Imam Nawawi : "Aku mencintaimu karena agama yang ada padamu. Jika kau hilangkan agama dalam dirimu, hilanglah cintaku padamu."
|
Sabtu, 7 Desember 2013 pukul 20:00 WIB
Penulis : Syaifoel Hardy
Saya tinggal di Dubai - UAE, cukup lama. Sejak tahun 1996 hingga pertengahan 2007. Selama kurang lebih sepuluh tahun, pindah-pindah rumah, kalau tidak salah, delapan kali. Maklumlah, biaya sewa harus disesuaikan dengan kocek, faktor kenyamanan lokasi, transpor, dan lain-lain. Selalu saja ada yang berubah. Jika dirata-ratakan, hampir setiap satu tahun, pindah. Saya, bagaimanapun, tidak menyesal karenanya.
Repotnya, kalau mengusung-usung barang. Bukan main capeknya. Meminta bantuan kuli saja, belum cukup. Karena penataan di kamar, dapur, atau ruang tamu misalnya, harus dikerjakan sendiri. Makanya, saya kapok pindah-pindah lagi begitu tinggal dan bekerja di Qatar. Untungnya, saya tidak sendirian! Banyak ekspatriat lain mengerjakan hal yang sama.
Atas dasar inilah, makin sedikit barang yang dimiliki, makin menguntungkan, karena lebih praktis. Jika banyak perabotan rumah, tahu sendirilah akibatnya!
Mungkin karena risiko ini, saya pernah punya tetangga, yang tempat tidur saja, tidak punya. Katanya, "I don't need them!" Dia hanya membawa pakaian dan dua buah tas. Seperlunya. Sekenanya. Almari, kulkas, perabotan dapur, urusan belakang. Satu dua pieces, are enough!
Angka pindah-pindah, bagi pendatang di sana, memang tergolong tinggi. Makanya, kami tidak heran, hampir setiap hari, yang namanya tempat sampah yang segede gerobak, penuh. Rata-rata isinya perabotan rumah bekas. Tidak jarang, masih layak pakai.
Saya, seperti banyak orang kita yang 'jeli' akan nilai dan manfaat barang-barang rongsokan, tidak ketinggalan. Tempat sepatu, lampu hias, meja atau rak buku, meja kecil, sampai hiasan dinding, acapkali tidak perlu beli. Saya ambil saja yang dibuang orang. Toh masih layak dan bisa dibersihkan. Lagi pula, saya tidak mencuri. Saya tidak malu karenanya! Pada akhirnya, saya juga tidak tinggal selamanya di rumah kontrakan yang gonta-ganti di luar negeri!
Kalau urusan gengsi, itu hanya persepsi!
Orang-orang kita, jika saya bandingkan dengan rata-rata yang saya temui di Teluk, sangat kreatif. Orang kita akan membuang sampah yang benar-benar sampah! Di tempat sampahpun, setiap saat, masih ada saja yang odal-adul, dicari dan diidentifikasi, barangkali masih bisa dimanfaatkan. Akibatnya, sampah yang mestinya 'tertata' jadi berserakan!
Yang menjadi bahan pembelajaran adalah, dalam hidup ini, cobalah berfikir dua-tiga kali sebelum membuang sesuatu. Pertimbangkan nilai dan manfaatnya. Kalau tidak untuk diri sendiri, coba tanyakan orang lain. Siapa tahu mereka akan membutuhkan hal-hal yang bagi kita sepele dan tidak diperlukan. Ada banyak contohnya, mulai dari pakaian, peralatan dapur, hingga yang tidak nampak, seperti ilmu dan keterampilan.
Jangan dibuang begitu saja ilmu atau keterampilan yang anda miliki, misalnya saat ganti profesi. Coba tularkan kepada orang lain. Pasti ada saja, yang membutuhkan.
Ketika anda dapat menyaksikan betapa tinggi manfaatnya, pada saat yang sama akan anda rasakan, kebahagiaan yang luar biasa. Semuanya, ternyata, berangkat dari hal-hal kecil, yang semula anda anggap sampah!
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Syaifoel Hardy sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.