HR. At-Tirmidzi : "Pena (takdir) telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering, apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa kemenangan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan."
|
![]() |
http://catatanmutiaraku.blogspot.com |
![]() |
khumaidah@yahoo.com.au |
Ahad, 28 Juli 2013 pukul 21:00 WIB
Penulis : Luluk Khumaidah
Ketika aku sampai di rumah kakakku, tiba-tiba lampu mati begitu saja. Tapi anehnya, kenapa kok hanya di rumah kakakku ya? Seketika itu juga tangis Ifa pun pecah. Ifa adalah keponakanku yang nomor enam dari kakakku yang pertama. Aku tahu, dia itu takut sekali dengan gelap.
“Assalaamu’alaikum...”
Tak ada jawaban.
“Assalaamu’alaikum…” sekali lagi aku memberi salam.
Tetap tak ada jawaban, hanya terdengar tangisan Ifa. Buru-buru aku membuka pintu, takut terjadi apa-apa dengan Ifa. Lho, pintu juga tidak dikunci, ada apa ini? Ketika aku membuka pintu, ternyata Mas Azril lagi asyik main game. Azril adalah keponakanku yang nomor empat.
“Assalaamu’alaikum, Mas Azril.”
Diam aja.
“Mas Azril, kok tidak dijawab?” tanyaku ketika itu.
“Menjawab salam itu wajib, lho!”
Diapun akhirnya menjawab juga tapi sambil menggerutu, entah apa maksudnya.
“Bulik, Mbak Ais itu lho yang matikan lampunya. Kasihan Dik Ifa, dari tadi nangis terus. Dik Ifa kan takut gelap, Bulik.”
“Trus mana Dik Ifa-nya?”
Akhirnya akupun masuk ke ruang tengah. Eh tiba-tiba lampu ruang tengah menyala, Byaarrr!”
“Selamat Ulang Tahuuun…” serentak semua pada keluar dari tempat persembunyiannya.
“Eh, ada apa ini?” tanyaku sambil tersenyum.
“Selamat Ulang Tahun, Bulik. Ini kue ulang tahunnya, tapi bukan kue tart. Ayah sih nggak bilang-bilang kalau Bulik ulang tahun hari ini, jadinya kita nggak bisa siap-siap. Kadonya juga, nggak sempat nyari.” Fia memberikan setumpuk kue mariyam padaku. Justru aku yang lupa kalau hari itu ulang tahunku.
“Udah nggak pa pa, bukan salah siapa-siapa. Bulik udah seneng kok. Makasih ya, sayang.”
Tak terasa air mataku menetes.
“Bulik, Bulik jangan nangis, dong!”
“Bulik nggak nangis kok, cuma mengeluarkan air mata aja,” senyumkupun mengembang, entah wajahku seperti apa saat itu.
“Sama aja, Bulik. Hahaha..." semua tertawa bahagia.
“Ayo, mana es krimnya tadi? Kasih ke Bulik, biar Bulik aja yang bagi!” ibunya pun mengingatkan kalau masih ada menu spesial lagi.
"Hemm… Yummiii…"
Mendengar celotehan mereka, aku hanya bisa diam dan tersenyum bahagia. Tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata karena saking bahagianya. Sungguh. Terima kasih ya, sayang.
http://catatanmutiaraku.blogspot.com
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Luluk Khumaidah sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.