HR. Ahmad & Al Hakim : "Kemuliaan orang adalah agamanya, harga dirinya (kehormatannya) adalah akalnya, sedangkan ketinggian kedudukannya adalah akhlaknya.
"
|
http://dik2.multiply.com | |
andhika.ramdhan | |
ramadhan_adhi | |
andhika.ramdhan@gmail.com | |
andhika.ramdhan@gmail.com | |
http://twitter.com/AndhikaRamdhan |
Jum'at, 13 April 2012 pukul 11:30 WIB
Penulis : Dikdik Andhika Ramdhan
"Hanya linangan air mata yang berderai, hanya bentangan kesedihan yang terbuai, hanya satu demi satu cobaan dan ujian yang kini terus menggerogoti keimanan hingga akhirnya mungkin harus hilang dan lengkang dari diri, lalu kutemukan sebuah pintu tanpa batasan cahaya keimanan," lirihnya.
Ia masih meratapi hari-harinya, hanya bisa menunggu tanpa tahu sampai kapan ada satu batas waktu. Yang akan mempertemukannya dengan kemanisan iman. Yang akan mempertemukannya dengan keceriaan senja berbalut cahaya surga.
Nafas serasa tersengal. Semua berubah laksana neraka yang telah mendahului untuk hadir di dunia. Hadir dalam hidupnya yang malang, hadir dalam satu sisi kisah tanpa ada sedikitpun ruang ataupun waktu untuk berhenti sejenak. Lepas dari satu masalah, maka bagaikan antrian panjang para calon penumpang kereta, masalah lain pun kembali hadir dalam hari-harinya. Mengisi ruang sisi kelam.
Ia hanya terdiam.
Tak tahu lagi apa yang harus ia cari, tak tahu lagi apa yang harus ia kejar. Semua terasa menjauh, bahkan satu harapanpun untuk mendapati-Nya begitu sulit ia dapatkan. "Ah..., ke mana aku harus mencari Tuhan? Di mana keadilan Tuhan? Di mana janji Ia yang akan mendekat ketika kita berusaha mendekat padanya?" lanjutnya penuh rasa putus asa.
Kiranya seperti itulah satu pelukisan kisah dalam setiap penayangan sinema-sinema kita. Dunia serasa hadir bak sebuah dua mata pisau yang selalu akan menghadirkan luka ketika ke manapun ia arahkan dalam diri kita. Beribu masalah terus menerus hadir tak terselesaikan. Tak ada pangeran penolong yang hadir untuk membawanya lari dari jurang derita dan lari menuju satu babak kehidupan penuh bahagia. Yang ada hanyalah satu demi satu kekejaman yang selalu datang silih berganti. Bahkan satu sisi keberadaan Ia Sang Mahakuasa, Allah SWT -pun tak pernah ada. Dan kalaupun ada, hanyalah muncul di bagian akhir rentetan episode-episode yang telah mengurai segala derita.
Pantaslah jika kita bertanya, di manakah keadilan Tuhan? Wong, keberadaan kuasa Tuhan-pun hanya muncul di satu atau dua episode terakhir cerita, di antara ratusan episode sebelumnya.
Sebuah tontonan yang bagaimana mungkin akan mampu menggerakkan satu sisi keimanan para pemirsanya menuju perbaikan, yang akan mampu menjadikan satu pengantar seorang hamba menggapai indahnya cahaya hidayah. Karena yang jelas, hasilnya ternyata hanya mampu mengubah satu persepsi dan pandangan seseorang untuk semakin takut menjalani kehidupan. Semakin takut untuk melangkah tegak dalam menyusuri hari-harinya.
Kiranya tidaklah sedikit kejadian kita temui dalam kurun waktu beberapa saat terakhir ini, dimana hal ini selalu menjadi pilihan akhir seseorang dalam menjalani hidupnya. Jika bukan bunuh diri, maka kehidupan hitam adalah layaknya sebuah stasiun terakhir yang sesaat kemudian mengantarnya mempertemukan dengan sebuah kereta malam menuju jurang dosa. Namun memang seperti itulah kiranya hasil dari satu pendidikan moral kita, dimana di satu sisi semestinya menjadi satu sarana hiburan, namun ternyata meleset jauh malah menjadi satu sarana pembentukkan karakter yang cengeng serta hanya siap kalah ketika setiap satu cobaan dan ujian menghampiri hidupnya.
Tidak ada perlawanan, tidak ada perjuangan. Semua lemah layaknya satu nyawa yang tak berkutik dan kalah serta terhempas ketika menemui masa-masa kesulitan dalam dirinya.
Bukan hanya mereka, terkadang seorang yang akan sangat paham tentang keilmuan-pun, baik itu pemahaman tentang satu sisi keilmuan tentang kehidupan, maupun tentang keagamaan, ketika terus menerus disuguhi akan satu hal yang selalu berlatar sama tentang ketidakadilan Tuhan, maka bukanlah tidak mungkin, sedikit demi sedikit akan mempengaruhi jiwa-jiwa mereka dalam mempertanyakan, "Benarkah semua itu?" Yang kemudian jika tidak cepat-cepat melangkah pergi dan berlalu meninggalkannya, akan terus menuntunnya untuk masuk dan seraya menganggukkan kepala atas apa yang dilihatnya. Hingga akhirnya tak ada lagi satu sisi keimanan yang hadir dan nampak dalam setiap tutur kata, sikap, serta langkah-langkahnya.
Na'udzubillah...
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Dikdik Andhika Ramdhan sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.