Pelangi » Refleksi | Sabtu, 22 Desember 2012 pukul 10:00 WIB
Penulis : Fithriyah Abubakar
Seorang pria berseragam dan bertopi biru tua memasuki suatu daerah yang baru saja terlanda gempa besar. Di sekitar jalan yang dilaluinya, terlihat banyak reruntuhan dan orang-orang yang berjalan dengan luka-luka di tubuhnya. Di beberapa tempat terdengar pula isak tangis dan suara-suara menenangkan, yang berasal dari para keluarga yang tengah berkumpul di depan rumahnya yang kini hanya berupa onggokan batu dan kayu belaka.
Pria itu terus berjalan sambil sesekali melihat selembar amplop yang dipegangnya. Akhirnya tibalah ia di tempat tujuannya. Dilihatnya lagi amplop tadi, dan kembali ditatapnya benda di hadapannya dengan pandangan tak percaya. Ya, di depannya kini hanya ada sebuah atap rumah, dengan reruntuhan dinding ambruk di sekitarnya! Pria itu terlihat bingung, tak tahu apa yang harus dilakukannya. Namun tak lama kemudian pria tersebut terlihat di sekitar lokasi pengungsian, menghampiri kumpulan orang yang ada di situ dan menanyakan sesuatu. Gelengan kepala yang selalu menjawabnya tak menyurutkan semangatnya untuk terus mencari tujuannya.
Akhirnya ia tiba di lokasi penampungan dengan jumlah orang yang lebih sedikit dibandingkan tempat-tempat sebelumnya. Karena sedikitnya orang di situ, maka iapun meneriakkan nama orang yang dicarinya. Setelah beberapa kali berteriak, akhirnya seorang nenek berusia sekitar 80-an mendekatinya. Setelah memastikan nama dan alamat sang nenek, pria tersebut menyampaikan amplop tadi sembari berkata,”Ini surat untuk Nenek.” Sang nenek menangis terharu, dan membungkukkan tubuhnya sambil berkali-kali mengucapkan terima kasih.
Pada kesempatan lain, pria tersebut berada di depan sebuah manshion setinggi lebih dari 20 lantai. Sambil membawa sebuah dus berisikan air mineral sebanyak 12 botol dengan isi 600 ml per botolnya, iapun segera menghampiri lift. Setelah melihat tanda di depan lift yang menyatakan bahwa lift sedang rusak, maka iapun berjalan menaiki tangga, menuju ke lantai 17 tempat kiriman tersebut ditujukan.
Pria itu mengakhiri kisahnya di hadapan seorang dokter dan 3 orang perawat yang mengelilinginya, yang sedang memandanginya dengan rasa haru. “Saya sangat mencintai pekerjaan saya. Walaupun ada masa-masa berat seperti rusaknya lift tadi, tapi kebahagiaan dari orang yang menerima kiriman itu benar-benar menghilangkan rasa lelah saya, dan semakin memacu saya untuk selalu berusaha menyampaikan semua kiriman tepat pada waktunya. Karena itu dokter, tolong sembuhkan kaki saya segera. Dua minggu akan terlalu lama bagi mereka untuk menanti kiriman tersebut, apalagi di saat pasca gempa seperti ini hanya ada beberapa orang yang dapat bertugas, termasuk saya. Tiga hari, tolong sembuhkan saya dalam 3 hari dokter. Saya tak mau mereka terlalu lama menunggu, siapa tahu ada kiriman penting bagi mereka,” sahut pria itu setengah memohon kepada dokter yang kini matanya tengah berkaca-kaca karena terharu.
Kisah nyata? Bukan, pengalaman tukang pos di atas adalah secuplik kisah dari drama seri di Fuji TV, “Emergency Room 24 Hours”. Drama ini mengisahkan tentang keadaan di suatu RS pasca gempa besar di Tokyo, yang diilhami oleh Gempa Hanshin yang melanda Kobe, tahun 1995.
Kisah tukang pos ini membuatku berpikir tentang pekerjaanku selama ini. Cintakah aku padanya? Ataukah aku melakukannya karena rasa tanggung jawab belaka? Mungkin ada yang bertanya, apa bedanya? Yang penting kita melakukan pekerjaan dengan baik, bereslah sudah.
Benarkah seperti itu? Namun kisah pak pos ini menunjukkan hal lain bagiku. Bila kita melakukan pekerjaan kita dengan penuh cinta, kita akan selalu berbuat yang terbaik untuk itu. Mungkin bisa diibaratkan seperti ini, bila maksimal hasil yang diharapkan dari pekerjaan kita adalah skala 8, maka bagi orang yang melakukan pekerjaannya karena rasa tanggung jawab belaka, ia akan berhenti di angka 8. Namun bagi orang yang benar-benar mencintai pekerjaannya, ia akan selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi pekerjaannya, mungkin 9, 10, atau lebih dari itu.
Mengapa? Ya, kecintaan seseorang terhadap pekerjaannya akan selalu memberikan tenaga dan motivasi baginya untuk selalu dan selalu berbuat yang terbaik bagi pekerjaannya ini. Kecintaan terhadap pekerjaan akan menghilangkan rasa lelah dan stres, karena ia selalu menikmati setiap detik dalam pelaksanaan pekerjaannya.
Bagaimana dengan mereka yang hanya melakukan pekerjaan dengan didorong rasa tanggung jawab belaka? Mereka ini lebih rentan terhadap tekanan kerja dan akan lebih mudah stres. Di samping itu, bila stres ini sudah memuncak, hal yang dikhawatirkan adalah mereka sekedar menyelesaikan pekerjaannya bak robot, berharap agar pekerjaan segera selesai, karena tidak adanya kenikmatan bagi mereka dalam menjalani pekerjaannya. Lambat laun hal ini akan berakibat pada menurunnya prestasi kerja, dan meningkatnya keluhan dalam bentuk penyakit-penyakit yang dipicu oleh stres, seperti maag, tekanan darah tinggi, dan sebagainya.
Jadi, dengan kata lain, rasa tanggung jawab tanpa cinta akan menimbulkan kejenuhan terhadap pekerjaan, yang berakibat pada penurunan prestasi kerja. Sedangkan rasa cinta terhadap pekerjaan akan meningkatkan rasa tanggung jawab dan prestasi kerja dari yang bersangkutan.
Termasuk yang manakah anda, yang cinta atau yang tanggung jawab akan pekerjaan?
KotaSantri.com © 2002-2024