HR. Ahmad : "Sebaik-baik manusia adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalannya."
|
Ahad, 10 November 2013 pukul 22:00 WIB
Penulis : Muhammad Nahar
Dia mengendap-endap, kain hitam menutup wajahnya, sementara tudung jaket berwarna hitam senada menutupi kepalanya.
Tangannya meraba gagang belati yang terselip di pinggangnya. "Kini saatnya telah tiba," demikian terbersit dalam hatinya.
Berhari-hari dia mempertimbangkan aksinya kali ini, karena baru sekali ini dia bersiap melakukan kejahatan berencana, kejahatan yang sama yang terjadi jutaan tahun yang lalu, saat keturunan awal manusia melakukan kejahatan pertama di muka bumi ini, pembunuhan.
Semua terjadi karena cintanya yang tak terbalas, maka dia bertekad membalas dendam.
Namun,
Tiba-tiba dia merasa ragu, sangat ragu. Keraguan yang menjalar perlahan di dalam dirinya, yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Dia pergi, menuju kendaarannya.
Dia membelokkan kendaraannya, pergi ke tepian sebuah danau yang luas dan dalam.
Malam itu, bulan perak bersinar pucat, terpantul indah di permukaan air danau yang tenang bagaikan cermin.
Perlahan udara malam yang sejuk itu mengalir masuk dan keluar paru-parunya. Dia rasakan hal itu sebagai nikmat, yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Dia rasakan udara itu menyegarkan jiwanya yang panas membara selama ini.
“Tuhanku, ampunilah aku,” katanya lirih sambil berlutut di pinggir danau.
“Lindungilah hambaMu yang lemah ini dari kejahatan diriku sendiri, yang sangat menginginkan apa yang sesungguhnya tidak pantas aku dapatkan.“
Sebagaimana pula tekad untuk berbuat jahat nekad, perlahan tapi pasti memudar sebagaimana es batu mencair di bawah panasnya matahari.
Matanya yang dibutakan oleh ambisi, perlahan mulai terbuka dan mulai bisa melihat kenyataan yang ada.
Hatinya yang terbakar api dendam yang membara, perlahan mulai mendingin bagai disirami air dingin.
Dia lemparkan belatinya yang tajam itu, simbol tekadnya untuk berbuat jahat, ke danau yang dalam itu. Sebagaimana Girflet, atas perintah King Arthur, melemparkan pedang Excalibur ke danau.
Tanda taubat nasuha yang dia lakukan, bersumpah untuk tidak lagi tergoda melakukan perbuatan jahat dan nekat, untuk kembali meniti jalan yang lurus.
Air mata penyesalan tak henti mengalir dari matanya, saat dia kembali ke tempat tinggalnya.
Suara adzan subuh perlahan mengetuk gendang telinganya, dia pergi ke surau terdekat untuk melaksanakn kewajiban dan mohon ampun pada Rabb-nya yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Maha Menerima Taubat siapapun yang mau bertaubat.
Setelah pulang dari surau, sesudah melantunkan seluruh do'a yang dia bisa, terasa lega dan ringan seakan-akan beban berat sudah terangkat dari punggungnya.
Kehangatan surya pagi menyapanya, seakan-akan sinar itu menepuk lembut bahunya, seperti suatu persetujuan akan pertaubatannya. Diapun tersenyum.
Dalam perjalanan pulang, terdengar lantunan lagu dari gang dekat tempat tinggalnya, "Kau reguk habis semua do'a-do'a dari surau depan rumah yang kau sewa, tak terasa surya duduk di kepala, adzan subuh masih di telinga."
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Muhammad Nahar sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.