QS. Al-'Ankabuut : 64 : "Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui."
|
![]() |
http://hifizahn.multiply.com |
Sabtu, 30 Mei 2009 pukul 20:00 WIB
Penulis : Hifizah Nur
"Ah, males ngobrol sama dia. Orangnya ja'im," celetuk seorang teman, ketika saya menanyakan kesannya terhadap salah seorang teman baik saya.
Akhir-akhir ini, saya sering kali mendengar kata-kata ja'im ini, atau kependekan dari 'jaga imej'. Secara harfiah, kata jaga merupakan bentuk dasar dari kata menjaga. Sedangkan kata imej berasal dari bahasa Inggris, 'image', yang dalam kamus berarti kesan publik terhadap seseorang.
Dalam pergaulan sehari-hari, kata ini berkonotasi negatif yang berarti berusaha menjaga sikap, agar tingkah laku buruknya tidak nampak kepada publik. Kalau ini saja masih bagus, tetapi ada arti lebih jauh lagi, yaitu karena terlalu menjaga, maka perilakunya menjadi tidak natural, terkesan menutup diri, dan menjengkelkan lawan bicara atau orang-orang di sekitarnya.
Sebenarnya, dalam interaksi sehari-hari yang wajar, dua orang individu semakin lama akan semakin mengenal satu sama lain. Saling mengetahui apa kelebihan dan kelemahan yang dimiliki oleh temannya. Itupun tergantung dari sejauh mana kerelaan kedua pihak untuk membuka diri dan membiarkan orang-orang luar masuk ke dalam wilayah pribadinya. Jadi intinya, 'keterbukaan'.
Bila seseorang memiliki keinginan yang kuat untuk terbuka, bisa jadi ia akan mempengaruhi lawan bicaranya untuk terbuka juga. Dengan catatan, lama dan intensitas interaksi antara dua individu juga berpengaruh terhadap proses keterbukaan ini.
Masalahnya, ternyata sulit menjadi pribadi yang terbuka, karena hal ini sangat dipengaruhi oleh bagaimana penerimaan diri (self acceptence) seseorang. Penerimaan diri ini dipengaruhi oleh self concept (kesadaran kita terhadap keunikan dan seluruh struktur kepribadian kita), self image (cara kita memandang diri kita sendiri), dan self esteem (harga diri kita).
Kesemuanya itu terbentuk dari proses yang panjang, yang merupakan hasil dari pengalaman kita dalam berinteraksi dengan orang lain. Teorinya, orang yang memiliki penerimaan diri yang tinggi, yang PeDenya tinggi, akan sangat terbuka dengan orang lain. Ia tidak malu mengakui ada banyak kelemahan yang dia miliki tanpa menutupi sisi positif di dalam dirinya.
Hal itu bisa terjadi karena orang-orang yang memiliki rasa PeDe yang tinggi ini merasa nyaman dengan dirinya, bisa menghargai dirinya, dan juga bisa menghargai orang lain 'apa adanya'. Hal ini membuat orang lain merasa nyaman untuk terbuka bila bersamanya. Wilayah keterbukaan ini memang sangat krusial dalam membuat pergaulan kita menjadi harmonis dan semakin mendalam.
Tidak semua orang bisa membuka diri dengan nyaman kepada orang lain. Ada banyak hal yang membuat seseorang seperti menjaga jarak, atau wilayah pribadinya tertutup kepada orang lain. Di antaranya adalah pengalaman di masa kecil yang kurang diterima dan dihargai oleh lingkungan. Misalnya, bila seorang anak kecil selalu dibilang "kamu bodoh" oleh orangtuanya, padahal ia sama sekali tidak bodoh, maka kata-kata ini akan membentuk konsep diri negatif, bahwa ia adalah orang yang bodoh.
Pengalaman masa kecil ini akan terekam kuat dalam memori sang anak hingga ia dewasa. Meskipun demikian, tidak berarti hal ini tidak dapat diubah. Proses perbaikan pribadi yang terus menerus akan bisa menghapus konsep diri yang negatif ini, insya Allah.
Nah, sekarang back to ja'im. Kenapa sih ada orang yang ja'im? Analisa saya, ada dua kemungkinan. Pertama, ia sengaja ja'im karena tidak memahami pentingnya membuka diri secara jujur dan wajar kepada lawan bicaranya. Kedua, dia tidak sengaja ja'im, tapi memang pribadinya tertutup, tidak mau membiarkan orang lain 'membaca' dirinya.
Untuk yang pertama, mudah-mudahan cara mengatasinya mudah. Kalau orang ini adalah orang yang matang, artinya memiliki konsep diri yang baik dan nilai-nilai Islam terinternalisasi dan teraplikasikan dengan baik dalam dirinya, dan ia berlaku ja'im hanya karena tuntutan peran yang disandangnya, maka perlu disadarkan bahwa seharusnya peran itu tidak membuat ia mengenyampingkan sisi-sisi manusiawi yang ada pada dirinya.
Teringat kisah keluarga Rasulullah, bahwa kehidupan mereka sangat 'biasa' untuk kebanyakan orang. Misalnya saja, ternyata Isteri-isteri Rasulullah pernah juga bertengkar karena cemburu, atau pernah juga saling melemparkan tepung di antara para isterinya, dan Rasulullah pun ikut serta di dalamnya. Bahkan kalau kita telaah, di dalam rumah tangga Rasulullah pun pernah terjadi prahara, ketika para Isteri Nabi meminta tambahan harta yang sampai membuat Rasulullah mengurung diri selama satu bulan lamanya dan mendiamkan isteri-isterinya.
Dari cerita tersebut terlihat, bahwa Isteri-isteri Nabi adalah wanita biasa yang bisa silau juga bila melihat dunia. Dan ini terabadikan di dalam Al-Qur'an yang agung, yang dibaca dan dihafal oleh jutaan orang di dunia ini. Sisi-sisi manusiawi itu sangat tampak dan wajar dalam kehidupan mereka. Jika Rasulullah dan keluarganya saja mencontohkan kepada kita untuk bersikap wajar dan terbuka, apalagi kita, yang manusia biasa ini.
Untuk tipe yang kedua, perlu proses yang panjang untuk membuat ia bisa nyaman dengan dirinya dan bisa terbuka kepada orang lain. Untuk orang seperti ini, perlu diberi support yang terus menerus agar dia bisa mengeskplor kelebihan-kelebihan dirinya. Selain itu, menanamkan nilai-nilai Islam yang benar dan membumi (seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah) juga penting sekali untuk dilakukan.
Mungkin bila orang-orang yang tertutup ini dibiarkan tumbuh dan berkembang dengan proses yang alami, dengan peningkatan kualitas ruhiyyah, fikriyyah, dan jasadiyyahnya berjalan dengan baik, maka ia akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang menyenangkan dan terbuka kepada orang lain.
Nah, sekarang ada lagi kasus, bagaimana kalau ada atasan atau pemimpin yang ja'im, sehingga ditakuti oleh anak buahnya? Kembali pada kedua jawaban di atas, perlu dicari tahu dulu penyebabnya, apakah ia benar-benar ja'im karena kurang PeDe atau dia tidak sadar kalau dirinya ja'im? Yang terpenting adalah, ada hal-hal yang memang perlu ditutupi terkait dengan perannya sebagai atasan atau pemimpin, tetapi jangan sampai hal ini menghalangi kemesraan ukhuwah dengan para staffnya.
Dan satu lagi, masalah komunikasi. Bisa jadi pemimpin ini tidak ja'im, dan juga memiliki PeDe yang tinggi, tapi cara ia berkomunikasi dengan para staffnya bisa menimbulkan jarak yang mengganggu keharmonisan ukhuwah di antara mereka. Misalnya cara ia mengkomunikasikan perannya sebagai pemimpin, terkesan kuat, 'saya atasan kamu loh!', meskipun tidak jelas terungkap melalui ucapan. Untuk kasus seperti ini, perlu dipelajari dan dilatih teknik-teknik yang bisa memperhalus komunikasi agar kesan 'lebih tinggi' yang ditimbulkan bisa diminimalisir.
Referensi : C. Pearson, Judy. Interpersonal Communication. Scott, USA Foresman Company, 1983.
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Hifizah Nur sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.