma jadi bintang, bintang kehidupan."
"Kayak judul lagu aja, Teh." Ia tertawa. Getir.
"Pokoknya kamu harus kuliah." Tekad sang kakak tak bisa tergoyah.
"Apakah ini keinginan Teteh saja? Obsesi?"
"Keinginan yang baik, bukan?" Teh Asma tetap berkeras. Tangannya cekatan melipat pakaian.
"Isma mau kerja saja, Teh," ia memohon. "Kita nggak usah membuang uang untuk sesuatu yang jauh dari jangkauan."
"Membuang uang?"
Ia tahu, kakaknya marah.
"Bukankah lebih baik uangnya disimpan untuk Imah dan Mina melanjutkan SMA?" Ia memandang kedua adiknya yang masih kelas 1 SMP dan 5 SD itu. Debat sang kakak tak mengganggu lelap mereka. Keluarga mereka termasuk beruntung, tak banyak yang bisa mengecap sekolah hingga SMA.
"Uang bisa kita cari lagi."
Kukuh.
Dan ia luluh.
Sebenarnya ia pun ingin kuliah. Sebagai mahasiswa. Maha, ya, mahasiswa. Sebutan yang begitu tinggi. Tapi ia sadar, orangtua mereka hanya meninggalkan beberapa kambing saja. Sawah tempat keluarga mereka bertani? Ah, mereka hanya menyewa untuk kemudian menyetor hasil panen. Ia tahu kakaknya pekerja keras, selain bertani, Teh Asma bersama beberapa wanita di desanya membuat kerajinan tangan untuk menambah pemasukan.
Tapi, impian yang terlalu mulukkah untuk sang kakak? Berkeras agar ia bisa menjadi mahasiswa di tengah kesempitan yang ada?
***
Satu semester ia lalui. Entah, terkuras sudah semua tabungan sang kakak. Kambing mereka tinggal empat.
"Jangan sampai dijual lagi, Teh, persiapan untuk Imah dan Mina," pesannya.
"Kamu konsen saja kuliah, Is."
"Mana mungkin? Uang kos, makan, dan fotokopi saja menghabiskan sekian ratus ribu sebulan."
Semangat terus dipompa sang kakak melalui surat. IPnya bagus. Ia mencipta senyum lebar di wajah sang kakak. Beasiswa berhasil ia dapat. Uang kuliah untuk satu tahun ke depan tak lagi menjadi pikiran. Namun tetap harus ada dana untuk bayar kost, makan, fotokopi. Buku? Ia menjadi pengunjung setia perpustakaan kampusnya.
Menjelang berakhirnya semester dua. "Kampung kita dilanda kekeringan, Is. Kemarau. Padi huma sama sekali tak bisa ditanam. Palawija juga tak bisa ditanam. Beberapa hari lalu terpaksa menjual si Hitam. Hampir semua warga kampung menjual kambing-kambing peliharaannya untuk membeli beras."
Si Hitam, kambing bernama sesuai warna bulunya. Yang suka ia tarik-tarik janggutnya. Ia tahu, surat itu pemberitahuan tak resmi bahwa kakaknya tak bisa mengirim uang.
***
"Isma berangkat dulu, Bu."
"Hati-hati, Is. Nanti pulang kuliah jangan lupa mampir beli pesanan Ibu, ya."
Ia langkahkan kaki dengan galau menuju kampus. Entah apa komentar sang kakak bila tahu pekerjaan yang ia lakukan sambil kuliah. Ia beruntung tidak perlu kost lagi. Menghemat seratus ribu.
Apakah ia tega ketika puso melanda sawah-sawah di banyak daerah, termasuk desanya, lantas ia masih mengharap uang kiriman? Padahal dia tak yakin kakak dan adik-adiknya bisa makan dengan lauk. Sungguh memalukan.
"Gagal panen, Is. Puso. Semua habis terendam, tidak ada yang bisa dipanen."
Tahun lalu kekeringan, tahun ini banjir. Ujiankah atau teguran? Mengapa seringkali orang kecil seperti mereka yang sangat merasakan. Mulutnya melafazkan istighfar, telah menggugat ketentuanNya.
Ia balas surat sang kakak mengabarkan bahwa kuliahnya lancar dan meminta sang kakak untuk tenang-tenang saja. Semester empat hampir berakhir. Bisakah ia bertahan sampai toga dan jubah berhak ia kenakan di acara wisuda?
***
Tengah malam, penat tubuhnya selesai merampungkan beberapa tugas di rumah tempatnya bernaung. Ia menulis surat, besok akan ia kirim surat tersebut sekaligus sejumlah uang hasil ia bekerja. Kambing mereka tinggal dua.
"Kamu bekerja apa, Is? Jangan sampai kuliahmu terganggu. Tidak apa-apa kami di sini makan seadanya. Kamu harus selesaikan kuliahmu, Is."
Akankah ia jawab surat itu? Ia tak mampu. Ia hanya harus memutuskan. Kuliah memang mimpinya, mimpi sang kakak. Tapi ia merasa sangat berat. Tekadnyakah yang tak membulat? Yang membuat langkah menjadi 'bintang' harapan sang kakak berjalan tertatih?
"Bukankah kata Teteh, Isma harus tegar dan kuat? Kuliah sambil bekerja hanya sedikit cara untuk memperkokoh ketegaran itu, Teh."
Batinnya bergolak.
"Teteh mengerti, Isma pasti berat menjalankannya. Mungkin Teteh terlalu memaksakan diri. Maafkan Teteh. Hujan terus, Is. Kadang kami tetap di sawah bermandi hujan. Kalau sudah begitu deras, kami bernaung. Kamu masih ingat kan, Is, nikmatnya nasi hangat meski hanya dengan sambal, disantap di hari hujan."
Ia hanya menyimpan haru dalam biru.
"Ingat sekali, Teh. Tapi, jangan memaksakan diri. Hati-hati dengan petir, Teh."
***
Langit malam seperti lukisan yang dibuat jutaan tahun lalu. Kerlip bintangnya masih sama. Ia hapus bulir-bulir yang sejak tadi menetes mengairi pipinya. Kali ini ia tak marah pada bintang-bintang itu. Ia hanya marah pada janji yang tak pernah tuntas ia laksanakan untuk sang kakak.
Hampir enam semester ia kuliah, dengan penuh pergolakan batin. Tak tega ia menghancurkan harapan Teh Asma. Tak tega ia bercerita bahwa pendidikan seringkali tak ramah pada orang-orang seperti mereka. Tak tenang ia kuliah, sementara ia tahu sang kakak harus bekerja keras. Bahwa kedua adiknya harus benar-benar menahan keinginan sesekali makan dengan lauk yang cukup hanya agar sang kakak harus menyisihkan uang untuk mendukung kuliahnya.
Tak tega ia bercerita bahwa selama dua tahun ini dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada seorang ibu yang secara tak sengaja dikenalnya saat ia melamar sana-sini bekerja namun tak diterima satupun. Berapakah gaji seorang pembantu? Ia mendapat tumpangan tempat tinggal saja sudah beruntung. Beasiswa pun ia harus bersaing mendapatkannya kembali dengan mahasiswa lain (banyak yang bernasib sama dengannya).
Tak tega ketika akhirnya ia memutuskan untuk menghentikan kuliah. Dan tak tega ia menulis rangkaian kata penjelasan pada sang kakak. Rangkaian permohonan maaf tak dapat mewujudkan asa yang sempat tersemai. Tak tega ia menyampaikannya, sampai hari ketika ia mendapat kabar itu. Kabar bahwa sang kakak termasuk salah satu petani wanita di desanya yang tewas tersambar petir saat sedang menanam padi.
Ah, airmata seakan telah habis ia keluarkan. Matanya kembali menatap milyaran bintang. Ia seakan melihat senyum kakaknya pada salah satu bintang. Entah, senyum kecewa atau senyum bahagia.
Terinspirasi dari peristiwa tragis tewasnya sepuluh petani wanita tersambar petir di Kampung Bayur, Cigeulis, Pandeglang, Desember 2002.
Rahmadiyanti Rusdi # Dimuat Ulang dari Arsip KSC # 10-08-2007
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Redaksi KSC sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.