QS. At-Taubah 9 : 129 : "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepadaNya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung."
|
![]() |
http://kotasantri.com |
Sabtu, 30 November 2013 pukul 20:00 WIB
Penulis : Redaksi KSC
Sekarang yang berkembang bukan sistem Islam, negara pun bukan Islam, tapi sekuler. Dengan segala konsekuensi kesekuleran, ada kapitalistik dan individualistik, segala sesuatu yang bersifat publik dilakukan dengan sifat privat. Kemudian masyarakat berbuat sesuatu untuk saudaranya harus sesuai dengan peraturan hak dan kewajiban, baik yang bersifat memaksa atau pun sukarela, tetap memakai aturan.
Konteks seperti itu menjadi seharusnya diterapkan syari'at islam, living law harus direformulasi, baik dalam undang-undang maupun peraturan daerah. Oleh karena itu, reformulasi Islam dalam syari'at undang-undang menjadi sesuatu yang harus dilakukan, termasuk dalam pengelolaan dana masyarakat. Dan kelembagaan menjadi mutlak adanya dan ini disadari sistem oleh para pemimpin, cendekiawan muslim Indonesia, sehingga berupaya membuat rencana undang-undang tahun 90-an dan goal tahun 1998, yaitu UU No 38.
Walaupun masih dalam bentuk sederhana, karena hanya baru mengatur pengelola zakat dan belum pada muzaki serta mustahiknya, tapi lambat laun ketika terjadi reformulasi syari'at Islam, bisa mendukung di kemudian hari. Bila dikaitkan dengan zaman Rasulullah sangat berbeda. Dilihat dari tingkat kebutuhan, susunan demografis, infrastruktur sebuah masyarakat berbeda, konteks negara pun beda. Sekarang, segala sesuatu serba sulit. Oleh karena itu, memberi harta kepada fakir miskin tidak memberi dalam kontek konsumtif, sebab bisa jadi yang disebut miskin karena di rumahnya tidak ada makanan.
Ketika pendekatannya konsumtif, tidak efektif malah jadi mubadzir. Pemahaman bahwa zakat itu dikelola menjadi dana produktif, malah harus digalakan. Karena tujuan syari'at, bila dilihat dari definisi zakat, bahwa harta yang diambil dari orang kaya dan didistribusiakan kepada fakir mikin. Tidak dijelaskan esensinya seperti apa. Itu membuka kita untuk berkreasi sedemikian rupa.
Nah, dalam konteks sekarang, zakat harus diberikan kepada mustahik sehingga kelak menjadi muzaki. Dalam konteks itu jelas berkembang, tidak meleset dari tujuan-tujuan syar'i. Yang menjadi problem, Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang ada sekarang ini belum menjangkau potensi yang ada di masyarakat. Potensi itu, berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik, sebesar 7 triliyun. Tetapi pengelolaanya masih berkisar 200 s.d. 300 milyar. Itu berarti baru 0,5 %.
Jadi, kemiskinan itu masih disebabkan oleh jangkaun LAZ yang masih jauh. Tapi harus diakui bahwa miskin adalah sebuah kemestian dalam sistem sosial. Karena tidak mungkin ada orang kaya, jika tidak ada yang miskin. Namun apakah miskin merusak tatanan sosial atau tidak. Oleh karena itu yang bertanggungjawab terhadap kemiskinan adalah pemerintah dan masyarakat. Banyak hal yang menjadi faktor. Bisa jadi karena rendahya pendidikan, ketidakadilan, pengangguran, dan lainnya.
Oleh karena itu, pengokohan LAZ harus baik dalam sosialisasi, penyadaraan masyarakat, salah satunya menganjurkan bahwa menitipkan zakat kepada lembaga profesional itu lebih sunnah daripada memberikannya sendiri. Selain sosialisasi, juga harus ada perbaikan manajeman. Harus ada litbang yang melahirkan kreativitas baru, baik dalam penghimpunan, pengguliran program, dan juga pengelolaan dana itu sendiri. Ini dituntut terus menerus.
KH. Hilman Rosyad Syihab, Lc. # Dimuat Ulang dari Arsip KSC # 29-11-2007
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Redaksi KSC sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.