Sirah Umar, Ibnu Abdil Hakam : "Aku akan duduk di sebuah tempat yang tak kuberikan sedikit pun tempat untuk syaitan."
|
http://twitter.com/bayugawtama |
Selasa, 3 Desember 2013 pukul 20:00 WIB
Penulis : Bayu Gawtama
Ada banyak guru di luar sana, ada banyak sekolah di jalanan, ada banyak pelajaran di manapun kita berdiri, berlari, dan singgah. Ada yang mengajari kita untuk lebih banyak bersyukur saat mengamati orang-orang yang tengah diberi cobaan untuk menjalani kepahitan hidup, tukang sapu jalanan yang menjelma menjadi guru setiap kali melihatnya, bahwa rezeki Allah tidak datang dengan tangan yang terus menerus menengadah. Anak-anak jalanan yang memberi makna terdalam tentang cinta dan kepedulian, pojok-pojok kota yang kerap mengajarkan arti kesederhanaan hidup, bahkan riuh rendahnya kota yang berbicara tentang kerasnya perjuangan hidup.
Siapa yang tak mampu mengambil pelajaran di setiap perputaran waktu dan silih bergantinya siang dan malam, yang tak lebar-lebar membuka matanya mengamati lintasan-lintasan peristiwa dan kejadian penuh makna yang tak pernah berhenti, yang tak menjadikan telinganya untuk mendengar lebih banyak keluh dan kesah serta jerit yang kerap tak terdengar dari balik jendela mobil juga kantor, yang tak membiarkan langkah kakinya sering-sering mengarah ke jalanan untuk merasai langsung panasnya aspal yang membakar kulit, dan terik yang memanggang kepala, sungguh teramat merugilah ia.
Sungguh, ada jiwa yang terbelai lembut setiap kali mendapatkan senyum balasan seorang pengemis tua, senyum yang jelas lebih menyentuh dari senyum klien atau rekan bisnis. Ada hati yang semakin peka usai berlama-lama ngobrol menyongsong senja bersama anak penjaja koran sore, bahwa hidup apa yang bisa mereka makan esok pagi sangat bergantung dari berapa banyak koran yang terjual. Usahlah mengajak mereka bermimpi untuk meneruskan sekolah, karena mereka hanya tahu bangku sekolah bukan tersedia untuk mereka. Dan pulanglah lebih malam ketika langkah kita akan terasa lemas bukan karena lelah sepulang bekerja, melainkan mata kita yang menyaksikan begitu banyak orang yang tertidur di emperan kota, sebelah tangannya menjadi bantal, tangan satunya mendekap erat perut yang belum sempat terisi semenjak siang. Menangislah orang-orang seperti kita mengingat nasi yang sering terbuang percuma karena masak berlebihan, atau anak-anak yang bertingkah ingin jajan di luar.
Peluh yang keluar dari dahi dan setiap inci tubuh mereka, mungkin akan menjadi wewangian semerbak mereka di hadapan Allah nanti, bukti bahwa mereka benar-benar merasai hidup yang sebenarnya. Legam hitam kulit yang terbakar matahari itu, bisa jadi pertanda bagi para malaikat untuk bersaksi atas perjuangan keras mereka bertahan atas semua cobaan dari Tuhannya. Sementara kita? Seberapa banyak keringat kita? Tapi kenapa kita tak lebih bersyukur dari mereka dan terus menerus mengeluh?
Kita masih bisa bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk lebih banyak melihat ke luar, dari balik jendela bis kota, dari aktivitas sosial yang digeluti, dari kebiasaan untuk banyak singgah di tempat-tempat di mana kita bisa menemukan guru, sekolah, dan pelajaran kehidupan sesungguhnya. Meski cuma menengok, tapi kita tetap ingin selalu menyempatkan hati melihat ke luar. Selalu.
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Bayu Gawtama sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.