Ust. Aam Amiruddin : "Sesungguhnya sepercik kejujuran lebih berharga dari sebongkah cinta. Apa arti sebongkah cinta kalau dibangun di atas kebohongan? Pasti rapuh bukan? Betapa indahnya apabila kejujuran dan cinta ada pada diri seseorang. Beruntunglah Anda yang memiliki kejujuran dan ketulusan cinta."
|
Jum'at, 28 Juni 2013 pukul 20:00 WIB
Penulis : Rifki
Sambil menikmati makan siang, seorang kawan bertanya kepada saya tentang kegiatan saya selama liburan akhir pekan kemarin.
“Tidak ada,” jawab saya.
Selanjutnya, kawan tersebut menceritakan sedikit aktifitasnya selama akhir pekan kemarin, menginap di mana, dan bertemu siapa saja. Mendengar cerita tersebut, tiba-tiba ada sebuah rasa penyesalan di dalam hati saya karena tidak ikut serta dan memanfaatkan jatah liburan kemarin. Seandainya saya ikut, mungkin saya bisa bertemu dengan beberapa orang kawan lain, melakukan aktifitas bersama-sama seperti jalan-jalan mengujungi tempat yang belum pernah saya kunjungi, atau sekedar wisata kuliner.
Tapi kemudian saya teringat dengan dialog yang saya lakukan beberapa waktu sebelumnya.
“Sudah jangan dibahas!” pinta saya kepada lawan bicara. “Semua itu kejadiannya di masa lalu, jadi percuma untuk dibahas seharusnya begini atau seharusnya begitu. Karena yang lahir nantinya adalah penyesalan yang berkepanjangan. Yang lalu biarlah berlalu,” sambung saya selanjutnya.
Setelah ucapan tersebut keluar dari mulut saya beberapa waktu yang lalu, lantas kenapa saya menyesal hari ini? Jadi, kalau begitu, omongan saya tidak sesuai apa yang saya lakukan. Hiks! Ternyata amat mudahnya untuk berkata-kata.
Saya jadi teringat dengan sebuah ungkapan bijak tapi agak konyol yang bunyinya kira-kira seperti ini.
“Ngomong itu lebih gampang daripada b*r*k –BAB. Kalau b*r*k, masih perlu yang namanye ngeden dan pake tenage, tapi kalo ngomong nggak ade tuh ngeden-ngedenan dan pake tenage!”
Sambil menikmati santap siang tersebut, pikiran saya agak menerawang ke masa sehari atau dua hari yang lalu. Adakah yang bisa membuat saya tidak lagi menyesal dengan keptusan yang telah saya ambil?
Lalu saya menemukan beberapa hal, mungkin sepele, tapi bisa meringankan atau mungkin menghapus sesal yang saya rasakan.
Pertama, telapak kaki saya merasa sakit di Jum’at sore jika dilakukan untuk berjalan. Dan keesokan harinya bertambah rasa sakitnya. Saya tidak bisa membayangkan ketika saya ikut serta dalam rombongan bersama kawan yang berada di hadapan saya ini. Hampir bisa dipastikan kalau hanya sakit yang saya rasakan dan bukan menikmati suasana perjalanan.
Kedua, mengikuti rombongan tersebut artinya saya harus berpindah hotel. Pindah hotel artinya saya harus membawa lagi tas ransel berisi seluruh persediaan pakaian selama bertugas di Bangkalan. Berat dan pasti cape. Apalagi ditambah dengan kondisi kaki saya yang sakit.
Ketiga, dua orang kawan saya yang berangkat menitipkan barang-barang bawaan mereka di dalam kamar tempat saya menginap. Itu artinya saya sedikit meringankan beban bawaan keduanya. Kalau seandainya saya ikut juga, berarti beban mereka jadi berat, saya juga harus membawa beban berat dengan kondisi kaki yang sakit.
Jadi, sudah seharusnya saya tidak menyesal dengan apa yang terjadi, apapun keputusan yang sudah saya ambil, dan apapun itu. Bukankah yang demikian itu lebih baik?
Wallahu a’lam.
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Rifki sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.