Ali Bin Abi Thalib : "Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta terhukum. Harta itu kurang apabila dibelanjakan, tapi ilmu bertambah apabila dibelanjakan."
|
http://muhammadrizqon.multiply.com | |
rizqon.ak@gmail.com |
Jum'at, 24 Agustus 2012 pukul 11:00 WIB
Penulis : Muhammad Rizqon
Suatu siang, ketika saya sedang berdzikir usai menunaikan shalat dzuhur di mushala sebuah gedung di Jalan Imam Bonjol, tanpa sengaja pandangan saya tertuju pada seseorang yang baru datang ke mushala. Ia terlambat datang boleh jadi karena ada suatu acara. Ia kelihatan di pintu masuk ketika ia hendak mengambil air wudhu, yang tempatnya harus melewati pintu masuk itu. Ia terhenti begitu melihat saya. Secara spontan saya memberikan senyum dan melambaikan tangan. Dia pun membalas dengan perlakuan serupa. Saya langsung ingat, dia adalah seorang sahabat yang lama tidak bertemu, sekitar 9 tahun.
Saya meneruskan dzikir, sementara dia mengambil wudhu kemudian menunaikan shalat dzuhur berjama'ah dengan beberapa jama'ah yang juga datang terlambat. Di sela-sela alunan dzikir nan syahdu itu, ingatan saya terbawa pada beberapa kenangan saat pernah berinteraksi dengannya, utamanya saat kami kuliah.
Usai dengan shalat dan dzikirnya, dia langsung menghampiri saya. Jabat tangannya erat-erat dan penuh keakraban. Ada getaran rasa rindu yang tertumpahkan. Ada rasa takjub karena bisa bertemu dalam momen yang tidak terduga seperti itu. Saya sedang bertamu, dia pun sedang bertamu di gedung itu. Rasanya belum lama kami berpisah. Kami langsung tune-in (nyambung) dengan aneka perbincangan, tentang keluarga, tentang pekerjaan, tentang teman-teman, dan lain-lain. Waktu perjalanan selama 9 tahun terputar dengan cepatnya saat kami melakukan kilas balik.
Di tengah-tengah perbincangan itulah dia bertanya, “Eh, antum yang suka kirim artikel di kotasantri.com ya?” Saya memahami pertanyaan itu sebagai pertanyaan yang sangat wajar. Banyak orang yang memiliki nama yang serupa. Di samping itu, semua sahabat saya tahu kalau saya tidak memiliki latar belakang sebagai penulis atau memiliki cita-cita sebagai penulis. Munculnya beberapa artikel dengan nama saya, tentu membuat sahabat-sahabat yang membacanya, termasuk yang di hadapan saya itu, akan sedikit mengeryitkan dahi. Meski pada akhirnya setelah membaca semua artikelnya mereka makin yakin bahwa itu adalah saya, mereka boleh jadi tidak menduga bahwa ternyata banyak pengalaman sederhana yang bisa dituangkan untuk diambil sebuah hikmahnya.
Selain dia, ada beberapa sahabat yang melakukan konfirmasi lewat e-mail. “Apakah betul nama yang tercantum di website adalah nama saya?” itulah inti konfirmasinya.
Atas pertanyaan sahabat itu, saya tidak menjawab ya atau tidak. Justru saya balik bertanya, “Menurut antum, itu saya atau tidak?” Dia mengiyakan, ada beberapa artikel yang menguatkan hal itu. Tentang di mana saya tinggal, tentang asal saya, tentang di mana saya kuliah, dan lain-lain.
Ada pula sahabat yang tidak pernah melakukan konfirmasi. Tetapi begitu saya bertemu atau menelepon, dengan yakin dia mengatakan sudah baca semua artikel-artikel saya. Mereka adalah sahabat-sahabat terbaik karena pernah menjalani kehidupan bersama dan mengenal saya lebih dalam.
Ada satu pertanyaan di benak saya, kenapa terhadap beberapa sahabat yang lama sekali tidak bertemu, bahkan tidak pernah berinteraksi sama sekali, begitu ketemu langsung merasa akrab dan tune-in, seakan tidak ada batas waktu atau lokasi yang memisahkan selama ini. Sering saya mengalami hal itu. Sampai kini pun, beberapa sahabat yang tinggal di seluruh penjuru nusantara dan tidak pernah berinteraksi, nama-namanya masih tersimpan dalam memori saya.
Tiada pernah rasanya, ketika disebutkan sebuah nama di suatu tempat, saya butuh mengingatnya lama-lama, bahkan tidak bisa mengingatnya sama sekali. Bukan karena saya memiliki hafalan yang kuat, tetapi seakan nama-nama itu tertaman sendiri di benak alam bawah sadar, dan mengendap cukup kuat.
Saya mengambil hikmah, apakah mereka itu adalah belahan jiwa (soulmate) saya? Saya menyakini iya. Bukankah Allah berfirman bahwa sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara? Dalam kata lain, yang menguatkan jalinan persaudaraan adalah keimanan. Sedangkan keimanan adalah masalah jiwa. Artinya jika jiwa-jiwa mereka menyatu, saling menyediakan sisi ruang jiwa buat saudaranya, maka persaudaraan yang terjalin pun akan kuat. Hadits Nabi menggambarkan persaudaraan sesama mukmin itu laksana satu tubuh, manakala tubuh saudaranya sakit maka, ia akan ikut merasakannya. Semua ini membuktikan bahwa orang-orang mukmin itu adalah satu tubuh dan satu jiwa.
Sesungguhnya ada satu yang mengharukan dari ucapan sahabat yang bertemu saya di mushala itu. Ketika kami mensyukuri karena dipertemukan oleh Allah itu, dia berujar, “Itulah kekuatan do'a rabithah (do'a menguatkan persaudaraan) yang sering kita panjatkan. Allah benar-benar menyatukan kita di mana pun kita berada. Jiwa kita menjadi bagian jiwa yang lain sepanjang kita bersatu dalam cinta dan ketaatan kepada Allah.” Subhanallah.
Dalam hati saya merenung, boleh jadi itulah soulmate sejati. Soulmate yang dibentuk oleh kecintaan kepada Allah. Betapa banyak bapak dan anak yang tidak memiliki belahan jiwa, karena perbedaan keimanan. Dalam sirah Nabi SAW, diriwayatkan ada beberapa ayah dan anak yang menjadi musuh satu terhadap yang lain dalam peperangan. Bahkan ada yang membunuh atau terbunuh.
Pelajarannya, soulmate tidak harus dibentuk oleh hubungan darah dan tidak semua yang memiliki hubungan darah memiliki soulmate satu sama lain. Boleh jadi, kriteria yang relevan untuk membuktikan bahwa seseorang itu adalah soulmate bagi kita atau tidak adalah apakah kita mencintainya karena Allah atau hawa nafsu.
Wallahu a’lam bishshawab.
http://muhammadrizqon.multiply.com
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Muhammad Rizqon sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.