Imam Nawawi : "Aku mencintaimu karena agama yang ada padamu. Jika kau hilangkan agama dalam dirimu, hilanglah cintaku padamu."
Alamat Akun
http://kopiradix.kotasantri.com
Bergabung
1 Mei 2009 pukul 23:11 WIB
Domisili
Jakarta Selatan - DKI Jakarta
Pekerjaan
Mahasiswa
Tulisan Muhammad Lainnya
Satu Kata
8 Juli 2013 pukul 23:00 WIB
Dilema Superblok Ibu Kota
3 Juli 2013 pukul 20:00 WIB
Renungan Setelah Ditegur Petugas Keamanan
27 Juni 2013 pukul 20:00 WIB
Terapi Patah Hati
23 Juni 2013 pukul 11:00 WIB
Situ Gintung
22 Juni 2013 pukul 08:00 WIB
Pelangi
Pelangi » Refleksi

Selasa, 9 Juli 2013 pukul 21:00 WIB

Waduk Pulomas, Riwayatmu Dulu

Penulis : Muhammad Nahar

Tentu saja judul di atas bukan hendak memelesetkan lagu keroncong yang terkenal ciptaan almarhum Gesang. Namun, itu lebih karena saya memang mempunyai kenangan yang cukup menyenangkan di waduk Pulomas di daerah Jakarta Timur tersebut.

Dulu waktu saya masih kecil, sekitar dekade awal tahun 80an, saya suka ikut ibu ke kampus ASMI di Pulomas. Ibu saya saat itu masih kuliah di sana. Dalam perjalanan ke kampus dari jalan raya, kami naik becak untuk sampai ke kampus tersebut. Dalam perjalanan, saya senang melihat waduk Pulomas yang airnya berkilauan ditimpa sinar matahari. Di seberang waduk, ada beberapa bangunan restoran panggung yang didirikan di waduk tersebut. Saya selalu memikirkan bangunan yang berdiri di atas danau tersebut.

Kami pun bisa mampir ke restoran yang bernama Lingkung Lembur itu. Restoran itu berada di area yang cukup luas dan asri. Pada waktu hendak makan, saya tentu saja memilih makan di salah satu bangunan yang berada di atas danau. Bangunan itu dihubungkan dengan daratan oleh sebuah jembatan kayu. Walaupun air danau tidak betul-betul jernih, namun saat itu polusi udara dan air belum separah sekarang, terbukti dengan kehadiran ribuan capung di sana. Capung-capung itu adalah salah satu indikasi kebersihan lingkungan, termasuk udara dan air. Demikian yang saya ketahui. Tanaman air eceng gondok menambah keindahan danau tersebut.

Saya sendiri terakhir kali menyambangi daerah itu beberapa tahun yang lalu. Karena sudah lama, saya agak lupa di mana restoran Lingkung Lembur itu berada. Saat bertanya pada tukang becak, si abang becak bertanya, “Maksudnya Restoran Parimas?” Mungkin ya, pikir saya dalam hati. Lalu si abang mengantar saya ke restoran itu. Ternyata restoran tersebut bukanlah bangunan panggung di atas danau, namun merupakan bangunan biasa di atas tanah. Restoran itu memang terletak dekat danau, sehingga saya bisa melihat danau itu lagi. Karena memang tidak niat makan di restoran dan hanya ada uang untuk ongkos pulang, saya tidak masuk restoran itu. Si abang becak melihat dengan heran saat saya tidak masuk ke restoran dan malah melihat-lihat danau.

Yang saya lihat saat itu adalah sebuah waduk atau danau dengan air yang tak lagi sebersih dulu. Walaupun dulu juga tidak terlalu jernih, namun sekarang lebih parah lagi. Dari jalan, saya memandang ke arah tempat dulu pernah ada bangunan-bangunan panggung yang berfungsi sebagai restoran. Entah ada apa dengan restoran Lingkung Lembur itu saya tidak tahu, dan mungkin tidak akan pernah tahu. Saat itu yang ada di seberang adalah kawasan kumuh yang sering disebut Kampung Pedongkelan. Kawasan ini dari dulu sering dilanda berbagai macam masalah sosial, sebagaimana kawasan-kawasan kumuh lainnya di negeri tercinta Indonesia ini.

Danau itu sendiri sekarang seakan tidak berdaya untuk mencegah banjir di musim hujan. Padahal jika dikelola dengan baik, diperluas, dan diperdalam, tentu danau itu akan mampu memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat sekitar. Selain jadi penampungan air hujan, juga bisa untuk rekreasi murah meriah bagi masyarakat. Namun, apabila keserakahan yang diperturutkan bukan tidak mungkin suatu saat akan jadi mall yang hanya bisa dinikmati kalangan menengah ke atas alias kaya. Semoga tidak akan menambah jumlah Mall yang sudah overdosis di ibukota nan sesak ini.

Manusia cenderung kurang atau bahkan tidak menghargai segala sesuatu yang melimpah. Kita semua pasti sepakat apabila dikatakan bahwa udara adalah sesuatu yang penting bagi kita. Namun, adakah di antara kita yang menyempatkan diri untuk bersyukur atas nikmat udara yang kita hirup sehari-hari? Mirip dengan kisah klasik ajaran Zen. Ikan yang baru dimasukkan ke dalam sebuah kolam sangat bersyukur atas jernihnya air di kolam tersebut. Tidak henti-hentinya dia mengucap syukur dan membicarakan kejernihan air di tempatnya yang baru itu. Namun, teman-temannya sesama ikan di kolam tersebut malah heran. Bahkan ada yang mengejek dan bertanya, apa tidak ada hal lain yang perlu dibicarakan? Demikian pula dengan banyak dari kita yang tinggal memutar tombol keran untuk mendapatkan air. Keprihatinan penampungan air seperti waduk Pulomas itu mungkin bahkan sama sekali tidak terpikirkan.

Air adalah unsur yang sangat penting bagi estetika sebagaimana dia juga penting untuk kehidupan. Tidak mengherankan Al-Qur'an menggambarkan surga dengan frase ”Yang mengalir sungai-sungai di dalamnya.” Keindahan air di dunia ini saja sudah cukup mengagumkan apalagi yang ada di surga nanti. Semoga apabila kita berpartisipasi menjaga aliran air yang ada di muka bumi, kita akan dianugerahi air yang jauh lebih indah di sana nanti. Aamiin.

Suka

Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Muhammad Nahar sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.

Rahmad Syamsu W | mahasiswa
Heeebbatt.... Sesuai motto dari KSC, "menebar senyum merajut ukhwah", semoga KSC ini bermanfaat bagi kita semua ikhwan dan akhwat yang ingin merajut ukhuwah.
KotaSantri.com © 2002 - 2024
Iklan  •  Jejaring  •  Kontak  •  Kru  •  Penulis  •  Profil  •  Sangkalan  •  Santri Peduli  •  Testimoni

Pemuatan Halaman dalam 0.1470 Detik

Tampilan Terbaik dengan Menggunakan Mozilla Firefox Versi 3.0.5 dan Resolusi 1024 x 768 Pixels