HR. Al Hakim : "Menyendiri lebih baik daripada berkawan dengan yang buruk, dan kawan bergaul yang shaleh lebih baik daripada menyendiri. Berbincang-bincang yang baik lebih baik daripada berdiam, dan berdiam adalah lebih baik daripada berbicara (ngobrol) yang buruk."
|
Ahad, 22 September 2013 pukul 21:00 WIB
Penulis : Radinal Mukhtar Harahap
Di kamarnya, Mansur terlihat bimbang memikirkan sesuatu. Ada sekelumit pertentangan di batin dan juga pikirannya. Entah mengapa, semenjak usulan untuk berlibur di Bali disetujui oleh teman-temannya, ia kelihatan lesu. Ada yang mengganjal di rongga-rongga otaknya.
"Sur, jadi ikut kan?" Bambang yang menjadi ketua rombongan perjalanan tersebut menyapanya di kamar.
"Hmm... Insya Allah!" ucap Mansur sekenanya. Matanya masih tertuju pada buku yang hanya dilihatnya dan tak dibacanya.
"Semangat donk!" ujar Bambang dan berlalu pergi menyapa teman-teman yang lain.
***
"Bang, Taqi mau ujian akhir. Do'akan ya bang, supaya Taqi dapat hasil yang baik dan bisa kuliah kayak abang. Abang jadi kan menguliahkan Taqi? Taqi mau ambil jurusan kedokteran di UGM, bang. Kata guru Taqi, Taqi insya Allah bisa lulus di sana. Bisa kan, bang?"
"Bisa dan harus bisa. Taqi ga' boleh kalah. Walaupun sekarang abang belum punya uang, abang akan menguliahkan Taqi nanti di UGM. Tapi dengan syarat, Taqi harus benar-benar belajar. Jangan lupa do'akan bapak dan mamak setiap selesai shalat."
"Ya, bang. Taqi akan rajin belajar. Taqi mau jadi dokter spesialis. Taqi mau bantu banyak orang yang ga' mampu berobat. Taqi janji akan rajin, bang!"
"Bagus. Nanti kalau butuh uang atau buku, misscall abang lagi ya? biar abang yang menelpon."
"Iya, bang. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum Salam!"
***
"Ayo, Sur, cuma kamu yang belum bayar. Teman-teman dah pada bayar semua tuh!" Bambang mengingatkan Mansur.
"Berapa jadinya?"
"250 ribu aja!"
"Nanti di sana ngeluarin uang lagi ga?"
"Ga' lagi. Itu udah semua," terang Bambang.
"Ko' murah?" tanya Mansur.
"Ya iyalah. Bambang gitu loch."
***
Hari perjalananpun tiba. Bus melaju kencang melewati jejalanan yang datar berbelok-belok. Ada pepohonan di samping jalan tersebut yang diselingi oleh beberapa rumah dan pertokoan. Pemandangan yang benar-benar menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara zamrud khatulistiwa nan subur lagi permai. Pemandangan yang elok dipandang mata dan menentramkan hati.
Mansur tidak benar-benar menikmati perjalanannya kali ini sebagaimana teman-temannya yang lain. Dalam pikirannya adalah dosa yang besar yang telah ia lakukan dengan berlibur bersenang-senang di Bali tanpa memikirkan tentang bagaimana caranya kelak mendapatkan uang jika adiknya meminta. Ia tak lagi mempunyai uang berlebih untuk itu.
"Kenapa, Sur? Suntuk banget keliatannya?" Imran bertanya.
"Ah, masa' sih? Aku lagi nikmatin pemandangan ko'." Mansur berkelit.
"Ya dah. Aku tidur dulu ya? Nanti kalau dah sampai ke selat Bali dan kita dah naik kapal, bangunin aku ya?"
"Yup," jawab Mansur tanpa mengubah pandangan ke deretan pepohonan yang berdiri kokoh di samping jalan.
***
"Bang, Taqi dah selesai ujian. Sekarang lagi bimbingan tuk ujian masuk perguruan tinggi. Kata guru Taqi, setiap orang membayar 500 ribu. Paling lambat bulan depan."
"O ya. Nanti ingatkan abang lagi ya? Abang lagi dengan teman-teman nih, belum sempat ngirimkan uang untuk Taqi."
"Ya, bang. Guru Taqi pun bilang ke Taqi ga' usah buru-buru dibayar. Kalau abang ada uang aja dulu."
"Ya. Nanti segera Abang bayar!"
"Abang lagi di mana ni, bang?"
"Hmm... ini Taqi. Abang lagi dengan teman abang. Lagi di bus."
"Mau ke mana, bang?"
"Hmm... mau ke rumah kawan."
"Ooo... hati-hati ya, bang!"
"Ya. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum Salam."
***
Degup jantung Mansur berdetak kencang setelah ia menutup pembicaraan tadi. Ada rasa bersalah yang sangat besar di dadanya. Tak tahu kenapa, rasanya ia ingin membatalkan semua acara ini. Oh, tidak semua, minimal untuk dirinya saja. Ia ingin menarik uang 250 ribu itu dan kembali ke Surabaya, tak jadi ke Bali.
"Teman-teman. Ini acara kan acara kita semua. Jadi ayo, kita foto bersama untuk kebersamaan kita!" ujar Bambang mengomando.
Teman-teman Mansur pun berebut tempat di depan. Sementara Mansur, berfoto tanpa arah. Tak ada semangat. Kalau saja tidak ada kata-kata 'kebersamaan' yang diucapkan oleh Bambang tadi, ia tidak akan mau untuk berfoto.
"Cees...!!!"
***
"Teman-teman. Tolong yang tidur dibangunin. Kita akan sampai di Pantai Kuta lima menit lagi. Saran saya, supaya ga' basah atau apa gitu, barang-barangnya nanti ditinggal aja. Kan kasihan kalau bawa HP dan nanti basah di sana!"
"Ya SMS-an, bang!"
"Ngupdate status FB woi."
"Ya gpp kalau mau bawa HP atau apapun. Tapi ya dijaga sendiri. Saya cuma nyaranin," ucap Bambang menengahi keberatan teman-temannya sambil tersenyum.
***
Pantai Kuta terasa terik. Tak tahu kenapa, panasnya Pantai Kuta siang itu melebihi panasnya kota Surabaya. Mansur dan teman-temannya memilih untuk duduk-duduk santai terlebih dahulu di bawah pohon. Bola kaki yang telah dipersiapkanpun, masih dipegang dan belum ada yang mau memulai untuk menendangnya ke pinggiran pantai.
"Wah.. ga' kayak di TV yo?" ujar Mansur sedikit bercanda. Ia berusaha untuk melupakan sejenak beban adiknya.
"Ya. Di TV ko' indah gitu ya? Tapi ya biasa-biasa aja tuh."
"Ntah... tertipu kita jadinya."
"Bukan tertipu. Sekarang kan lagi musim penghujan. Ya pantainya agak kotor karena daun-daun gugur dihembus angin. Ikan-ikan pun banyak mati!"
"Ah.. ngarang!"
"Beneran... Itu lho berita di TV!"
"Ntahlah..."
"Hayo, woi, main bolaaaa..." Zaki tiba-tiba berteriak membuyarkan diskusi tentang pemandangan Pantai Kuta. Ditendangnya bola dan iapun dikejar beramai-ramai.
***
"Ya Allah, apakah ini yang namanya dosa? Engkau begitu sayang padaku sampai-sampai belum aku bertindak lebih lanjut, Engkau telah mengingatkanku. Aku sadar, ya Allah. Aku khilaf!"
"Kewajibanku sebagai seorang Abang adalah mengayomi adik. Bukannya membiarkan adik terlantar. Sementara aku, abangnya, asyik berlibur bersama teman-teman semua dengan dalih kebersamaan. Aku khilaf, ya Allah!"
"Andai Kau mengizinkanku untuk memutar waktu. Aku akan tolak semua ajakan teman-teman itu. Aku akan menggunakan uang liburanku kali ini untuk membiayai bimbingan ujian masuk perguruan tinggi. Aku tidak akan egois dengan memilih kesenanganku dan merasakan penderitaan adikku."
"Taqi, andai kau ada di depanku, ingin rasanya aku memelukmu dan meminta maaf atas segala kekhilafan Abang. Abang khilaf, dek. Abang khilaf!"
"Ya Allah. Tak ada dayaku. Aku tak punya siapa-siapa lagi di sini. Aku pun tak punya apa-apa lagi di sini. Semuanya telah pergi."
***
"Woi, Mansur mana?"
"Astaghfirullah... ga' ada, Mbang!"
"Supir, berhenti!"
"Misscall dulu dah."
"Wah, HP-nya di tas ini semua. Dia ga' bawa apa-apa loh, woi."
"Ya dah, balik-balik."
"Pak supir... Balik, pak. Kawan kita tinggal."
***
Bus berhenti. Bambang sebagai ketua rombongan keluar disusul teman-temannya. Semuanya mencari di mana Mansur di tengah keramaian yang masih saja terjadi di Pantai Kuta saat malam hari.
"Coba tanya tukang jual nasi itu!"
"Wah... kamu aja. Ku ga' tau bahasanya."
"Lah itu Mansur! Sur, Mansur."
"Wah... kalian ninggalin aku gitu aja, woi," ujar Mansur. Air di matanya hampir jatuh.
"Ga' sadar kami, Sur. Kecape'an."
"Untung aja belum jauh. Sempat dah pulang ke Surabaya baru sadar, wah mati aku mungkin di sini. Mana HP dan baju semua di bus."
"Wes... yuk, di bus ceritanya."
***
"Wah... kami minta maaf, Sur! Kami ga' tau kamu ada masalah kayak gini. Kami kira kamu ya senang-senang aja ikutan liburan ke Bali. Eh, ternyata..."
"Minta maaf, Mbang! Kamu kan yang maksa?"
"Jangan nuduh gitu dong. Ini kan untuk kebersamaan kita juga!"
"Ya bersama-sama. Tapi pikirkan jugalah keadaan teman-teman kita. Kita kan tahu selama ini Mansur memang gitu. Dia ga' akan pernah nolak kalau kita mau senang-senang, walaupun ya kita tahu sendiri, dia berjuang mati-matian membiayai sekolah adiknya!"
Mansur masih saja terdiam dan meneteskan air mata. Dipalingkannya wajahnya ke arah jalan. Semuanya telah tumpah dan teman-temannya telah tahu. Tak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi dan semuanya telah terjadi. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana bisa pulang, itu yang ada dalam pikiran Mansur. Pulang dan memikirkan biaya adiknya, itu tentunya!
"Sur, ku minta maaf, Sur."
"Hmm..." ujar Mansur tak berpaling sedikitpun.
"Nanti aja, Mbang. Biar Mansur nenangin diri dulu," ujar salah seorang temannya lagi.
***
"Bang, gimana uangnya? Udah ada kan? Udah akhir bulan, bang. Taqi malu sama guru kalau terlambat terus. Walaupun guru memaklumi, ya kita kan harus tetap berusaha kan, bang?"
"Ya. Nanti sore Abang kirim ya? Abang lagi kuliah!"
"Bluk..." Mental Mansur pun jatuh mendengar ucapan adiknya melalui telepon tersebut. Ia tak tahu harus melakukan apa untuk dapat mengirim uang kepada adiknya yang berada di Medan. Setidaknya, ada satu cara yang harus ditempuhnya, meminjam kepada teman-temannya.
***
Di dalam kelas perkuliahan, tanpa diketahui oleh Mansur, Bambang mengumpulkan teman-temannya.
"Ya. Alhamdulillah kita telah bersama-sama ke Bali. Kita telah memperlihatkan bahwa kebersamaan kita bukan cuma di bangku kuliah saja, tetapi di mana-mana kita tetap bersama dan selalu bersama."
"Tapi ada satu hal yang mungkin kita harus lakukan bersama-sama juga nih, Mbang!" ujar Imran. "Kita kan tahu Mansur sekarang lagi pusing dengan biaya adiknya. Ya atas nama kebersamaan juga, bagaimana kita nyumbang-nyumbanglah. Ya untuk meringankan beban teman kita. Kan ga' enak kalau kita senang aja yang bersama. Tapi sedihnya ditanggung Mansur sendiri!"
"Ya. Usul bagus tuh. Kasihan loh si Mansur!"
Dan senyum dari semua mahasiswa yang berada di kelas tersebutpun merekah.
***
Di tempat lain pada waktu yang sama, Mansur kelihatan bingung. Ia bingung mau meminjam uang ke siapa. Toh, teman-teman semua habis liburan di Bali dan hampir dipastikan tidak mempunyai uang lebih lagi.
"Sur, aku mau bicara sebentar," sapa Bambang dan mengajak Mansur ke tempat yang agak sepi. "Gimana kabar adikmu? Dah selesai ujiannya?"
"Udah, Mbang. Sekarang lagi bimbingan ujian masuk perguruan tinggi. Do'akan aja sebulan lagi dia ujian di UGM tuk ngambil kedokteran."
"Pasti dah. Kita sama-sama mendoakan ko' untuk kebaikan kita semua."
"Makasih, Mbang!"
Bambang pun mengeluarkan sesuatu dari tas kecil yang selalu melingkar di pinggangnya. "Ini, Sur. Teman-teman sepakat tuk bantu kamu tadi di kelas. Atas nama kebersamaan gitu lah," Bambang memberikan sambil tersenyum..
Mansur tak dapat berkata-kata. Ada keringanan di pundaknya.
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Radinal Mukhtar Harahap sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.