HR. Ahmad : "Sebaik-baik manusia adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalannya."
|
Senin, 19 September 2011 pukul 15:45 WIB
Penulis : Muhammad Nahar
Saat itu di beranda masjid, saya sedang menunggu waktu maghrib tiba. Awan mendung mentutupi langit Jakarta, membuat suasana menjadi gelap. Segelap hati sebagian penduduknya, bahkan mungkin sebagian besar.
Tiba-tiba seoerang ibu menghampiri saya dan mengajak saya berbincang. Si ibu bilang bahwa dia lupa saat itu hari sabtu. Si ibu biasa menjadi joki 3 in one di daerah dekat masjid Al Azhar. Karena hari itu hari Sabtu, yang merupakan hari libur, maka dia tidak dapat job tumpangan.
Lalu, dia menceritakan kehidupannya yang penuh kesusahan. Anak si ibu yang di SMP seringkali bolos karena tidak punya ongkos untuk datang ke sekolah. Saat dipanggil guru BP, si ibu pun terpaksa menahan malu dan mengatakan yang sebenarnya. Tidak ada ongkos. Sekolah pun menyarankan agar si ibu memindahkan anaknya di sekolah yang lebih dekat.
Si ibu juga mengutarakan keinginanya untuk jualan makanan sederhana sperti pisang ijo, lemper dan sebagainya. Kalau bisa sih agar suaminya juga bisa buka bensin eceran. Jumlah yang diperlukan sekitar beberapa ratus ribu. Bisa jadi, tidak sampai sebulan gaji seorang eksekutif muda di kota metropolitan ini.
Ibu itu juga mengeluh karena dia sudah mendatangi berbagai lembaga sosial, namun katanya prosederunya rumit. Ada yang bilang ibu sudah harus jualan dulu baru bisa dipinjami tambahan modal. Ada juga yang mengatakan bahwa si ibu harus membentuk kelompok yang terdiri dari bebeapa orang dan ada ketuanya. Mirip dengan kelompok nasabah yang diterapkan pada para peminjam Grameen Bank. Entah si ibu yang belum tahu cara mengurus pinjaman untuk dijadikan modal atau mental miskin masih membuatnya enggan untuk membangun kepercayaan dan relasi yang baik dengan pemberi modal?
Sambil mendengarkan dan coba berempati pada si ibu, saya memikirkan apa yang bisa saya dan teman-teman lakukan. Berapapun banyak aksi sosial kami, masih jauh lebih banyak orang yang membutuhkan. Apakah perlu ada lembaga baru, ataukah cukup memaksimalkan lembaga-lembaga yang sudah ada? Apakah perlu menambah tenaga relawan untuk membantu orang2 seperti ibu itu atau lebih baik meningkatkan kemampuan para relawan yang memang sudah bersedia?
Bercermin dari pengalaman Muhammad Yunus dan Grameen Bank, saya percaya masih banyak orang yang bisa diangkat dari kubangan lumpur kemiskinan dengan cara dan metode yang tepat. Ibu itu mungkin salah satunya.
Sayang, karena saat itu saya sedang tidak punya uang, saya pun tidak bisa memenuhi permintaan si ibu. Si ibu pun pamit hendak mengambil air wudhu. Dia pun meninggalkan saya dengan hati yagn mendung, segelap mendung yang menaungi langit Jakarta sore itu.
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Muhammad Nahar sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.