Sirah Umar, Ibnu Abdil Hakam : "Aku akan duduk di sebuah tempat yang tak kuberikan sedikit pun tempat untuk syaitan."
Alamat Akun
http://hafizh_kharisma.kotasantri.com
Bergabung
11 Februari 2009 pukul 13:00 WIB
Domisili
Bandung - Jawa Barat
Pekerjaan
Karyawati Swasta
piena_pulau
Tulisan Rinna Lainnya
Image
8 Agustus 2009 pukul 20:00 WIB
Ikhlas Puasa
3 Agustus 2009 pukul 16:09 WIB
Keberanian Butuh Kekuatan
16 Juni 2009 pukul 16:09 WIB
Bersikap Bijak Sebelum Memutuskan
26 Mei 2009 pukul 15:44 WIB
Ketidaktahuan
20 Mei 2009 pukul 19:12 WIB
Pelangi
Pelangi » Refleksi

Ahad, 23 Agustus 2009 pukul 15:15 WIB

Jangan Simpan Dendam

Penulis : Rinna Fridiana

"Kebencian atau dendam tidak menyakiti orang yang tidak anda sukai. Tetapi setiap hari dan setiap malam dalam kehidupan Anda, perasaan itu menggerogoti Anda." (Norman Vincent Peale).

Seorang teman datang berkeluh kesah menceritakan perilaku rekannya yang dirasa suka usil, yang dia rasa selalu menjelek-jelekkan dirinya ke orang lain, dikatakan bahwa selama ini dia merasa tidak tenang akan keberadaan rekannya itu. Namun kondisi seolah memaksa dia terus menerus berhubungan dan bertemu dengannya. Maklum, mereka mempunyai lingkungan yang sama, satu kantor.

Kadang caranya bercerita membuat saya merasa sangat bersimpati dan merasa bahwa rekannya itu keterlaluan memperlakukan dia, namun kadang juga saya menangkap ceritanya yang berapi-api dengan rasa was-was. Jangan-jangan ini cuma prasangka negatif teman saya saja pada rekannya.

Tapi pada umumnya, setiap kali saya mendengarkan keluhannya, saya tidak mau berkomentar banyak, hanya mendengarkan saja dan yakin bahwa teman saya ini hanya butuh orang yang mau mendengarkan tumpahan perasaannya saja. Dan setelah itu, biasanya dia terlihat lebih sumringah, seolah lega sebagian bebannya telah ke luar dari hati dan pikirannya. Itu saja selama ini yang bisa saya lakukan.

Berbeda dengan hari ini, kala teman saya itu kembali mendatangi saya sambil menangis, bercerita tentang kekesalannya, kesedihannya, rasa sakit hatinya atas perlakuan rekannya itu (selalu nama satu orang itu saja yang kudengar). Saya mulai bosan cuma sekedar mendengar sekaligus merasa kasihan sekali atas nasib teman saya ini. Terbayang pastilah hari-harinya sangat tidak menyenangkan, terbayang hari-hari kerjanya pastilah sangat tidak nyaman, dan terbayang malam-malamnya pasti menjadi jam istirahat yang tidak senyenyak orang lain.

Ketika dia selesai dengan segala keluh kesahnya dan menutup cerita sambil menghapus airmatanya, saya kemudian bilang pada dia, "Sepertinya rekan kerjamu itu sekarang berhasil memenuhi pikiran kamu, dan kamu dengan sukarela menyerahkan hidup kamu padanya. Dalam minggu ini kamu udah 3 kali cerita tentang dia, itupun gak kurang dari 2 jam. Dah gitu, kamu juga bilang akhir-akhir ini kamu sering merasa kesal sekali padanya dan membuat kamu kurang tidur karena mikirin apa yang harus kamu lakukan untuk menghadapinya."

Teman saya itu diam dan seolah berpikir. Saya gak tau apa yang dipikirkan olehnya, tapi saya gak mau memberi dia kesempatan berkeluh kesah lagi kali ini. "Coba deh kamu pikirin, berapa banyak waktu, perasaan, dan pikiran yang terbuang sia-sia karena perilaku satu orang itu sama kamu. Mungkin saat dia sedang tertawa-tawa dengan orang lain, kamu malah kesal dibuatnya. Saat dia sedang tertidur nyenyak, kamu malah gelisah memikirkan dia. Saat dia merasa bahagia, kamu malah sedang terbebani oleh rasa sakit hati, rasa sedih karena perlakuan dia. Itupun kita belum tahu pasti apa perilakunya itu memang secara sengaja dilakukan untuk menyakiti kamu, atau dia secara tidak sengaja menyakiti kamu, atau kamu yang berpikir negatif tentangnya. Aku gak tau, tapi mestinya kamu yang paling tau dan apa pun di balik itu semua, kan seharusnya kamu belajar untuk kendaliin diri kamu."

"Belajar kendaliin gimana? Kurang sabar gimana lagi saya ngadepin dia, saya gak pernah membalas perlakuannya itu kok." Teman saya memotong ocehan panjang saya dengan nada suara yang agak tinggi karena merasa disalahkan. Dan saya sadar betul, kadang cara saya berbicara terkesan menggurui dan menyalahkan, walau sebenarnya bukan itu maksud saya. Ini juga bagian dari kelemahan saya yang sulit saya kendalikan.

"Jangan marah gitu dong, maksud aku kan bukan nyalahin kamu sepenuhnya. Aku cuma gak mau kamu merugi, itu aja. Gini deh, semua terserah kamu mau gimana. Tapi kalo aku jadi kamu, aku gak mau dibuat kesal oleh perlakuan dia, aku gak mau dibuat sakit hati, apalagi sampe harus menangisi keusilan dia. Perasaan dan pikiran kita kan mutlak milik kita, kita yang mengatur mau sedih, senang, atau biasa-biasa saja manakala menghadapi suatu kejadian. Prinsipnya, jangan pernah biarkan bibit-bibit kebencian tumbuh dalam hati kita, apalagi rasa dendam. Wah, jangan sampe deh, bisa tersiksa diri kita karenanya. Dan kulihat, justru itulah yang sekarang sedang menggerogoti hidup kamu."

Lama teman saya itu terdiam, entah apa lagi yang dipikirkannya. Setelah itu, dia pamit pulang dan mengucapkan terima kasih. Kubalas dengan ucapan terima kasih juga karena dia telah mempercayai saya selama ini. Terima kasih terbesar saya juga lebih pada karena sesungguhnya semua permasalahan teman saya ini juga telah mengajarkan banyak hal pada saya.

Hai teman, semoga semua permasalahan bisa cepat terselesaikan. Dan percayalah, bagaimana cara kita memandang suatu persoalan akan mempengaruhi cara hidup kita.

Suka

Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Rinna Fridiana sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.

Meyla Farid | Guru
Isinya sangat bagus dan bermanfaat. Site favoritku untuk saat ini. :)
KotaSantri.com © 2002 - 2024
Iklan  •  Jejaring  •  Kontak  •  Kru  •  Penulis  •  Profil  •  Sangkalan  •  Santri Peduli  •  Testimoni

Pemuatan Halaman dalam 0.0743 Detik

Tampilan Terbaik dengan Menggunakan Mozilla Firefox Versi 3.0.5 dan Resolusi 1024 x 768 Pixels