QS. Al-Hujuraat : 13 : "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
|
Kamis, 26 Desember 2013 pukul 21:00 WIB
Penulis : Kamaruddin
Luna Cohen, lahir di kota Tetouan, Maroko, dari keluarga Yahudi. Pada usia 16 tahun, ia sudah meninggalkan rumah rumah keluarga di Maroko untuk melanjutkan sekolahnya di sekolah khusus perempuan Bet Yaakov di Washington Heights, Manhattan, Amerika Serikat. Bet Yaakov adalah sebuah sekolah Yahudi Ortodoks yang dikenal rasis.
Usia 18 tahun, ia memutuskan menikah dengan lelaki yang sampai saat ini menjadi suaminya. Sejak menikah, Luna dan suaminya sampai tiga kali berpindah tempat tinggal di apartemen yang ada di Brooklyn, New York, karena ia dan suaminya merasa tidak pernah bahagia tinggal di lingkungan masyarakat Yahudi di tempat tinggalnya. Pasangan suami isteri itu kemudian memutuskan untuk membangun masa depan di Israel. Luna beserta suami yang ketika itu sudah dikaruniai empat anak, akhirnya pindah ke Israel.
Ketika tiba di Israel, Luna dan keluarganya tinggal di pemukiman Yahudi, Gush Qatif, di wilayah Jalur Gaza. Luna mengaku menjalani masa-masa yang berat karena melihat “cara hidup” orang-orang Yahudi di tempat tinggalnya itu dan meminta pada suaminya agar mereka pindah saja ke Netivot, yang terletak sekitar 23 kilometer ke arah utara di wilayah pendudukan Israel di Palestina.
Di tempat itu, Luna lagi-lagi menyaksikan kehidupan masyarakat Yahudi Israel yang disebutnya tidak berpendidikan. “Mungkin cuma satu dari sejuta anak yang berperilaku baik,” kata Luna. Ia menyaksikan bagaimana orang-orang Yahudi di Netivot, sama seperti di pemukiman Yahudi Gush Qatif, membenci orang-orang yang bukan Yahudi, yaitu orang-orang Arab Palestina.
“Kami melihat tindakan mereka sebagai tindakan mereka yang buruk dan mau menang sendiri. Pada titik ini, saya dan suami tidak sepakat dengan sikap orang-orang Yahudi itu,” ujar Luna.
Hingga suatu hari, suami Luna yang juga Yahudi tapi sekuler, pulang ke rumah dan mengatakan bahwa baru saja membaca Al-Qur'an dan memutuskan untuk masuk Islam. Luna tidak tahu, bahwa suaminya selama ini banyak mempelajari Islam lewat dialog yang dilakukannya dengan seorang Muslim asal Uni Emirat Arab yang dijumpainya saat masih tinggal di pemukiman Gush Qatif. Selama dua tahun suami Luna dan kenalan Muslimnya itu berdiskusi tentang Yudaisme dan Islam.
Mendengar pernyataan suaminya ingin masuk Islam, Luna mengaku sangat-sangat syok. “Karena dalam Yudaisme, kami selalu diajarkan untuk membenci agama lain,” kata Luna yang sebenarnya mempertanyakan ajaran yang dinilainya “mau menang sendiri” itu.
Tapi sang suami cukup bijak dan mengatakan bahwa Luna boleh tetap memeluk agama Yahudi jika tidak mau masuk Islam, karena dalam Islam, seorang lelaki Muslim boleh menikah dengan perempuan ahli kitab. Suami Luna pun masuk Islam dan memakai nama Islam Yousef al-Khattab.
Dua minggu setelah suaminya masuk Islam, Luna tertarik untuk membaca Al-Qur'an. Dan ketika ia membacanya, Luna merasa semua pertanyaan yang mengganjal di kepalanya terjawab semua dalam Al-Qur'an. Luna lalu menyusul suaminya mengucapkan dua kalimah syahadat dan menjadi seorang Muslimah. Luna memilih nama Qamar sebagai nama Islamnya.
Karena situasi yang tidak memungkinan buat mereka untuk tinggal lebih lama di wilayah Israel, keluarga mualaf itu lalu memutuskan pindah ke Maroko, negara asal Luna pada 2006. Sampai saat ini, pasangan Yousef dan Qamar al-Khattab hidup bahagia di tengah saudara-saudara Muslim Maroko dan menemukan kehidupan sejati setelah menemukan kebenaran dalam jalan Islam.
Dari eramuslim
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Kamaruddin sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.