Ali Bin Abi Thalib : "Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta terhukum. Harta itu kurang apabila dibelanjakan, tapi ilmu bertambah apabila dibelanjakan."
|
http://hamasahputri.multiply.com |
Ahad, 8 November 2009 pukul 18:15 WIB
Penulis : Endah Widayati
Dalam hidup ini, aku mengenal orang-orang yang luar biasa. Kekuatan kata, ketulusan, kebaikan, keceriaan, kesederhanaan, dan berbagai simbol menjadi saksi dalam persahabatan. Aku akan menuliskan salah satu di antaranya, pahlawanku yang begitu menginspirasiku.
Saat itu, kami berdelapan di kontrakan Al-Hamasah, Malang. Rumah kecil dengan sewa yang murah, namun terasa nyaman bagi kami. Ada 4 kamar, masing-masing diisi 2 orang. Dibandingkan kontrakan akhwat yang lain, kontrakan kami terbilang lebih sederhana. Meski demikian, banyak cerita indah terukir di sana.
Kontrakan itu bermula ketika kontrakan kami sebelumnya, Ats-Tsabitah, terpaksa harus kami lepaskan karena harga yang dinaikkan pemiliknya. Aku dan Ais kemudian berinisiatif untuk mencari kontrakan yang lebih terjangkau. Hingga kami menemukan rumah yang cocok, dengan harga relatif murah. Kami pun mengumpulkan akhwat yang membutuhkan tempat tinggal, untuk menggenapi jumlah kamar dan uang sewa. Alhamdulillah, akhirnya terpenuhi juga penghuni Al-Hamasah, di antaranya Ais, Narsih, Lely, Yanti, Fara, Dewi, Sari, dan aku sendiri.
Suatu hari, datanglah seorang akhwat yang bermaksud ikut bergabung bersama kami. Dialah Mbak Luluk, yang akhirnya juga menjadi salah satu penghuni di kontrakan kami. Dibandingkan yang lain, usia beliau jauh di atas kami. Awalnya, kami merasa enggan untuk memenuhi permintaan beliau. Pertama, jumlah kami sudah cukup berdelapan. Rasanya terlalu sesak jika harus ditambah lagi. Kedua, terdengar kekhawatiran dari yang lain jika tidak bisa melakukan hal-hal 'gila' jika digabungkan dengan beliau, karena sungkan. Maklumlah, 4 di antara kami adalah mahasiswa baru.
Namun Allah menakdirkan lain. Beliau merasa cocok dengan kami, dan mengaku bisa tidur di mana saja. Kami pun terharu dan akhirnya memutuskan untuk mengiyakan permintaan beliau. Meskipun di awal kami harus bertiga dalam satu kamar : aku, Ais, dan mbak Luluk. Hingga Dewi memutuskan pindah kontrakan, dan mbak Luluk bisa satu kamar dengan Yanti.
Awal bergabung, kami masih malu-malu. Kami memosisikan beliau sebagai kakak, bahkan mungkin ibu. Ada jarak ketika beliau yang cenderung formal dan kaku, hadir di antara kami yang terbiasa cengengesan. Menangkap hal itu, beliau kemudian mengajak kami ngobrol. Beliau berharap agar kami tidak merasa terganggu dan tetap enjoy beraktivitas. Dengan cepat, kemudian kami memang melakukan banyak hal dengan melibatkan beliau. Mulai shalat jama'ah, kuliah tujuh menit, tahsin (membaguskan bacaan Al-Qur'an), mempercantik rumah, piket harian memasak, silaturrahim ke tetangga, memberi ta'jil ke kontrakan lain, membentuk tim nasyid Hamasah (yang sempat konser beberapa kali), dan sebagainya. Kontrakan kami pun akhirnya cepat populer, dan sering jadi rujukan tempat diskusi sesama aktivis.
Secara pribadi, aku sangat dekat dengan mbak Luluk. Kami sering berdiskusi panjang lebar dengan beliau. Tentang apa saja. Beliau juga begitu peduli, ketika aku sakit, kekurangan uang, atau pun ada masalah lainnya. Pernah beliau ikut menangis, ketika aku menyembunyikan sakit yang kuderita sekitar satu pekan. Seorang akhwat dari fakultas Kedokteran memprediksi bahwa aku terkena sakit usus buntu, yang harus dioperasi. Kemungkinan lain, rahimku yang bermasalah. Penyakit yang keduanya membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Ketika pedih yang amat sangat terasa, maka aku hanya mampu menangis sambil memegangi perut ini. Hanya do'a yang bisa kupanjatkan dengan amat memohon padaNya, agar memberikan jalan keluar terbaik untukku. Sengaja aku tidak memberitahu teman-teman satu kontrakan. Satu alasan, aku sudah sering merepotkan dan tidak ingin merepotkan mereka lagi. Seringkali aku tidak sanggup membayar iuran bulanan untuk memasak, dan memutuskan untuk tidak bergabung dulu dalam urusan makan. Meski sebenarnya, aku sering tidak makan, jika mereka tidak mengulurkan bantuannya yang sudah teramat sering.
Saat itu, aku sudah lulus kuliah, bekerja di sebuah koperasi dengan gaji yang tidak jelas. Bulan pertama Rp. 500.000,-, bulan kedua Rp. 125.000,-, dan selanjutnya tidak ada gaji sama sekali. Bahkan, sempat ada permintaan untuk membantu kerugian koperasi sebesar Rp. 400.000,-. Aku tidak mungkin mengandalkan kedua orangtua, yang juga memiliki masalah finansial lumayan parah.
Alhamdulillah, Allah tidak memberikan beban di luar kesanggupan hambaNya. Penyakit itupun hilang sendiri, tanpa obat. Ketika akhwat Kedokteran datang menanyakan penyakitku, mbak Luluk turut menyimak pembicaraan kami. Saat itu juga beliau mencucurkan air matanya, yang semakin lama semakin menderas. Beliau minta maaf karena tidak tahu menahu akan hal ini. Menyesalkan ketika aku tidak ikut berbagi penderitaan dengannya. Subhanallah, aku amat terharu dengan ketulusannya. Selanjutnya, tidak ada yang aku tutup-tutupi lagi tentang kondisiku yang sesungguhnya. Beliau sangat memahami dan menawarkan untuk selalu menjadi teman berbagi.
Masih teringat kuat, hingga saat ini, ketika beliau mampu memotivasiku dengan begitu hebatnya. "Aku yakin, anti bisa menjadi orang yang yang sangat luar biasa sekali. Hebat, sehebat-hebatnya."
"Kok bisa, Mbak?" tanyaku waktu itu.
"Ya, aku melihat semangat juang dik Endah luar biasa. Mau bolak-balik Surabaya - Malang, interview kerja, ngurusin amanah dakwah. Kalau mau egois, amanah dik Endah kan bisa di-handle sama yang lain. Aku tidak hanya melihat sekali ini, tapi sering. Meski dik Endah sendiri sedang sangat diuji, tapi masih bisa memberi untuk orang lain."
Saat itu juga, aku langsung menitikkan air mata. Aku merasa tidak sehebat dari yang beliau duga. Merasa tidak pantas. Aku berpikir, justru beliaulah yang luar biasa. Tertancap kuat dalam ingatan, ketika itu usia beliau hampir kepala 4 dan masih melajang. Beliau seorang guru di Jawa Timur dan mendapat beasiswa sekolah di Unisma Malang. Bukan melanjutkan S2, tapi S1 dengan jurusan yang berbeda. Darinya, aku belajar banyak hal, kesabaran, ketulusan, dan semangat untuk terus belajar. Beliau tidak canggung berteman dengan kita-kita yang berusia jauh di bawahnya, dan mau belajar dari kita.
Pernah suatu hari, beliau ditanya oleh ibunya teman kost, "Kalau ini ibunya siapa ya?" Kami yang mendengarnya langsung kaget, sangat khawatir dengan perasaan beliau. Namun dugaan kami ternyata meleset. Dengan senyuman beliau berkata, "Oh, kalau saya anaknya banyak. Semua yang di sini anak saya. Ada dik Endah, dik Fara, dik Aris, dik Nunung, dan seterusnya. Yo to, Dik?" Subhanallah. Tentu tidak mudah jika aku di posisi beliau. Dan pada saat itu, aku melihat beliau mampu melakukannya dengan sangat baik. Ya, dengan cepat, Mbak Luluk menjadi seseorang yang aku kagumi, meski bukan wonder women, beliau sangat tangguh menjalani hidup.
Dari beliau, aku dan teman-teman yang lain bisa belajar tahsin (membaguskan bacaan Al-Qur'an) dengan gratis. Sesekali aku konsultasi tentang puisi-puisiku kepada beliau yang jurusan Sastra, mengenai kaidah menulis yang benar, bagaimana mendapatkan ide, dan sebagainya. Apa pun tulisan yang kubuat, mbak Luluk selalu memotivasi dan memintaku agar terus menulis. Pernah suatu hari beliau membacakan puisinya yang begitu indah, tentang daun. Puisi yang dibuat dalam waktu singkat, sebagai tugas mata kuliahnya. Sayang, aku tidak menyimpannya. Sesekali beliau ganti memintaku menjelaskan buku-buku pengembangan diri layaknya motivator. Dan lagi-lagi, beliau mengakui kalau aku berbakat di banyak hal.
Ah, kebersamaan indah itu akhirnya berakhir. Aku harus pulang kampung, ketika sudah tidak ada toleransi lagi dari ortu untuk menetap di Malang. Waktu satu tahun sudah habis untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di Malang. Teringat jelas, teman-teman kontrakan, termasuk mbak Luluk, begitu berat melepasku. Mereka menuliskan surat-suratnya untukku, yang masih kusimpan hingga kini. Bahkan, mereka turut mengantarku membawa barang-barang ke Travel yang kunaiki pulang. Sekitar dua puluh akhwat, termasuk dari kontrakan lain, melepasku dengan iringan do'a dan air mata.
Hingga kini, 5 tahun kemudian, aku selalu saja terkenang, akan kata-kata sakti yang dibisikkan. Kata-kata yang mampu mengembalikan spirit ketika aku sedang lemah. Kalimat yang mampu memberikan energi dahsyat bagiku untuk kembali berjuang. Selalu aku berkata pada diriku sendiri, "Jika orang lain begitu yakin dengan kesuksesanku, mengapa aku sendiri justru mengingkarinya?"
http://hamasahputri.multiply.com
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Endah Widayati sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.