QS. Luqman:17 : "Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). "
Alamat Akun
http://shardy.kotasantri.com
Bergabung
1 Maret 2009 pukul 13:00 WIB
Domisili
Dhoha -
Pekerjaan
Tulisan Syaifoel Lainnya
Mengasa Jiwa Raga, Ba'da Kuliah
6 Maret 2013 pukul 11:00 WIB
Jangan Hanya Dengar Suara Hati!
15 Februari 2013 pukul 11:00 WIB
Mendayung Cinta di Samudera Seberang
9 Februari 2013 pukul 13:00 WIB
Hutang Budi, Tidak Perlu Dibawa Mati
3 Februari 2013 pukul 11:00 WIB
Pamer Kertas Berharga, Paradigma Lama
28 Januari 2013 pukul 18:00 WIB
Pelangi
Pelangi » Jurnal

Sabtu, 16 Maret 2013 pukul 15:00 WIB

Membayar Magang, Kembali ke Zaman Jahiliyah

Penulis : Syaifoel Hardy

INT Tour 2012 baru saja digelar. Tujuh perguruan tinggi, satu lembaga independen dikunjungi. Ada banyak sorak. Ratusan wajah mengekspresikan rasa gembira. Tidak sedikit yang menyimpan duka. Ada pula yang ogah. Tidak terkecuali mereka yang putus asa. Semua ada di dalamnya. Bukan kepura-puraan. Namun itulah kenyataan. Kenyataan yang menghiasi wajah profesi kita. Indonesian Nursing Professionals.

Dalam salah satu presentasinya, yang berjudul "Professional Development, Opportunity and Future Challenges" dikemukakan, bahwa kendala terbesar hasil lulusan pendidikan nursing di Indonesia adalah ketiadaan lapangan kerja yang memadai. Guna mengahadapinya, tidak serta merta harus menyalahkan Pemerintah. Rasanya kurang bijak bila kita tidak libatkan semua unsur yang terkait.

Berdirinya sebuah lembaga pendidikan tidak terlepas dari keterlibatan berbagai pihak selain Pemerintah. Yakni, penyelenggara pendidikan, masyarakat, dosen, manajemen, swasta, instansi terkait, dan tentu saja mahasiswa. Jika salah satu unsur di atas tidak mendukung, sebuah pendidikan tidak bakal jalan.

Pemerintah yang memberi ijin legal. Masyarakat yang membeli. Mahasiswa yang belajar. Dosen yang mengajar. Manajemen yang mengatur. Penyelenggara pendidikan yang mendanai. Diknas yang memberi kurikulum. Swasta yang membantu secara finansial hingga teknis termasuk masalah praktik.

Namun, begitu mahasiswa lulus, siapa sebenarnya pihak yang paling bertanggung jawab?

Fresh graduate jadi bingung ketika dihadapkan kepada realita betapa sulit mendapatkan kerja. Di Jawa, bahkan di Sumatera dan Sulawesi. Begitu pengakuan mereka.

Kelihatannya, pengakuan ini sepihak. Akan tetapi layak dicermati dan menjadi wacana kita bersama. Bahwa memang ada yang salah, yang perlu dikoreksi serta membutuhkan analisa dalam penyelenggaraan pendidikan ini.

Yang lebih menyedihkan. Para lulusan ini, ternyata ada yang 'rela' untuk 'membayar' saat magang, demi menyelamatkan reputasi. Dan itu, didukung oleh orangtua mereka.

Konon, ini terjadi agar putera-puteri mereka terlihat 'kerja'. Sebuah sebutan yang amat dibanggakan daripada menyandang predikat 'nganggur'.

Di Malang, Jawa Timur, mereka yang 'magang' ini, menurut sumber INT yang bisa dipercaya, memang harus bayar. Jumlahnya, nyaris sama dengan honor nurses yang baru kerja.

Ironisnya, ini terjadi di sebuah lembaga Pemerintah. Sebuah lembaga yang mestinya mendukung program Pemerintah dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Akan tetapi yang dilakukan justru sebaliknya, membuat rakyat jadi makin miskin dan sengsara.

Mengapa ini terjadi?

Simple jawabannya! Kita, para lulusan juga orangtua,setuju dengan syarat yang dilontarkan oleh intansi tersebut. Biasanya berupa iming-iming. Sesudah magang dalam waktu tertentu, katakanlah 6 bulan, mereka mendapatkan pekerjaan.

Apa benar demikian? Wallau a'lam!

Dulu, pada zaman Belanda juga Jepang, banyak pejuang kita yang bersedia menjadi sukarelawan di lembaga-lembaga kemanusiaan termasuk rumah sakit. Mereka yang bekerja di dalamnya, dengan ikhlas menjalankan tugas serta kerja membantu pekerja tetap yang ada di dalamnya guna meringankan beban derita para pasien. Layaknya sukarelawan, dan sesuai dengan namanya, mereka tentu saja tidak digaji. Karena begitu digaji, predikat mereka harus diganti.

Saya tidak mengerti predikat lulusan yang magang ini. Pegawai bukan, honorer bukan, bahkan sukarelawan juga bukan. Apakah yang namanya magang harus bayar jika demikian?

Ada beberapa usulan langkah yang perlu ditempuh guna mengatasi masalah ini.

Pertama, selama pendidikan. Penyelenggara pendidikan dan atau dosen, harus gencar mengadakan komunikasi dengan RS, Balai Kesehatan hingga Klinik-klinik swasta tentang program mereka. Jika perlu adakan seminar-seminar atau workshop. Tunjukkan bahwa lulusan mereka mengantongi kompetensi yang siap pakai. Lulusan mereka berkualitas.

Kedua, selama pendidikan, kampus dan juga dosen harus gencar melancarkan kampanye seperti ini kepada mahasiswa, bahwa sesudah lulus, mereka tidak semestinya bekerja tanpa bayaran, apalagi harus membayar.

Meski pilihan ada di tangan lulusan, namun dosen tetap memiliki tanggungjawab moral terhadap persoalan ini. Jika dilepas, lantas apakah sepenuhnya diserahkan kepada lulusan sementara para dosen dan penyelenggara lah yang mencetak bagaimana kualitas mereka?

Ketiga, mahasiswa. Hendaknya belajar giat guna meraih kompetensi yang handal. Menjadi mahasiswa yang baik, bukan hanya pintar atau cerdas, moral dan etika itu lebih penting. Mahasiswa atau lulusan yang memiliki etos kerja yang tinggi tidak bakalan bersedia 'membayar' saat magang. Sebaliknya, hanya mereka yang ingin menempuh jalan pintas serta tidak mau repot yang bersedia melakukannya.

Keempat, organisasi profesi harus turut bersikap. Utamanya di tempat di mana para lulusan ini magang. Jangan hanya karena membela instansi, lantas pasa fresh graduate ini menjadi kurban. Sebagai organisasi profesi layak mengayomi para lulusan yang sedang mencari kerja ini dengan jalan membantu menjembatani komunikasi dengan institusi.

Kelima, kepada healthcare provider (RS, Balai Kesehatan atau Klinik), sebaiknya jangan hanya semata mendepankan keuntungan finansial lantas semua cara dipandang legal. Jika dulu ada tenaga sukarelawan di RS atau tenaga honorer, mengapa sekarang mereka yang sedang membantu anda harus bayar padahal keringat mereka sudah bercucuran?

Akhirnya, saya pribadi sebetulnya sangat suka dengan sebutan 'Hospital' yang mendekati istilah 'hospitality' (ramah tamah) ketimbang istilah 'Rumah Sakit' bagi orang-orang kita yang berharap mendapatkan pelayanan kesehatan di negeri ini. Mengapa? Hospital memang sudah semestinya menjadi tempat orang-orang yang ramah, sehingga pasiennya akan cepat pulih dan sembuh.

Sedangkan rumah sakit, sesuai dengan artinya, tempat orang-orang sakit kan? Tapi itu bukan urusan saya. Ini hanyalah pengertian orang awam. Jika saya sakit, saya lebih suka dirawat di 'hospital' ketimbang 'rumah sakit'. Bagaimana dengan anda? Itu bukan berati saya 'gila' dengan bahasa Inggris! Hanya usulan saja.

Bukankah dulu nama Makassar adalah Ujung Pandang, dan Papua adalah Irian Barat atau Irian Jaya? Jika masih bisa diubah, mengapa harus dipertahankan? Misalnya, ganti aja dengan 'Rumah Sehat' atau pakai ajalah 'hospital! Gitu aja kok repot!

Yang saya kuatirkan di kemudian hari adalah, karena penggunaan istilah 'rumah sakit' ini, yang sakit ternyata akan merembet ke mana-mana, bukan hanya dalam artian nosokomial. Semoga ini tidak terjadi!

Oleh karenanya, saya ajak rekan-rekan, khususnya yang mau magang, untuk MENOLAK membayar instansi yang mengharuskan anda bayar selama menjadi sukwan di sana! Agar anda, orangtua, dan masyarakat kita tidak makin sakit karenanya!

Tunjukkan, bahwa anda adalah tenaga profesional yang layak mendapatkan imbalan, bukan sebaliknya, malah rela diperas!

Saya yakin dan percaya, banyak insitusi yang baik serta memperhatikan nasib generasi muda kita, yang sedang dirundung malang, mencari kerja. Tulisan ini hanya sebagai luapan concern saya terhadap fenomena yang ada, aga tidak meluas serta menjalar ke mana-mana!

Suka

Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Syaifoel Hardy sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.

Saeful Arif | Dagang
Saya senang membaca di KotaSantri.com.
KotaSantri.com © 2002 - 2024
Iklan  •  Jejaring  •  Kontak  •  Kru  •  Penulis  •  Profil  •  Sangkalan  •  Santri Peduli  •  Testimoni

Pemuatan Halaman dalam 0.0722 Detik

Tampilan Terbaik dengan Menggunakan Mozilla Firefox Versi 3.0.5 dan Resolusi 1024 x 768 Pixels