HR. Bukhari : "Berhati-hatilah dengan buruk sangka. Sesungguhnya buruk sangka adalah ucapan yang paling bodoh."
|
![]() |
http://muhammadrizqon.multiply.com |
![]() |
rizqon.ak@gmail.com |
Jum'at, 6 April 2012 pukul 09:00 WIB
Penulis : Muhammad Rizqon
Bambu adalah sumber kehidupannya. Hampir setiap hari, Bu Saalih membeli bambu yang dipotong-potong dalam bentuk tabung sepanjang satu meter. Tabung-tabung bambu berpanjang satu meter itu dia bawa pulang, kemudian ia belah-belah menjadi beberapa potongan kecil. Potongan-potongan kecil itu dia belah tipis-tipis membentuk lembar-lembar mirip belahan daun kelapa muda yang biasa dianyam untuk membuat ketupat. Serupa dengan itu, bilahan-bilahan tipis bambu itu dia anyam dan dia rangkai membentuk wadah untuk tempat ikan-ikan basah berukuran kecil. Dalam satu wadah kecil kira-kira bisa menampung 4 hingga 6 ekor ikan. Wadah itu, orang mengenalnya dengan ‘cuek’. Sehingga ikan yang dijual dengan wadah itupun dikenal dengan ‘ikan cuek’.
Menurut kabar yang saya dengar, ikan-ikan itu berasal dari tempat pelelangan ikan di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa. Beberapa juragan membeli ikan-ikan tersebut. Ikan-ikan itu kemudian diproses dengan cara merebusnya setengah matang dalam sebuah kuali besar. Setelah direbus, lalu didinginkan, kemudian ditempatkan dalam wadah-wadah bambu bernama cuek. Cuek-cuek itu kemudian disusun bertingkat, diikat, lalu dijual ke pasar dengan menggunakan mobil bak terbuka atau becak.
Subhanallah. Berkat Ikan-ikan itu, roda kehidupan dan ekonomi berputar. Sejak dari penangkapan hingga penjualannya, usaha tersebut telah menghidupkan banyak orang. Dari nelayan, tengkulak, juragan, pemilik transportasi, pemasak, pembuat cueknya hingga penjual-penjualnya di berbagai pasar tradisional. Bu Saalih kebagian rezeki dari memproduksi cuek-cuek tersebut.
***
Suatu ketika isteri saya memergoki Bu Saalih sedang sibuk menganyam bilahan-bilahan bambu di depan rumahnya.
“Assalamu’alaikum, lagi sibuk, Wak?” sapa isteri dengan menyebutnya Wak (Bibi).
“Wa’alaikum Salam, biasa nih lagi iseng!”
“Iseng apa kerja, Wak!” isteri saya mencoba meluruskan ucapannya.
“Kerja, Mi. Maklum bisanya gini-gini.”
“Ya bukan gini-gini, Wak! Kerja mah kerja. Alhamdulillah masih bisa bikin cuek dan masih ada yang beli.”
“Hehe.. Ya, Mi,” seringainya membenarkan apa yang dikatakan isteri.
***
Bu Saalih tahu, bahwa dia itu sedang bekerja dengan anyaman-anyaman bambunya dan bukannya sekedar iseng. Ucapannya itu, barangkali sekedar merendahkan diri karena hasil dari pekerjaan itu tidak seberapa menurut dia. Namun demikian, saya melihat seharusnya dia tidak perlu rendah diri dengan pekerjaannya itu dan menyebutnya sebagai pekerjaan iseng (pengisi waktu luang).
Memang jika dinilai dengan uang, hasil dari penjualan cuek yang dibikinnya setiap hari itu nilainya relatif sangat kecil. Mungkin tidak sebanding dengan jerih payah mengayamnya yang menghabiskan waktu seharian. Tetapi kita tidak pernah tahu berapa nilai keberkahan yang terkandung di dalamnya. Ya, bisa jadi nilai keberkahannya melebihi dari penghasilan yang besar menurut kacamata orang.
Kehidupan tidak bisa diukur dari seberapa besar harta yang diperoleh dan apa yang berhasil dimilikinya. Variabel kebahagian bukanlah terletak pada apa yang ada di genggaman, tetapi apa yang terkandung di dalam hati. Betapa banyak orang yang diberi kelapangan harta, tetapi tidak diberi kelapangan hati. Akibatnya, harta yang dimilikinya pun tidak memiliki manfaat yang maksimal bagi diri dan lingkungannya. Sebaliknya, betapa sedikit orang yang diberi kelapangan hati dalam kondisi diberi harta yang terbatas. Akibatnya, keterbatasan harta menjadikan mereka terjerembab dalam kekufuran.
Idealnya, dalam kondisi apapun seorang beriman selalu berhati lapang. Lapang untuk bersyukur dan lapang untuk bersabar. Sehingga setiap apa yang dikerjakannya selalu diorientasikan untuk kebaikan dan beribadah kepada-Nya.
Sesungguhnya bilahan bambu yang harus kita anyam sangatlah banyak. Dan itu bukanlah pekerjaan iseng yang menyia-nyiakan waktu saja. Kita perlu menganyam bilahan-bilahan syukur untuk mewujudkan misi kita menjadi yang terbaik, karena sesungguhnya Allah menciptakan kehidupan dan kematian untuk melihat siapa yang paling baik amalnya. Kita perlu menganyam bilahan-bilahan sabar untuk mewujudkan misi kita menjadi yang terbaik juga, karena sesungguhnya derajat kebaikan itu harus dicapai dengan kesabaran.
Fragmen perbincangan dengan Bu Saalih, memberikan inspirasi bahwa seharusnya tidak ada pekerjaan yang bernilai ‘iseng’ dalam kehidupan. Semuanya harus diorientasikan untuk kebaikan, ibadah, dan persembahan terbaik untuk Rabb-nya. Bagi Allah, tidak ada pekerjaan yang kecil jika semua disandarkan kepadanya. Dan balasan Allah tergantung dari seberapa besar orang menyandarkan diri kepada-Nya, bukan ukuran besar kecilnya di mata manusia.
Wallahu a’lam bishshawab.
http://muhammadrizqon.multiply.com
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Muhammad Rizqon sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.