HR. Muslim : "Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada sosokmu dan hartamu, tetapi Dia akan melihat kepada hatimu dan amalanmu."
|
Sabtu, 24 Agustus 2013 pukul 23:23 WIB
Penulis : Radinal Mukhtar Harahap
Wah, ternyata mempelajari NLP membuat saya ketagihan. Sejak membaca buku NLP untuk pertama kalinya, yang telah saya jelaskan dalam tulisan sebelumnya , saya tidak bisa menahan gagasan-gagasan dalam pikiran untuk segera dituangkan. Walhasil, selepas ujian hari ini yang cukup menguras tenaga, gagasan itu pun saya goreskan dalam catatan ini.
Beberapa hari yang lalu, seorang sahabat saya, sekaligus guru saya dalam menulis, yang bernama Fauzan Ar-Rasyid telah berhasil menarik perhatian redaksi harian Analisa untuk memuat tulisannya tentang menulis, terkhusus untuk para penulis pemula, seperti saya. Ia menjelaskan bahwa peluang penulis pemula untuk dapat memublikasikan tulisannya dalam berbagai media sangat terbuka, sama seperti dirinya yang telah berhasil melakukan itu. Padahal, ia baru duduk di bangku kuliah semester 2.
Hal yang paling menarik perhatian saya pada tulisan tersebut adalah ketika Fauzan menceritakan beberapa keluhan yang dimiliki oleh para penulis pemula.
"Media mana yang mau menerima naskah dari seorang penulis pemula sepertiku?"
"Penulis pemula pasti sangat susah menerbitkan tulisannya di media, semua media lebih mementingkan tulisan penulis hebat dan terkenal!"
"Saya masih sangat pemula, sangat tidak mungkin dapat bersaing dengan penulis senior!"
"Kata depan disambung apa ya? Mengakhiri kalimat langsung, titik dulu atau Anda kutip dulu ya? Yang benar berbagai atau pelbagai?"
dan lain sebagainya.
Apakah memang demikian keadaannya? Lantas apa pula yang ada dalam pikiran Anda tentang menulis? Apakah sama dengan keluhan di atas? ataukah ada yang lainnya?
Karena di awal tulisan ini saya sudah menjelaskan bahwa tulisan ini adalah rangkaian pembelajaran NLP yang saya lakukan dalam pembacaan saya pada buku Neuro-Linguistic Programming: The Art of Enjoying Life, maka saya pun akan membahas keluhan-keluhan tersebut dalam kacamata NLP itu sendiri. Tentunya dengan rujukan buku yang ditulis oleh Teddi Prasetya Yuliawan tersebut.
Sebagai pembuka, simaklah kata-kata menakjubkan tentang asumsi NLP tentang pikiran:
NLP berasumsi bahwa pikiran adalah induk dari kondisi yang kita alami. Karenanya, proses berpikir menempati peran sentral dalam setiap prosesnya. Peta yang kita ciptakan dalam pikiran akan menjadi dunia yang kita alami
Baca sekali lagi, lalu apa yang Anda rasakan? Apakah Anda menyetujui asumsi tersebut? Apakah Anda merasa apa yang Anda alami selama ini adalah hasil dari pikiran Anda sendiri?
Dr. Ibrahim Elfiki dalam bukunya Terapi Berpikir Positif pernah menukil salah satu filsafat India Kuno yang tertulis dalam kitab Quwwat at-Tahakkum fi al-Dzat berikut ini:
"Hari ini, Anda tergantung pada pikiran yang datang saat ini. Besok, Anda ditentukan oleh ke mana pikiran membawa Anda!" Begitulah kenyataannya. Pirasaan dan perbuatan pasti dimulai dari pikiran. Pikiranlah yang mendorong setiap perbuatan dan dampaknya. Pikiranlan yang menentukan kondisi jiwa, tubuh, kepribadian dan rasa percaya diri.
Sudahkah Anda memahami maksud saya? Bahwa pikiran-pikiran Anda selama ini tentang menulis akan membawa Anda pada suasana yang Anda pikirkan? Jika saat ini Anda merasakan bahwa menulis itu memang sangat susah dan lebih-lebih menjengkelkan, maka itulah suasana yang akan Anda rasakan. Sebaliknya, jika yang Anda pikirkan adalah hal-hal yang baik seperti dengan menulis Anda mampu mengekspresikan diri, mengetahui jati diri sendiri dan lain sebagainya, maka bersiaplah untuk menerima imbalannya.
Maka jika Anda benar-benar menginginkan kegiatan menulis yang mengasyikkan lagi tidak menjemuhkan apalagi membosankan, bongkarlah segera pikiran-pikiran jelek yang ada dalam diri Anda dan segeralah install dengan pikiran-pikiran yang lebih baik lagi bijaksana. Untuk caranya, izinkan saya membahasnya pada tulisan-tulisan selanjutnya.
Coba Anda bayangkan diri Anda sebuah rumah dan pikiran-pikiran jelek itu adalah pintu setiap jendela rumah Anda. Sedangkan pikiran-pikiran baik adalah kunci untuk membuka bahkan membongkar pintu-pintu itu. Sudah?
Lalu bayangkan pula kegiatan menulis yang mengasyikkan itu sebuah cahaya yang akan menerangi seisi rumah. Apakah cahaya tersebut dapat masuk jika masih ada pintu-pintu yang menutupi rumah? Tentu tidak bukan? Jika rumah tidak mendapatkan cahaya, apa yang akan terjadi? tentunya akan semakin gelap.. gelap... gelap.. dan akan terlihat angker!
Berita buruknya, dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh fakultas kedokteran di San Fransisco pada tahun 1986 disebutkan bahwa dari 60.000 pikiran yang dihadapi oleh manusia setiap harinya, 80% bersifat negatif dan hanya 20% yang bersifat positif. Hitung-hitungan sederhananya, setiap harinya kita disusupi oleh 48.000 pikiran negatif dan hanya 12.000 saja pikiran positif.
Maka ambillah kunci yang dapat membuka pintu-pintu itu. Buka dan singkirkan pintu itu dalam diri Anda. Biarkan cahaya masuk dan menerangi seisi rumah. Isilah pikiran Anda dengan hal-hal yang positif, sehingga akan menuai yang positif pula. Semoga!
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Radinal Mukhtar Harahap sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.