QS. At-Taubah 9 : 129 : "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepadaNya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung."
|
http://aishliz.multiply.com | |
http://friendster.com/http://friendster.com/aishliz |
Senin, 16 Maret 2009 pukul 19:00 WIB
Penulis : Lizsa Anggraeny
Namanya Ibrahim, berumur kira-kira 4 tahun. Lahir dari pasangan muslim Pakistan dan muslimah Jepang. Jika ditanya cita-cita, "Kalau sudah besar mau jadi apa?" Jawaban tegasnya selalu membuat bulu tangan berdiri. "Okikunattara Masjidil Haram no Imam ni naritai! (Kalau sudah besar pengen jadi Imam di Masjidil Haram!)." Di usianya yang masih belia, Ibrahim hapal hampir seluruh juz ke-30 Al-Qur'an. Sebuah prestasi yang menggembirakan bagi seorang anak yang dididik dalam lingkungan negeri yang tidak mengenal agama seperti Jepang.
Namanya Ismail, berumur sekitar 4 atau 5 tahun. Lahir dari pasangan muslim Afrika dan muslimah Jepang. Jika ditanya tentang cita-cita, jawabannya akan polos terdengar, "Okikunattara suika ni naritai. (Kalau sudah besar ingin jadi buah semangka.)." Jawaban khas anak kecil yang mungkin akan membuat orang dewasa tersenyum geli. Namun tidak begitu jika ditanya, "Ismail orang mana?" Sosok kecilnya akan tegas menjawab, "Boku wa Isuramu jin da yo. (Aku orang Islam)." Sosok kecil Ismail mungkin belum mengenal nama-nama negara di dunia, yang ia tahu hanyalah kebanggaan menjadi orang Islam, seorang anak muslim yang lahir di negeri sakura.
Tidak hanya Ibrahim dan Ismail, ada si kecil yang bernama Aisha, Nurjanah, Sahar, Samar, Hasan, Jibril, Thalhah, serta beberapa jundi cilik lainnya yang tinggal di negeri sakura. Umumnya mereka terlahir dari pasangan campuran muslim asing dengan muslim Jepang. Tidak seperti anak-anak muslim di Indonesia, mungkin mereka jarang sekali mendengarkan adzan di masjid, tidak bisa sering berkumpul dengan sesama anak muslim lainnya, sulit mendapatkan buku cerita anak tentang Islam, serta kurang memiliki lingkungan kondusif untuk belajar agama.
Dengan kondisi seperti ini, tidak salah jika para orangtua mereka begitu giat ingin menanamkan jiwa mencintai Allah dan Rasulullah SAW sejak masih dalam buaian. Setiap dua pekan sekali ataupun dalam acara khusus, saya memiliki kesempatan bertemu dengan para jundi ini di sebuah masjid di sekitar kawasan Tokyo. Jarak perjalanan yang jauh sepertinya tidak menjadi halangan. Semata semua dilakukan untuk menambah 'charge' ruhaninya tentang Islam.
Dalam keterbatasan waktu dan ruang, para jundi cilik ini tetap memiliki semangat. Mengikuti dengan mimik serius setiap mendengarkan cerita shirah nabawi ataupun sahabat, tertawa-tawa riang ketika diajarkan huruf hijaiyah dengan permainan kotak dadu, serta kadang terbata-bata berusaha menghapalkan setiap untaian ayat, surat-surat, atau pun do'a-do'a pendek yang dilantunkan bersama di antara kelincahannya sebagai anak-anak. Tak berlebihan rasanya, jika melihat sosok mungilnya yang ceria dengan semangat menyala, ingatan saya selalu melompat pada beberapa cerita tentang para pahlawan cilik di masa Rasulullah SAW.
Rafi bin Khudaij, pemanah cilik ulung yang pernah ikut dalam jihad di Uhud. Zaid bin Tsabit dalam usianya yang masih belia, diberi kehormatan membawa bendera pasukan muslim saat perang Tabuk karena memiliki hapalan Al-Qur'an yang baik. Salamah bin Akwa yang tekenal sebagai pelari cilik tercepat hingga dapat menahan para perampok unta-unta Rasulullah SAW dengan teknik berlarinya. Aisyah binti As-Shiddiq, gadis cilik cerdas banyak mengetahui tentang Al-Qur'an, hadits, atau pun syair. Pahlawan cilik yang dalam usia belia, begitu bangga dengan izzah sebagai muslim. Dengan gagah berani membela Islam. Memerangi kedzaliman dengan kecerdasan dan keahlian, meski terkadang musuh yang dihadang lebih besar daripada badanya.
Para jundi negeri sakura, mungkin belum tahu tentang cerita kehebatan para pahlawan cilik di atas. Dan mungkin pula kehebatan para jundi negeri sakura belum sebanding dengan para pahlawan cilik di zaman Rasulullah SAW. Namun tak berlebihan jika para orangtua, termasuk saya, memiliki harapan yang sama. Bahwa para jundi cilik tersebut suatu saat akan menjadi pahlawan pembela Islam di negeri sakura. Dalam jiwa kecilnya, akan tumbuh kebanggaan menjadi seorang muslim, dapat gagah berani membela Islam, memiliki sikap tegas berjuang melawan kedzaliman berupa serangan pemikiran barat, tidak terimbas oleh lingkungan sekuler yang siap menghancurkan mutiara imannya.
Perlahan tapi pasti, jundi-jundi cilik di negeri sakura akan tumbuh menjadi generasi yang berjiwa kuat seperti para pahlawan cilik di zaman Rasulullah SAW. Mereka akan menjadi penegak panji Allah SWT yang selalu bangga mengatakan, "Saya adalah muslim." Yang dapat meluaskan syi'ar Islam hingga semakin menyebar dan kokoh tegak di bumi sakura. Insya Allah.
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Lizsa Anggraeny sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.