QS. Al-'Ankabuut : 64 : "Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui."
Alamat Akun
http://abu_fathi.kotasantri.com
Bergabung
8 Februari 2009 pukul 13:00 WIB
Domisili
Bandung - Jawa Barat
Pekerjaan
Graphic Designer
Tulisan Listyo Lainnya
Rayuanmu Itu
25 Mei 2009 pukul 19:29 WIB
Maafkan Aku
8 Mei 2009 pukul 19:24 WIB
Berhenti Sejenak
10 April 2009 pukul 20:25 WIB
Pelangi
Pelangi » Pernik

Ahad, 31 Mei 2009 pukul 17:10 WIB

Menjemput Impian

Penulis : Listyo Nurdono

Kala itu, sebelum segalanya berubah.

Hasbiya... Secara runtun, kau ceritakan kebahagiaanmu dengan begitu semangatnya. Kau bercerita tentang kelucuan anak-anak TPA binaanmu di suatu sore. Pun betapa bahagianya kau punya keponakan pertama dari kakak laki-laki pertamamu, atau mendapat hadiah milad kedelapanbelasmu. Kau pun begitu gembira bertutur ketika diterima di Fakultas Kedokteran sebuah Universitas Negeri di Yogyakarta, kota lahir kita, yang sedari SMA kau cita-citakan. Sedang aku, diterima di sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Bandung. Inilah awal terentangnya jarak antara kita.

Hasbiya, sungguh awalnya aku tak sampai hati tuk mengungkapkan padamu sesuatu hal yang harus kita tinggalkan demi izzah diri. Sesuatu hal yang tak boleh kita maklumi, meskipun kita tak seperti mereka yang begitu bebasnya mengungkapkan rasa kasih sayangnya, atau melepas nafsu? Sungguh, aku tak ingin memadamkan mentari yang tengah bersinar di matamu.

Dulu, dalam berjalan pun kita saling bersisian dan terentang beberapa jarak, tak merapat. Kau tak ijinkan aku pegang tanganmu walau kita hendak menyeberang jalan. Aku mengerti, kau belum halal untukku. Kau tak suka aku berbisik begitu dekat di telingamu, sehingga kau menghindar. Kau pun tak suka aku perhatikanmu begitu lekat. Namun, Biya, bagaimana pun, kita tetap saja sepasang kekasih yang telah memadu hati dalam hubungan bernama pacaran.

Dua tahun keaktifanku di LDK, telah membuka hatiku. Pacaran adalah sebuah wabah yang menebarkan aroma yang lebih dahsyat dari serbuk heroin. Melalaikan manusia dari ibadah, menggugurkan manusia dari jalan dakwah. Tatkala aku menyadari hal itu, aku pun mulai mengurangi intensitas hubungan jarak jauh kita. Perlahan-lahan dan akhirnya aku tak pernah menghubungimu, baik SMS maupun telepon, hingga kau sering mempertanyakan kenapa aku tak pernah menghubungimu lagi. Beberapa kali aku tak menjawabmu. Pada kali kesekian kau telepon aku, akhirnya kuungkapkan alasanku sebenar-benarnya dengan hati-hati agar tak menyinggung hatimu. Biya, betapa pun beratnya, harus kuungkapkan kepadamu agar aku tak berdosa karena menyembunyikan kebenaran.

Betapa pun aku berucap dengan hati-hati, betapa pun lembutnya tutur kataku, tak urung kau putus telepon begitu saja setelah sebelumnya kudengar getar suara dan desah tangismu di sana. Maafkan aku, Biya, aku lebih cinta Allah, lebih cinta Islam. Kalau pun kau mencintaiku seperti aku yang saat ini sebenarnya masih mencintaimu, aku ingin hubungan kita telah terbingkai pernikahan sebelumnya.

Aku sangat tahu pribadimu, kendati tak seperti dirimu yang lebih mengetahui pribadimu sendiri. Kau hanif, lembut, penurut, dan bukan seorang pendebat. Sebelum pulang ke Yogya tuk melamarmu, aku istikharah berkali-kali, sampai akhirnya aku rasakan kemantapan hati tuk memilihmu menjadi istriku.

***

Juli, Liburan Akhir Semester

Pagi ini, aku pulang menaiki kereta bisnis dengan perasaan yang menggebu-gebu karena hendak menjemput impian. Aku jadi teringat akan lagu Menjemput Impian dari sebuah grup band kenamaan yang dulu sering kuputar ketika aku belum mengenal Izzatul Islam, Shoutul Harokah, Arruhul Jadid, dan Suara Persaudaraan. Sungguh, hal itu sedang terjadi padaku saat ini, insya Allah. Lelah tak berasa karena terbayang terus kebahagiaan yang sebentar lagi akan menjelma.

Sore, jam 13.35, aku sampai di rumah. Setelah sungkem kepada ibu, ayah, dan menyalami Luluk, adik perempuanku, kubersihkan badanku. Setelah itu, aku utarakan keinginanku kepada kedua orangtuaku. Mereka sempat terkejut mendengar keinginanku yang tiba-tiba, lalu mempertanyakan kesiapanku dalam menafkahi. Mengetahui pengetahuan agama bapak dan ibu yang lumayan, kusampaikan kepada mereka secara ma'ruf bahwa aku ingin dapat menjaga hati, aku ingin dapat melindungi diri dari godaan-godaan, terutama wanita yang tak dapat menjaga kehormatan dan menutup auratnya. Aku tidak ingin terjerumus ke perbuatan zina!

Aku pun siap bertanggung jawab sebagai suami kelak. Alhamdulillah, aku telah bekerja sambilan sebagai tenaga operator sebuah percetakan di Bandung, yang insya Allah gajinya cukup untuk kebutuhan kita selama sebulan. Aku terus berusaha meyakinkan Bapak dan ibu. Perjuanganku yang cukup gigih pada sore itu, akhirnya meluluhkan hati bapak dan Ibu. Kau tahu, Biya, selepas Isya kita akan ke rumahmu. Lihat, bapak sedang menelpon rumahmu, hendak bicara dengan bapakmu.

***

Di Rumahmu Jam Setengah Tujuh Lebih Lima

Aku duduk di sebelah kanan Luluk dan di sebelah kiri Ibu. Bapak duduk di sisi kanan. Sedang di hadapan kami, bapakmu, sedang mengobrol dengan bapak dan ibu dengan bahasa Jawa sebelum membicarakan hal yang utama. Sedang Lutfi, kakak keduamu yang merupakan sahabatku dari kecil, mengajakku mengobrol tentang banyak hal, termasuk aktivitas perkuliahan, dakwah kampus, dan pekerjaan sambilanku. Subhanallah, ternyata Lutfi aktif di LDK di kampus yang sama denganmu. "Kapan kau menyusul, Biya?" gumamku dalam hati.

Kata bapakmu, kakakmu yang pertama sekarang tinggal di Semarang, dekat tempat kerjanya, sehingga tak bisa berkumpul pada acara yang memang mendadak ini. Aku dengar di belakang, ibumu mungkin juga dirimu, sedang membuatkan minum dan mungkin mempersiapkan sesuatu untuk disajikan kepada kami.

Sambil sedikit menunduk, sekilas aku lihat seorang gadis berjilbab putih lebar melangkah menuju kamar yang letaknya beberapa meter dari ruang tamu ini. Kedua kakakmu kan laki-laki, sedangkan kau anak bungsu. Lalu itu siapakah? Apa istrinya Lutfi? Kalau sudah menikah, aku kok belum tahu ya?

Tak berapa lama, bapakmu memanggilmu setelah ibumu selesai menyajikan teh manis dan kue pisang bolen, oleh-olehku dari Bandung yang ternyata disajikan kembali kepada kami.

Lalu kau pun muncul dari kamar tempat gadis berjilbab lebar tadi masuk. Tunggu... Tunggu... Bukankah itu…

Subhanallah, Biya, kaulah gadis berjilbab lebar tadi! Ya Allah, benarkah ia telah seirama dengan jalan hidup yang kutempuh ini? Benarkah ia telah seiring sejalan dengan pergerakan kami?

Istighfar, Fikri, Istighfar! Aku tersadarkan dari keterpanaanku, memperhatikanmu yang sedari tadi tertunduk. Astaghfirullah...

Dan proses khitbah pun berakhir dengan diterimanya lamaranku kepadamu, Biya. Bapak dan ibumu menyerahkan keputusannya kepadamu, mau atau tidak menerima lamaranku. Dan kau menerimaku, dengan syarat kau diperbolehkan melanjutkan kuliah. Bapak dan ibumu pun menginginkan demikian. Tentu, Biya, malah aku akan mengharuskan kau untuk tetap kuliah.

Sungguh, aku, mungkin juga dirimu, saat ini menjadi orang yang paling bahagia! Syukron, jazakallahu khairan katsira, kau menerima lamaranku.

***

Malam, Sepulang dari Lamaran

08180225xxx
"Biya, bnrkh kau kini aktf d LDK?"

08180211xxx
"Alhmdllh, mas. 6 bln yg ll, awalny diajak ngaji sm Azkiya, tmn sjrusanku. Alhmdllh, aq sngt mnyukai lgkgn ini. Aq ingn jd mslmah yg shlhah. Aq skrg udah sngt mngrti apa yg dl ak blm trm ktk mas ucpkn hal itu."

08180225xxx
"Alhmdllh."

Lusa, pernikahan kita, Biya. Pernikahan yang sederhana, dengan persiapan yang seadanya. Tak apa, yang penting akad kita tunaikan dulu. Soal walimahan, insya Allah kita laksanakan bila segala persiapan telah memungkinkan untuk mengundang semua saudara, handai taulan, dan sahabat kita untuk mensyukuri nikmat yang akan kita rasakan. Kedua orangtua kita, juga kedua kakakmu, Lutfi, dan Mas Riza yang dihubungi lewat telepon, telah memaklumi, khususnya keadaanku, dan menyetujui apa yang kami diskusikan. Keputusannya, kita menikah lusa dengan akad nikah saja.

Setelah itu, kita akan mainkan simfoni hidup yang lebih indah dari dentingan piano Yanni, David Benoit, petikan gitar Lee Ritenour, Santana, dan semua musisi dunia, seiring mentari di matamu yang kan bersinar kembali. Beberapa minggu kemudian, kita pun terentang jarak lagi, karena kau dan aku harus selesaikan studi. Tak apa, demi kebahagiaan mereka dan kebahagiaan kita. Bukankah rela berkorban sepertinya terdengar sangat indah di telinga kita? Bukankah bapak dan ibumu ingin melihatmu jadi dokter? Aku pun ingin berobat gratis jika aku jatuh sakit, pikir nakalku bermain. Boleh kan? Insya Allah, Biya, tiga setengah tahun lagi kau sudah boleh menyusulku, meruahkan rindumu di rumah kecil kita, satu titik yang sangat kecil dari peta dunia.

Jayagiri, November 2007

Suka

Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Listyo Nurdono sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.

Prof | Cloth Design
Moga KotaSantri.com bisa jadi situs Jejaring yang Populer n meng-Global! Amin!
KotaSantri.com © 2002 - 2024
Iklan  •  Jejaring  •  Kontak  •  Kru  •  Penulis  •  Profil  •  Sangkalan  •  Santri Peduli  •  Testimoni

Pemuatan Halaman dalam 0.0938 Detik

Tampilan Terbaik dengan Menggunakan Mozilla Firefox Versi 3.0.5 dan Resolusi 1024 x 768 Pixels