Pelangi » Refleksi | Selasa, 19 Mei 2009 pukul 16:00 WIB
Penulis : Lizsa Anggraeny
"Alhamdulillah diterima...!" Begitu kira-kira yang terdengar dari seberang telepon. Suara suami. Nadanya terdengar gembira. Pindah kerja ke sebuah perusahaan beracuan international adalah impiannya. Dan Mahasuci Allah yang telah mempermudah jalan, hingga akhirnya berhasil diterima, setelah melalui bebererapa tes interview.
Semula, suami tak pernah menduga akan diterima. Mengingat ketika wawancara, ia mengajukan satu permintaan yang mungkin bagi setiap corporation yang ada di Jepang ini, hal tersebut tidaklah lazim. Permintaannya adalah "Setiap Jum'at, bisa diizinkan ke luar untuk shalat Jum'at berjama'ah di masjid terdekat." Bisa ditebak, pihak pimpinan perusahaan terheran-heran dan menampik permintaan tersebut. Mengingat tak hanya masjid yang langka di Jepang ini, kebiasaan shalat seperti yang diajukan suami pun tak pernah mereka ketahui.
"Nggak diterima nggak apa-apa, yang penting dakwah jalan." Kira-kira begitu alasan suami ketika menceritakannya pada saya. Betul, setidaknya pimpinan perusahaan yang orang asing, tahu bahwa seorang muslim memiliki kewajiban rutin mingguan berupa shalat Jum'at berjama'ah.
Suatu kejutan mengembirakan yang patut disyukuri ketika tanpa diduga, akhirnya suami berhasil diterima di perusahaan tersebut. Dua kebahagiaan yang kami rasakan. Kebahagiaan karena terkabulnya keinginan dan kebahagiaan berupa kemenangan seorang muslim yang keberadaan haknya diakui. Diterimanya suami di tempat tersebut berarti diterimanya permintaan izin untuk melaksanakan shalat Jum'at berjama'ah.
Dalam suatu kesempatan, panggilan wawancara pun datang juga pada saya. Bekerja part time menjadi penerjemah, berinteraksi dengan orang-orang Jepang, merupakan sebuah obsesi. Bagai gayung bersambut, panggilan tes wawancara tersebut segera saya penuhi. Layaknya akan ke medan perang, sehari sebelum wawancara, otak saya banyak memasukan 'bahan tempur'. Karena saya berjilbab, menurut pengalaman sebelumnya, pihak manajemen kemungkinan akan mempertanyakan pakaian 'aneh' yang dikenakan. Referensi praktis tentang keterangan berjilbab dalam bahasa Jepang telah disiapkan.
Di luar dugaan, ketika hari H, pihak manajemen sama sekali tak mempermasalahkan keberadaan jilbab, Islam, ataupun pakaian panjang saya. Semua terasa berjalan lancar dengan beberapa pertanyaan umum biasa. Hingga ketika wawancara telah selesai, satu orang dari pihak manajemen tiba-tiba bertanya, "Anata wa isuramukyouto desu yo ne. Anata no shuukyou no tokuchou wa nan desuka? (Anda beragama Islam. Apa yang menjadi karakteristik agama anda?)"
Deg! Rasanya saat itu jantung saya berdetak lebih cepat. Otak berusaha diperas keras. Berbagai jawaban berkecamuk di pikiran. Saya ingin sekali menjelaskan betapa banyak karektiristik unggul yang ada pada Islam. Tapi bagaimana caranya? Perlu waktu agak panjang untuk menguraikan. Sedangkan bisa diduga, waktu saat itu sangat terbatas. Pun jawaban yang diinginkan pihak manajemen pastilah jawaban yang singkat, padat, dan mudah dimengerti. Jawaban yang membumi dan bukan melangit.
Tiba-tiba, saya teringat cerita suami saat wawancara. Yang minta diijinkan bisa mengikuti shalat Jum'at secara rutin. Islam identik dengan shalat, shalat identik dengan tepat waktu. Tepat waktu identik kebiasaan Jepang. Aha! Seperti diingatkan, akhirnya saya menjawab mantap. "Salah satu karakteristik agama saya adalah adanya management of quality time."
Seorang muslim yang baik akan selalu menepati waktu-waktu yang telah ditentukan. Ia akan memenej waktunya secara berkualitas. Ada target dan deadline yang harus ditepati. Jika tak bisa mematuhi deadline yang telah ditentukan, berarti ia dikatakan telah melanggar hukum. Bukan hukum manusia, tapi hukum Tuhan yang bernama Allah SWT. Contohnya shalat. Dalam satu hari, seorang muslim harus melakukan shalat dalam waktu-waktu yang telah ditentukan. Ada deadline-nya. Melaksanakan shalat tidak hanya melatih kepercayaan terhadap Allah, tapi juga melatih agar dapat memaksimalkan management of quality time.
Entah mengerti atau tidak, pihak manajemen terlihat mangut-mangut tanda setuju. Yang disusul dengan melontarkan kata "Subarashii...!" Sebuah pujian yang bisa diartikan "hebat atau sangat indah!"
Tidak, bukan saya yang hebat. Yang saya ungkapkan tak lebih adalah kebenaran akan ajaran Islam. Islamlah yang hebat. Dan menjadi penganut ajaran yang hebat adalah suatu kebanggaan. Karena ia memiliki berbagai karakteristik unggul.
Baik saya maupun suami, mungkin memiliki perbedaan visi dan situasi dalam menjalani wawancara kerja. Tapi kami memiliki misi yang sama. Yaitu ingin agar orang-orang Jepang di sekeliling kami tahu betapa indahnya Islam. Betapa hebatnya seorang muslim. Tak perlu ragu mengatakan "I am a muslim", tapi berbanggalah. Karena seorang muslim banyak memiliki karakteristik unggul.
Kami berharap, suatu saat kelak izzah Islam tersebar wanginya di bumi sakura. Tak hanya wangi sesaat, tetapi akan terus menyebar. Keindahannya dikagumi. Ia akan menumbuhkan bibit-bibit baru. Yang akan bersama-sama menegakkan panji Islam yang lurus di penjuru bumi sakura. Membentuk barisan muslim unggul yang patut dibanggakan. Insya Allah.
"Jika engkau menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan pijakanmu." (QS. 47 : 7).
Tokyo, Yakumo April 2007
KotaSantri.com © 2002-2024