HR. Ibnu Majah dan Abi Ad-Dunya : "Secerdik-cerdik manusia ialah orang yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling gigih membuat persiapan dalam menghadapi kematian itu."
|
http://twitter.com/bayugawtama |
Rabu, 4 Desember 2013 pukul 20:00 WIB
Penulis : Bayu Gawtama
Ramadhan hari ketujuh, lima menit lagi waktu maghrib tiba dan saya masih saja menikmati berkeliling di toko buku sebuah mall besar di Jakarta. Ketika maghrib benar-benar berkumandang dari pengeras suara toko buku tersebut, saya baru sibuk mencari penganan berbuka. Setelah mencari beberapa saat, mata saya tertuju kepada sebuah franchise bakmi tak jauh dari toko buku dan sayapun mengalamatkan kaki saya ke arah tersebut.
"Mie satu, juice jeruknya satu." Pelayan itupun mencatat pesanan saya. "Eh, mbak, sambil nunggu pesanan saya jadi, boleh saya minta segelas air putih untuk membatalkan puasa saya?" pinta saya secara halus. Tiba-tiba, dengan seulas senyum tapi sambil takut-takut, pelayan itu berbisik, "Mas muslim? Lebih baik batalkan saja pesanan mie-nya. Ini tidak halal buat muslim. Soal air putih, segera saya bawakan, gratis untuk yang berpuasa."
Kejadian itu begitu membekas hingga saat ini, padahal saat itu saya masih kuliah di tingkat dua. Saya sangat bersyukur betapa ada orang yang peduli terhadap kehalalan setiap zat yang akan menjadi darah dan daging saya. Bagaimana jika pelayan baik hati itu tak jujur dan membiarkan saya melahap mie itu, maka darah saya akan teraliri zat yang tidak halal dan betapa menyesallah saya kemudian.
Hingga kini sayapun terus berpikir, kalaulah ada orang yang begitu peduli akan kehalalan makanan yang saya masukkan ke dalam tubuh saya, sudahkah saya juga teramat peduli pada diri saya sendiri? Bukan soal zat makanannya, karena untuk yang satu ini saya sudah berusaha untuk hati-hati. Tapi lebih kepada sumber penghasilan untuk membeli makanannya, apakah pekerjaan saya ini bersih? Apakah uang yang saya dapatkan juga bersih? Bisa jadi zat yang saya makan memang halal, tapi bagaimana jika uang untuk membelinya yang tidak halal?
Saat ini, setelah berkeluarga dan punya anak, tentu saya tak hanya mengkhawatirkan asupan dan sumber penghasilan saya untuk diri saya sendiri, tapi jika uang yang saya hasilkan tidak bersih, juga makanan yang saya belanjakan untuk keluarga saya tidak halal, bagaimana jadinya keluarga saya jika terus menerus disuapi ketidakhalalan? Tentu saja saya sebagai kepala keluarga yang paling bertanggungjawabm karena sayalah sang pencari rezeki.
Mencari rezeki, tidak sekadar dapat. Jikalah sudah dapat, saya masih harus benar-benar yakin sumbernya bersih, agar yang saya dan keluarga saya makan juga bersih. Agar kelak tubuh saya tak terlalu lama dicuci di api neraka karena sedemikian tak terhingganya zat haram terasupi dalam tubuh ini.
Jikalah masih ada yang peduli dengan kehalalan zat yang kan menjadi darah dan daging saya, sudahkah saya peduli terhadap diri sendiri?
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Bayu Gawtama sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.