Pelangi » Risalah | Rabu, 6 November 2013 pukul 19:00 WIB
Penulis : Radinal Mukhtar Harahap
Pernahkah kita bertanya, untuk apa kita hidup? Untuk apa kita bekerja? Apa tujuan kita? Apakah semua itu berguna? Haruskah semua itu kita lakukan? Dan sederet pertanyaan lainnya yang berujung pada pokok pertanyaan yang berbunyi: Apa yang kita cari di dunia ini? Harta, kedudukan, pangkat, ketenaran, wibawa, simpati ataukah yang lainnya?
Atau selama ini kita hidup tanpa pernah tahu apa yang menjadi tujuan hidup kita? Kita bekerja tanpa pernah tahu kenapa kita bekerja? Lebih ekstrim lagi, kita hidup karena memang kita telah dilahirkan dan hidup sampai sekarang, tanpa pernah mengerti apa hakikat hidup ini? Kita bekerja karena teman-teman kita telah bekerja dan gengsi jika tidak bekerja sebagaimana mereka? Apa yang kita cari dari semua ini, kita tidak pernah tahu.
Buku Bahagia Tanpa Batas yang diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul Thoriq as-Sa'adah, menjawab hal tersebut dengan sangat menarik. Penulisnya, Ahmad Farid menuliskan dengan yakin bahwa andai saja kita bertanya pada semua orang mengenai apa yang paling mereka inginkan dan untuk apa mereka menginginkan itu, jawaban yang akan kita dengar adalah kebahagiaan. Tidak menyoal apakah mereka itu orang baik, orang jahat, kulit hitam ataukah putih, kelas menengah-bawah ataukah atas, dan seterusnya. Semua orang menginginkan kebahagiaan.
Orang baik akan mengukur kebaikannya dengan seberapa besar dia berhasil menebarkan hal-hal yang baik pada orang lain. Ia akan terus berusaha memberikan manfaat kepada yang lainnya. Begitu juga orang jahat, yang akan merasa bahagia jika telah berhasil melakukan kejahatannya. Jika ia pembunuh, misalnya, ia akan sangat bahagia jika telah berhasil membunuh musuhnya. Begitu pula dengan contoh-contoh lainnya. Orang baik dan orang jahat menginginkan kebahagiaan.
Singkatnya, kebahagiaan tidak memiliki ukuran pasti karena akan kembali ke individu masing-masing, yaitu bagaimana ia menilai kebahagiaan itu sendiri.
Seorang karyawan akan bahagia jika ia berpikir bahwa betapa nikmatnya kerja dengan peraturan yang telah tersedia. Ia tak perlu lagi mengeluarkan energi berpikirnya untuk mengatur kinerja karyawan lainnya. Berbeda dengan apa yang menjadi 'tanggung jawab' pemimpin perusahaan yang harus mengamati karyawan-karyawannya, berhadapan dengan pihak-pihak yang ingin bekerja sama tetapi tidak dalam satu pemikiran, keuangan perusahaan yang naik turun dan sebagainya.
Ia juga akan bahagia jika ia berpikir bahwa ia telah mendapatkan pekerjaan di tengah angka pengangguran yang begitu banyak. Ia berkesempatan untuk mengasah potensi yang ia miliki seraya membantu pekerjaan orang lain yang mempekerjakannya. Ia juga berkesempatan untuk mempelajari banyak hal dari pekerjaannya, yang belum tentu dapat dipelajari oleh orang lainnya.
Namun, apa yang menjadi kebahagiaan karyawan itu, bisa jadi ditolak oleh golongan yang lainnya. Pemimpin merasa dialah orang yang paling bahagia karena ia bisa mengatur karyawan. Pengangguran pun, dapat saja mengatakan bahwa 'lebih baik menjadi pengangguran daripada menjadi orang suruhan'. Intinya, Setiap orang dapat bahagia, tergantung bagaimana ia mengukur kebahagiaan dirinya sendiri.
Ada orang yang mengukur kebahagiaan dengan harta, maka ia akan bahagia jika ia telah memperoleh harta. Tetapi tidak sedikit orang yang menderita karena harta sehingga bunuh diri meskipun kaya raya. Mereka yang mengukur kebahagiaan dengan pangkat, jabatan, status di masyarakat, akan bahagia jika ia telah memeroleh itu semua. Tidak sedikit pula yang memutuskan untuk meninggalkan jabatannya untuk hidup apa adanya tanpa jabatan, pangkat, dan sejenisnya. Begitu seterusnya tergantung bagaimana ia mengukur kebahagiaannya.
~ Apa Yang Engkau Cari Di Dunia Ini? [1]
KotaSantri.com © 2002-2024