Ust. Aam Amiruddin : "Sesungguhnya sepercik kejujuran lebih berharga dari sebongkah cinta. Apa arti sebongkah cinta kalau dibangun di atas kebohongan? Pasti rapuh bukan? Betapa indahnya apabila kejujuran dan cinta ada pada diri seseorang. Beruntunglah Anda yang memiliki kejujuran dan ketulusan cinta."
|
Kamis, 24 Oktober 2013 pukul 22:00 WIB
Penulis : Kamaruddin
Mary Fatima Kaouch terlahir dari keluarga yang memegang prinsip iman Katolik, 1964 silam, di kota Rosrath, Negara bagian Nordrhein Westfalen, Jerman. “Sejak kecil saya dididik dengan agama Kristen Katolik. Tapi Alhamdulillah, waktu lahir ayah saya memberikan nama Fatima dan ibu memberikan nama Maria. Dari situ sebetulnya perjalanan Islam sudah mulai,” ungkap Siti Maryam sepenggal waktu lalu.
Ia memulai pendidikan dasarnya di Jerman selama 9 tahun. Setelah itu ia melanjutkan ke jenjang sekolah kesejahteraan keluarga yang diselesaikannya selama 2 tahun.
Berbeda dengan siswa lain di Sekolah Dasar, Mary banyak sekali bertanya tentang ajaran agama yang dianutnya. Kenapa Isa disebut anak Tuhan? Kenapa Adam tidak disebut anak Tuhan? Kenapa Maria disebut ibu Tuhan? Dan pertanyaan lain yang mengusik hatinya.
“Banyak orang yang yang menghindari pertanyaan saya. Ada yang tidak dijawab, ada yang dijawab seadanya, ada yang bilang kapan-kapan lagi saya jawab, ada yang bilang nanti kalau kamu sudah besar. Semua itu tidak memuaskan rasa penasaran saya,” kata penulis buku Hidayah dan Inayah ini.
Negara Jerman, tempat rezim Fasis, Nazi, pernah berjaya ini melarang warganya membahas masalah agama. Kondisi seperti ini sangat menekan Mary, sehingga tidak bisa leluasa mencari kebenaran yang selama ini tidak ditemukan dalam ajaran Katolik yang dia anut.
Akhirnya di usia yang masih muda, 16 tahun, Mary keluar dari agama Katolik dan merasa tidak tertarik lagi menanyakan kegelisahannya kepada orang lain. Mulai saat itu ia mengikuti suara hatinya.
Mary tergolong anak ‘bengal’. Setiap kali diminta ke Gereja, ia turut. Namun, begitu tiba di depan pintu, Mary malah berputar arah ke restoran. “Bagi saya, tidak penting berdo'a di Gereja. Langsung saja berdo'a kepada Tuhan (Gott) dari hati saya,” tutur Mary, setelah nyaris putus asa menemukan kebenaran ajaran agamanya.
Tak hanya itu, Mary bahkan termasuk perokok berat. Setiap hari ia bisa menghabiskan 3 bungkus rokok merk Marlboro. Kebiasan menghisap zat adiktif ini berhenti total ketika ia masuk Islam, kelak.
Meskipun ‘bengal’, Mary terbilang sukses di dunia pendidikan. Di Sekolah Kesejahteraan Keluarga, Mary lulus dengan nilai yang sangat memuaskan, bahkan mendapat penghargaan dari pemerintah, atas prestasinya itu.
Selepas itu, hobi masak yang dimilikinya sejak kecil mendorong dia untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah kejuruan, Gastronomi, selama 3 tahun. Selama menempuh studi, Mary banyak mengikuti perlombaan memasak di hotel berbintang 3 hingga 5, dan selalu menjadi juara.
Menginjak usia 19 tahun, selain kuliah, Mary pun bekerja paruh waktu di hotel Haus Lyskirchen, Jerman, yang diisinya di hari libur. Setelah dua tahun, Mary pindah ke hotel Intercontinental di kota Koln.
Karena kejeniusannya, Mary memperolah penghargaan Grand Diner Amical Des Grand Chapitre L’europe tahun 1985 (koki terbaik dalam penyediaan Makan malam yang besar dan eksklusif). Setahun kemudian ia pindah lagi ke hotel Haus Lyskirchen di Koln yang jaraknya kira-kira 30 km dari kota Bonn dan mendapatkan kembali penghargaan Diner Amical.
Selang 6 bulan, ia ditawari jabatan sebagai Kepala Eksekutif di hotel Haus Lyskirchen. Namun Mary malah memilih mundur dan membuka restoran pribadi.
Mary dengan usia yang masih relatif muda telah menjadi pengusaha sukses. Akan tetapi, uang yang banyak tidak membuat Mary merasa tenang. Masih ada sesuatu yang tetap mengusik hatinya. Inilah yang membuat Mary selalu berpindah-pindah tempat.
Belum puas meraup uang dari restoran pribadinya, Mary kemudian bekerja sebagai Bandar Judi di salah satu Kasino di Bonn, Jerman. “Perolehan uang yang cukup besar tidak memberikan kebahagiaan yang dicari. Hidup dengan hati gelisah karena melihat kerusakan hati orang lain. Lalu seorang kolega mendorong saya keluar dan mencari jalan baru,” urai wanita yang sempat menjadi nara sumber International Seminar and Workshop on Education di beberapa perguruan tinggi di Bandung dan Jakarta ini.
Suatu hari saat Mary berada di kafetaria, ia bertemu dengan warga muslim Indonesia yang bekerja di kedutaan Besar Indonesia di Jerman, bernama Pandji Abdullah Garna.
“Saya habis kerja selalu ketemu dia di kafetaria, karena dia sama koleganya main catur setiap sore di kafetaria. Kita saling menatap dan akhirnya kenalan. Allah yang sudah mengaturnya,” tutur penggemar minuman Capuccino ini.
Sekitar 4 tahun berkenalan, Mary kemudian diajak menikah oleh Pandji di negerinya, Indonesia. Mary awalnya ragu, namun kemudian iapun menyetujui permintaan Pandji. Maka pada 1992, Mary bersama Pandji berangkat berlibur ke Indonesia.
“Orang Islam kalau di Indonesia menikah harus dengan orang Islam lagi,” tutur Mary mengenang ungkapan Pandji. Maka, sehari sebelum menikah, Mary pun meminta syarat kepada keluarga Pandji untuk menerangkan agama Islam. “Saya minta penjelasan tentang Islam karena itu menyangkut keyakinan hubungan yang sangat dalam, saya harus kenal dulu,” ungkapnya.
Mary pun diundang salah satu Kyai yang fasih berbahasa Inggris untuk menerima penjelasan ajaran Islam. Mary kemudian mencurahkan kegelisahan yang selama 15 tahun ini terbelenggu. Ia bertanya tentang konsep trinitas yang dianut agama Kristen, semisal kenapa Siti Maryam dipanggil ibu Allah, padahal Allah itu satu dan ia diciptakan oleh Allah? Begitupun dengan Yesus dan puluhan pertanyaan lainnya yang dulu sempat mengganggu pikiran dan hatinya.
Seluruh pertanyaan dijawab tuntas oleh Kyai tersebut, diiringi lantunan ayat Al-Qur'an untuk menguatkan jawaban. Tak terasa rasa haru menyeruak di kedalaman hatinya. “Ini rahasia yang saya cari bertahun-tahun, saya tanya banyak pertanyaan dia jawab dari Al-Qur'an sampai menyentuh hati, di situ saya tertarik ajaran Islam. Allah benar-benar memberi hidayah yang sangat besar,” kenang Mary sambil menitikan air mata.
Kegelisahan Mary kini terjawab sudah, iapun memutuskan untuk memeluk Islam dan menikah secara Islam di daerah Sukahaji, Gegerkalong, Bandung. Nama Maryam diambil atas usul seorang teman. Maryam Binti Imran sebagaimana diketahui adalah perempuan shalehah yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mengabdi kepada Allah.
Ihwal kepindahan keyakinan ini tidak diberitahukan Mary kepada orangtuanya. “Saya tidak memberi tahu ibu. Saya takut karena orangtua Katolik, dia pasti bilang tidak boleh. Kalau bilang tidak boleh, maka saya akan nurut. Namun, sekarang orangtua saya sudah tahu saya telah masuk Islam,” tutur perempuan yang kerap melakukan kontemplasi (perenungan) ini.
Nama Siti Maryam sebagai pengabdi Allah kemudian terwujud buktinya 9 tahun kemudian. Mary semakin aktif berdakwah dari satu masjid ke masjid lainnya, baik di wilayah pedesaan ataupun di perkotaan, sekitar Bandung. Ia tidak malu pergi ke tempat ceramah dengan hanya berkendara sepeda motor, atau bahkan berjalan kaki. Saat disapa Bu Mary ke sini bersama siapa? Ia selalu menjawab, “Bersama Allah.”
Bagi Mary, dasar keislaman harus dibuktikan dengan Ilmu, iman, dan amal shaleh. “Iman dan keshalehan adalah dua hal yang bersatu padu. Tidak ada Iman tanpa keshalehan, tidak ada keshalehan tanpa iman. Itulah sebabnya Allah sering menyebut dua kata ini secara bersamaan. Orang-orang yang beriman dan beramal shaleh,” pungkas Mary.
penayasin.blogspot.com
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Kamaruddin sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.