Umar bin Abdul Aziz : "Jika engkau bisa, jadilah seorang ulama. Jika engkau tidak mampu, maka jadilah penuntut ilmu. Bila engkau tidak bisa menjadi seorang penuntut ilmu, maka cintailah mereka. Dan jika engkau tidak mencintai mereka, janganlah engkau benci mereka."
|
http://twitter.com/bayugawtama |
Ahad, 22 Desember 2013 pukul 21:00 WIB
Penulis : Bayu Gawtama
Pagi kemarin, saya menjemput anak-anak dari Bogor untuk pulang ke rumah di Ciputat. Perjalanan baru memasuki kilometer ke sembilan menuju Ciputat ketika kami melewati para petugas pengumpul infak masjid di tepi dan tengah jalan. Dan kami melewati mereka begitu saja, sesaat kemudian suara kecil menegur dengan sopan, “Abi kok sudah lama nggak kasih uang buat mereka?” Nada itu terdengar begitu polos, namun cukup untuk membuat saya menghentikan kendaraan.
Saya memang sering terlupa untuk menunjukkan secara langsung kepada anak-anak cara berinfak. Meskipun untuk melakukannya seringkali dan tak selalu di depan mereka. Padahal, justru dengan melakukannya langsung di depan mereka, setiap orangtua tengah mengajarkan sikap kedermawanan, kepedulian, dan semangat berbagi. Ini yang nampaknya sering terlupa dari saya untuk tetap konsisten menerapkannya. Teguran dari salah seorang anak saya tadi, tentu saja menunjukkan bahwa mereka tetap membutuhkan konsistensi keteladanan yang pernah kita ajarkan sebelumnya.
“Ini pegang ya, tolong dikasih nanti kalau ada petugas pengumpul infak di pinggir jalan lagi,” seru saya kepadanya.
“Terlambat, bi, sudah lewat petugasnya.” Duh, dua kali kalimatnya menohok saya. Sayapun hanya menjelaskan, bahwa tidak ada kata terlambat untuk berbuat kebaikan. Boleh jadi kita kehilangan kesempatan pertama untuk berbuat baik, tapi semestinya kita yakin bahwa Allah senantiasa memberikan kesempatan berikutnya, dan memang, jika kita mau mengambilnya dengan cepat, kesempatan itu selalu ada, terus menerus menghampiri. Inilah uniknya, kesempatan sering tak datang dua kali. Tetapi untuk sebuah kebaikan, justru ianya yang kerap menghampiri, namun kitalah yang mengabaikannya.
Benar saja. Lima menit lebih sedikit setelah saya memberikan masing-masing selembar ribuan kepada dua anak saya, kamipun melintasi barisan petugas pengumpul infak masjid di jalan raya Parung. Padahal, dengan uang di tangannya itu anak saya sempat mengancam, "Kalau nggak ada lagi, uangnya buat jajan Hufha aja ya."
Saya menanggapinya dengan senyum, sebab saya tahu persis, sepanjang jalan raya Parung, Bogor, kita dapat menemui lebih dari satu barisan petugas pengumpul infak. "Abi benar, kita belum terlambat." Senangnya anak-anak memasukkan uang itu ke jaring yang disorongkan petugas ke kendaraan kami yang memperlambat lajunya.
Pelajaran pagi kemarin, semoga menjadi segurat catatan yang tak lekang tersimpan dalam lembar memorinya, bahwa tak pernah ada kata terlambat untuk peduli, jangan pernah berpikir untuk tak berbagi hanya karena waktunya tak tepat. Dan tetaplah memelihara semangat berbagi kapanpun, sekali kesempatan terlewati, jutaan kesempatan lainnya pasti menunggu, bahkan menghampiri.
Sejumput do'apun terucap, semoga seluruh keturunan kami menjadi orang-orang yang peduli, memiliki semangat berbagi. Kapanpun, di manapun, dan kepada siapapun. Saya yakin Tuhan mendengar harapan sederhana ini, karena saya bisa merasakan senyum-Nya hari itu.
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Bayu Gawtama sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.