Imam Nawawi : "Aku mencintaimu karena agama yang ada padamu. Jika kau hilangkan agama dalam dirimu, hilanglah cintaku padamu."
Alamat Akun
http://abisabila.kotasantri.com
Bergabung
30 Oktober 2009 pukul 19:46 WIB
Domisili
Tangerang - Banten
Pekerjaan
swasta
Seorang pembaca yang sedang belajar menulis.
http://www.abisabila.com
http://facebook.com/abi.sabila
http://twitter.com/AbiSabila
Tulisan Abi Lainnya
Jangan 'Asingkan' Anak
9 April 2010 pukul 15:30 WIB
Batas Kesabaran
6 April 2010 pukul 20:00 WIB
Karena Bangkai Itu Busuk dan Bau
2 April 2010 pukul 15:05 WIB
Selamat Datang Hidayah
26 Maret 2010 pukul 15:30 WIB
Ikhlas Apa Pelit?
19 Maret 2010 pukul 15:35 WIB
Pelangi
Pelangi » Refleksi

Kamis, 15 April 2010 pukul 16:45 WIB

Antara Dakwah dan Lawak

Penulis : Abi Sabila

Jaman sekarang, kalau tidak bisa melucu ya tidak laku! Barangkali itulah alasan mengapa beberapa penceramah menyisipkan lawakan dalam setiap dakwahnya. Perkiraanku ini tidak mengada-ada atau muncul begitu saja, tapi berdasarkan pengalaman yang aku dapatkan ketika mengikuti beberapa pengajian, khususnya dalam satu bulan terakhir.

Pertama, saat mengikuti sebuah pengajian tak jauh dari tempat tinggalku sebulan yang lalu. Dalam acara pengajian yang diadakan bada’ shalat Isya itu, pihak panitia mendatangkan dua orang penceramah. Sayang, ‘keanehan’ sudah terasa ketika penceramah pertama mulai memberikan tauziahnya di sepuluh menit pertama. Di sini lelucon sudah disuguhkan dalam porsi yang agak berlebihan. Ada yang tidak nyambung antara materi yang disampaikan dengan tema yang dipilih panitia. Sang penceramah hanya membaca tema itu di awal saja, dan selanjutnya tak lebih dari sekedar lawakan belaka. Astaghfirullah!

Dua puluh menit berlalu, sang penceramah pun semakin lancar melempar lelucon-leluconnya. Sebagian jama'ah yang mayoritas ibu-ibu dan juga anak-anak menyambut setiap lelucon dengan tawa yang meledak. Aku dan beberapa jama'ah yang berangkat dari mushala bersama mulai merasa risih dengan guyonan sang da'i. Suasana pengajian berubah layaknya pertunjukan lawak. Beberapa kali terlontar dari bibir sang penceramah kata-kata kasar dan tidak pantas untuk diucapkan oleh seorang aktifis dakwah di hadapan jama'ah pengajian. Bahkan, kata-kata seperti itu nyaris tak pernah terdengar di rumah. Aku sempat berfikir, meyakinkan diri sendiri, apakah aku berada di tempat dan acara yang tepat? Dan kenyataannya memang aku sedang duduk di antara ratusan jama'ah pengajian, bukan di pasar, terminal, ataupun di pinggir jalan.

Kecewa dengan penceramah pertama, aku dan beberapa jama'ah mushala yang juga merasakan kekecewaan yang sama, berusaha untuk tetap mengikuti acara sampai selesai dengan harapan penceramah kedua nanti akan memberikan tauziah yang lebih bermakna dibanding penceramah pertama. Namun, kekecewaan harus kembali kami dapati. Penceramah kedua pun tak jauh berbeda dengan penceramah pertama. Bahkan, jika penceramah pertama beberapa kali memakai kata-kata kasar, maka penceramah kedua seolah lupa untuk apa beliau hadir di tengah-tengah jama'ah pengajian.

Ibarat di sebuah acara khitanan masal, semestinya sang penceramah memberikan tauziahnya seputar mengapa dan apa keutamaan khitan, tapi yang disampaikan justru sebaliknya, seolah sang penceramah sedang berada di sebuah acara pernikahan masal. Siapa yang menjadi pendengarnya dan apa yang menjadi tema acara, sama sekali tidak nyambung dengan apa yang disampaikannya. Sangat tidak pantas disampaikan di hadapan anak-anak yang duduk di barisan depan, hanya berjarak dua meter dari tempatnya berdiri. Astaghfirullah! Kami yang hanya jama'ah biasa pun tak pernah membicarakan hal-hal seperti itu ketika kami bertemu. Sungguh, kami malu sekaligus pilu.

Kedua, ketika aku menghadiri sebuah pengajian seminggu yang lalu. Tak jauh berbeda dari pengajian pertama, meski sang penceramah datang dari kota yang berbeda, namun ada kesamaan dengan cara menyampaikan tauziahnya yang ‘diperkaya’ dengan lawakan namun minim dengan pelajaran. Mereka sama-sama menggunakan lawakan secara berlebihan dalam berdakwah. Bahkan ada beberapa lawakan yang sama persis, juga kata-kata kasar dan kurang pantas disampaikan dalam majelis pengajian.

Inikah salah satu pertanda bahwa akhir zaman sudah semakin dekat? Masyarakat lebih suka dengan lawakan dibanding pengajian, sementara para penceramah sudah mementingkan penghasilan dibanding dakwah yang harus disampaikan. Jika dalam lawak disisipkan dakwah, mungkin ini akan memberikan nilai plus. Tapi bila dakwah disisipi lawak, semestinya jangan sampai kehilangan kendali. Humor, guyonan barangkali memang perlu diberikan untuk membuat suasana menjadi segar kembali karena memang sudah menjadi kebiasaan setiap mendengarkan pengajian, maka syetan akan datang dengan rasa kantuk yang menyerang. Tapi, semestinya guyonan tetap diberikan dengan hati-hati dan dalam porsi yang terkendali, sehingga tidak merusak acara pengajian itu sendiri.

***

Memang benar bahwa Rasulullah SAW adalah tauladan yang sejati dalam segala hal, termasuk bagiamana beliau bercanda. Di samping berdakwah, beliau juga suka bercanda dengan para sahabat, namun yang jelas tidak sampai kebablasan ataupun menggunakan kata-kata kasar atau tak pantas sebagai bahan candaan. Salah satu riwayat yang sering kita dengar adalah ketika beliau menjawab seorang perempuan tua yang bertanya kepada Nabi apakah dia masuk surga pada hari kiamat nanti. Nabi menjawab bahwa tidak ada seorang perempuan tua pun masuk surga. Kemudian perempuan tua itu menangis tersedu-sedu. Nabi menjawab sambil tersenyum bahwa di surga tidak ada orangtua dan yang ada bahwa orang-orang tua akan dikembalikan menjadi muda kembali. Mendengar jawaban itu, perempuan kembali tersenyum.

Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau suka mencandai kami.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku tidak berkata kecuali yang benar.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi).

***

Kita memang tidak bisa menyamaratakan hal ini, namun kita juga tidak boleh menutup mata pada kenyataan ini. Ini benar-benar terjadi dan akan merugikan Islam jika tidak segera dibenahi.

Siapa yang bertanggung jawab dengan hal ini? Tentunya ini menjadi tanggung jawab kita bersama. Sebagai jama'ah, mari kita lebih selektif dalam memilih penceramah, jangan karena alasan popularitas atau kemeriahan, pengajian yang kita adakan tak lebih dari sekedar tontonan tanpa tuntunan. Juga sebagai da'i yang mendapat amanah memberikan pencerahan kepada masyarakat, semestinya lebih ‘bertanggung jawab’ terhadap setiap ilmu yang disampaikan. Tingkah laku keseharian di rumah mungkin tak diketahui jama'ah, tapi tutur kata yang disampaikan itulah yang dinilai jama'ah. Bagaimana pun, sesuatu yang baik itu semestinya disampaikan dengan cara yang baik, dengan bahasa yang baik, sehingga yang mendengarkannya pun akan menyikapinya dengan tindakan yang baik.

Entahlah, aku hanyalah jama'ah yang bodoh yang mungkin karena minimnya ilmu yang ada pada diri ini, aku merasa ada yang perlu diperbaiki dalam berdakwah di negeri ini.

http://www.abisabila.com

Suka

Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Abi Sabila sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.

Endang Supriatna, S.Pd. | Guru
Ingin bergabung pada web yang sangat bermanfaat bagi ummat ini. Semoga web ini benar -benar menjadi media ukhuwah dan penebar ilmu. Amien.
KotaSantri.com © 2002 - 2024
Iklan  •  Jejaring  •  Kontak  •  Kru  •  Penulis  •  Profil  •  Sangkalan  •  Santri Peduli  •  Testimoni

Pemuatan Halaman dalam 0.2004 Detik

Tampilan Terbaik dengan Menggunakan Mozilla Firefox Versi 3.0.5 dan Resolusi 1024 x 768 Pixels