Ali Bin Abi Thalib : "Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta terhukum. Harta itu kurang apabila dibelanjakan, tapi ilmu bertambah apabila dibelanjakan."
|
http://hamasahputri.multiply.com |
Ahad, 4 Oktober 2009 pukul 17:00 WIB
Penulis : Endah Widayati
Saya adalah seorang pramugari biasa dari China Airline, karena bergabung dengan perusahaan penerbangan hanya beberapa tahun dan tidak mempunyai pengalaman yang mengesankan, setiap hari hanya melayani penumpang dan melakukan pekerjaan yang monoton. Pada tanggal 7 Juni 2006 yang lalu, saya menjumpai suatu pengalaman yang membuat perubahan pandangan saya terhadap pekerjaan maupun hidup saya. Hari ini jadwal perjalanan kami adalah dari Shanghai menuju Beijing, penumpang sangat penuh pada hari ini.
Di antara penumpang, saya melihat seorang kakek dari desa, merangkul sebuah karung tua dan terlihat jelas sekali gaya desanya. Pada saat itu saya berdiri di pintu pesawat menyambut penumpang. Kesan pertama dari pikiran saya ialah zaman sekarang sungguh sudah maju, seorang dari desa sudah mempunyai uang untuk naik pesawat.
Ketika pesawat sudah terbang, kami mulai menyajikan minuman. Ketika melewati baris ke 20, saya melihat kembali kakek tua tersebut, dia duduk dengan tegak dan kaku di tempat duduknya dengan memangku karung tua bagaikan patung. Kami menanyakannya mau minum apa, dengan terkejut dia melambaikan tangan menolak. Kami hendak membantunya meletakkan karung tua di atas bagasi tempat duduk, juga ditolak olehnya. Lalu kami membiarkannya duduk dengan tenang. Menjelang pembagian makanan, kami melihat dia duduk dengan tegang di tempat duduknya. Kami menawarkan makanan, juga ditolak olehnya.
Akhirnya, kepala pramugari dengan akrab bertanya kepadanya apakah dia sakit? Dengan suara kecil dia menjawab, bahwa dia hendak ke toilet. Tetapi dia takut apakah di pesawat boleh bergerak sembarangan, takut merusak barang di dalam pesawat. Kami menjelaskan kepadanya bahwa dia boleh bergerak sesuka hatinya dan menyuruh seorang pramugara mengantar dia ke toilet.
Pada saat menyajikan minuman yang kedua kali, kami melihat dia melirik ke penumpang di sebelahnya dan menelan ludah. Dengan tidak menanyakannya, kami meletakan segelas minuman teh di meja dia. Ternyata gerakan kami mengejutkannya. Dengan terkejut dia mengatakan tidak usah, tidak usah. Kami mengatakan, engkau sudah haus, minumlah. Dengan spontan, dari sakunya dikeluarkan segenggam uang logam yang disodorkan kepada kami. Kami menjelaskan kepadanya bahwa minumannya gratis. Dia tidak percaya. Katanya, saat dalam perjalanan menuju bandara, dia merasa haus dan meminta air kepada penjual makanan di pinggir jalan. Tetapi dia tidak diladeni dan malah diusir.
Pada saat itu, kami mengetahui, demi menghemat biaya perjalanan dari desa, dia berjalan kaki sampai mendekati bandara dan baru naik mobil. Karena uang yang dibawanya sangat sedikit, ia hanya dapat meminta minuman kepada penjual makanan di pinggir jalan, itupun kebanyakan ditolak dan ia dianggap sebagai pengemis. Setelah kami membujuk dia terakhir kalinya, dia percaya dan duduk dengan tenang meminum secangkir teh. Kami menawarkan makanan, tetapi ditolak olehnya.
Dia menceritakan bahwa dia mempunyai dua orang putra yang sangat baik, putra sulung sudah bekerja di kota dan yang bungsu sedang kuliah tingkat tiga di Beijing. Anak sulung yang bekerja di kota menjemput kedua orangtuanya untuk tinggal bersama di kota, tetapi kedua orangtua tersebut tidak biasa tinggal di kota, akhirnya pindah kembali ke desa. Kali ini, orangtua tersebut hendak menjenguk putra bungsunya di Beijing. Anak sulungnya tidak tega orangtua tersebut naik mobil begitu jauh, sehingga membeli tiket pesawat dan menawarkan menemani bapaknya bersama-sama ke Beijing, tetapi ditolak olehnya karena dianggap terlalu boros dan tiket pesawat sangat mahal. Dia bersikeras dapat pergi sendiri. Akhirnya, dengan terpaksa disetujui anaknya.
Dengan merangkul sekarung penuh ubi kering yang disukai anak bungsunya, ketika melewati pemeriksaan keamanan di bandara, dia disuruh menitipkan karung tersebut di tempat bagasi, tetapi dia bersikeras membawa sendiri. Katanya, jika ditaruh di tempat bagasi, ubi tersebut akan hancur dan anaknya tidak suka makan ubi yang sudah hancur. Akhirnya, kami membujuknya meletakan karung tersebut di atas bagasi tempat duduk. Dan dia pun bersedia. Dengan hati-hati, dia meletakan karung tersebut.
Saat dalam penerbangan, kami terus menambah minuman untuknya. Dia selalu membalas dengan ucapan terima kasih yang tulus, tetapi dia tetap tidak mau makan, meskipun kami mengetahui sesungguhnya dia sudah sangat lapar. Saat pesawat hendak mendarat, dengan suara kecil dia menanyakan saya apakah ada kantongan kecil? Dan dia meminta saya meletakan makanannya di kantong tersebut. Dia mengatakan bahwa dia belum pernah melihat makanan yang begitu enak. Dia ingin membawa makanan tersebut untuk anaknya. Kami semua sangat kaget. Kami yang setiap hari melihat makanan tersebut merupakan biasa, tetapi di mata seorang desa menjadi begitu berharga.
Sambil menahan lapar, disisihkan makanan tersebut demi anaknya. Dengan terharu, kami mengumpulkan makanan yang masih tersisa yang belum kami bagikan kepada penumpang. Semuanya ditaruh di dalam suatu kantongan yang akan kami berikan kepada kakek tersebut. Tetapi di luar dugaan, dia menolak pemberian kami. Dia hanya menghendaki bagian dia yang belum dimakan, tidak menghendaki yang bukan miliknya sendiri. Perbuatan yang tulus tersebut benar-benar membuat saya terharu dan menjadi pelajaran berharga bagi saya.
Sebenarnya, kami menganggap semua hal tersebut sudah berlalu. Tetapi siapa menduga, pada saat semua penumpang sudah turun dari pesawat, dia yang terakhir berada di pesawat. Kami membantunya ke luar dari pintu pesawat. Sebelum ke luar, dia melakukan sesuatu hal yang sangat tidak bisa saya lupakan seumur hidup, yaitu dia berlutut dan menyembah kami dan mengucapkan terima kasih dengan bertubi-tubi.
Dia mengatakan bahwa kami semua adalah orang yang paling baik yang dijumpai, kami di desa hanya makan sehari sekali dan tidak pernah meminum air yang begitu manis dan makanan yang begitu enak, hari ini kalian tidak memandang hina terhadap saya dan meladeni saya dengan sangat baik, saya tidak tahu bagaimana mengucapkan terima kasih kepada kalian. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian. Dengan menyembah dan menangis dia mengucapkan perkataannya.
Kami semua dengan terharu memapahnya dan menyuruh seseorang anggota yang bekerja di lapangan untuk membantunya ke luar dari lapangan terbang. Selama 5 tahun bekerja sebagai pramugari, beragam-ragam penumpang sudah saya jumpai, yang banyak tingkah, yang cerewet, dan lain-lain. Tetapi belum pernah menjumpai orang yang menyembah kami. Kami hanya menjalankan tugas kami dengan rutin dan tidak ada keistimewaan yang kami berikan, hanya menyajikan minuman dan makanan.
Akan tetapi, kakek tua yang berumur 70 tahun tersebut sampai menyembah kami mengucapkan terima kasih, sambil merangkul karung tua yang berisi ubi kering dan menahan lapar demi menyisihkan makanannya untuk anak tercinta, dan tidak bersedia menerima makanan yang bukan bagiannya. Perbuatan tersebut membuat saya sangat terharu dan menjadi pengalaman yang sangat berharga, yaitu jangan memandang orang dari penampilan luar, harus tetap menghargai setiap orang, dan mensyukuri apa yang kita dapat.
Dikutip dari cerita seorang teman.
Dedicated for : Ayah... Cerita ini membawaku pada lintasan ketulusanmu, dulu, dan kini.
http://hamasahputri.multiply.com
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Endah Widayati sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.