Ali Bin Abi Thalib : "Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta terhukum. Harta itu kurang apabila dibelanjakan, tapi ilmu bertambah apabila dibelanjakan."
|
http://twitter.com/bayugawtama |
Ahad, 1 Desember 2013 pukul 19:00 WIB
Penulis : Bayu Gawtama
Seorang anak belasan tahun terduduk lemas di bawah pohon di pinggiran jalan. Matanya yang sayu tampak tengah mengamati antrian mobil di sepanjang jalan Wijaya, Jakarta Selatan. "Mobil-mobil mewah," pikirnya. Sejenak kuperhatikan matanya menerawang, entah apa yang dipikirkannya, namun yang kutahu pasti ia sangat lelah. Itu bisa dilihat dari seikat sapu lidi yang bertengger bersama tubuhnya di pohon rindang, juga seonggok sampah dalam sebuah keranjang besar. Kutahu, ia seorang penyapu jalanan yang setiap pagi tak pernah absen mengukur jalanan kota.
Tak kuasa rasanya kaki ini terus melangkah tanpa berhenti menyapanya. Matanya yang sayu namun tajam itu seperti menusuk hati ini dan memaku kuat kaki-kaki ini untuk tak terus berlalu. Bukan, bukan mobil-mobil mewah itu yang membuatnya menerawang, aku yakin, itu hanya pelampiasan satu rasa yang sampai pagi ini ditahannya. Dan kini, dari matanya, juga gerak lemah tubuhnya, aku bisa menangkap rasa yang tertahan itu.
"Sudah makan, dik?" sapaku dengan senyum yang kupaksakan semoga menjadi yang termanis agar ia tak merasa sungkan atau takut.
"Belum..." Benar dugaanku. Tubuhnya bergerak sedikit bergeser semakin merapat dengan pohon, namun matanya terus mengira-ngira siapa gerangan yang menyapanya. "Ini, ambillah..." sebungkus gorengan yang baru saja kubeli di Prapatan dekat lampu merah serta sebotol air mineral langsung menjadi miliknya. Seperti menggotong gunung terbesar di dunia rasanya jika aku terus mendekap makanan kecil tersebut tanpa peduli rasa lapar yang ditahan anak itu.
"Nggak... Nggak usah..." Duh, ingin sekali hati ini menangis. Sudah pasti kutahu ia sangat lapar, tapi kenapa masih menolak pemberianku. Hmm, mungkin senyumku kurang manis, atau bisa jadi ia masih menangkap kekurangikhlasanku menyerahkan sarapan pagiku kepadanya. Bisa saja, mata hatinya merasai beratnya tangan ini saat terhulur bersama bungkusanku. Bukan tidak mungkin ia mampu melihat lebih dalam niat yang tersembul bersamaan dengan uluran tangan ini, yakni sekedar ingin mendapatkan pujian atau perhatian dari sekeliling.
Ah, tidak. Takkan kubiarkan itu terjadi. Kulatih wajah dan bibirku untuk bisa memancarkan senyum terindah yang menyejukkan. Kurangkai betul-betul kalimat yang semestinya keluar dari mulut ini agar tak menakutkannya lagi, dan kuayun-ayunkan tangan ini seperti senam kesegaran jasmani yang entah sudah berapa tahun tak pernah kulakukan lagi, agar tangan ini begitu ringan saat terhulur. "Ahaaa..." hatiku berteriak, mungkin karena sudah lama aku tak melakukan senam, sehingga tangan ini semuanya menjadi kaku. Tapi... bukan, bersedekah itu tidak ada kaitannya dengan rajin senam, olahraga, apalagi angkat berat. Berarti, untuk apa juga kulatih wajah dan bibirku tadi, dan bersusah payah merangkai kata layaknya seorang pujangga tengah menyusun syair keagungan hanya sekedar untuk menyodorkan sedekah.
"Ayo, ambil saja," kali ini benar-benar kuperbaiki senyumku, juga uluran tangan yang lebih ringan. Tentu saja tanpa melakukan latihan-latihan terlebih dahulu. Karena ini sekedar mengulang satu hal yang sudah lama tak kulakukan. Ya! Hatiku berteriak lagi.
Kutemukan jawabannya. Masalahnya bukan soal wajah dan senyumku yang harus dipaksakan semanis-manisnya, atau sudah sekian lamanya tak bersenam tangan. Sesungguhnya, diri ini sudah lama tak merasai duduk bersama, makan bersama, dan berbagi dengan mereka, anak-anak yatim, fakir miskin, orang-orang yang lemah. Tangan ini sudah lama tak terhulur untuk mereka, bahkan seringkali wajah dan pandangan ini berpaling dari hentakan-hentakan kaki lapar mereka, juga erangan penderitaan yang semestinya memekakkan telinga ini.
Kuulangi tawaranku, tapi kali ini sambil duduk di sampingnya. Kalau saja pohon itu cukup untuk berbagi sandaran, tentu aku akan bersandar pula dengannya, sekedar untuk membuatnya nyaman, bahwa aku adalah dia, dia adalah bagian dari aku. Itu saja intinya. Untungnya, pohon itu terlalu kecil untuk tempat berbagi, karena sesungguhnya, saat ini aku tidak lebih membutuhkan sandaran itu. Cukuplah itu untuknya, aku tak ingin merebut lahan kesejukannya. Mungkin saja, selama ini hanya pohon itulah tempatnya bersandar, memperdengarkan keluhannya, menempelkan peluhnya, dan sesekali menjadi bantal tidurnya.
Ia sangat tahu, seandainya pohon itu memiliki tangan, pastilah kehangatan pelukannya senantiasa dirasai. Tapi bukankah Tangan-Tangan Allah bertebaran di mana-mana? Saya yakin, keyakinan itulah yang menjadikannya terus bersandar di pohon ciptaan Allah itu, karena ia tahu, kapanpun, di manapun ia memasrahkan diri, Allah selalu di sana. Bersama orang-orang yang lemah, memeluk anak-anak yatim, dan sangat dekat dengan fakir miskin. Tanganku masih terhulur. Ia tak segera menyambutnya. Hanya keraguan yang menyemburat dari wajahnya.
"Kalau saya ambil ini, mas makan apa?" Deg. Kali ini aku tak ingin menangis. Ingin sekali kupeluk dia. Aneh rasanya, di zaman seperti ini, saat banyak orang tak peduli lagi dengan kepentingan orang lainnya, di waktu manusia yang satu menginjak manusia yang lainnya untuk kepentingan pemuasan perutnya sendiri, di kala semakin punahnya orang-orang yang mau memikirkan nasib orang lain. Eh, anak ini, yang aku ikhlaskan sarapan pagiku karena aku masih bisa membelinya lagi, malah berbalik memikirkan 'nasib'ku. "Mas makan apa?" Terbayang nggak sih.
"Sudah... Saya bisa beli lagi. Ini buat adik." Senyum di wajahnya memancarkan rasa syukur yang tak tergambarkan, meski hanya sekantong gorengan dan sebotol air mineral. Tanpa lupa mengucapkan terima kasih, ia menyambut hangat tanganku.
"Aku yang berterima kasih sama kamu, dik. Kalau kamu tidak menerimanya, entah kapan lagi kesempatan terbaik ini datang lagi kepadaku. Mungkin tangan ini akan semakin kaku sehingga semakin sulit terhulur. Wajah dan pandangan ini bahkan bukan lagi sekedar berpaling saat kehadiranmu, tapi justru tak lagi melihat meski tangismu bagai halilintar di depan hidungku. Kaki-kaki ini tak lagi berhenti untuk sekedar mencari tahu, apa yang tengah terjadi denganmu hari ini. Dan tak ada lagi senyum keikhlasan dari hati ini untuk bisa duduk bersama denganmu."
Aku teruskan langkahku tanpa menoleh ke belakang, ungkapan rasa syukurku terus terngiang mengiringi kelegaan dada yang tiba-tiba saja kurasakan, entah karena apa.
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Bayu Gawtama sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.