HR. At-Tirmidzi : "Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu. Maka barangsiapa mengambil warisan tersebut, ia telah mengambil bagian yang banyak."
|
Ahad, 15 Desember 2013 pukul 22:00 WIB
Penulis : Betty Herawati
Sambut pagi dengan seulas senyum simpulmu
Siapkan seutas tali SEMANGATMU
Sebut nama Rabb Penciptamu
Sehingga SUKSES seluruh ikhtiarmu!*
Fajar barulah menjelang dan dzikir Al-Ma’tsurat baru saja terlantunkan. Nurul menerima sebuah SMS dari Huda. Sejenak iapun tertegun, saudara kembarnya itu ternyata memang masih sempat membagi sarapan paginya. Kali ini sebuah taushiyah padat berisi, cukup untuk mengembalikan staminanya yang mulai menurun. Tadi malam ia lembur sampai malam untuk menggunting tulisan yang akan dipakai untuk background HAMASA (Sehari Bersama Nisaa’), sebuah acara yang dikemas khusus untuk pengurus akhwat. Kemarin malamnya iapun tidur di atas jam malam, karena usai rapat bidang laporan praktikumnya melambai-lambai untuk diselesaikan. Dua malam sebelumnya ia juga harus stand by di depan komputer, memenuhi deadline artikel sebuah majalah.
Waktu begitu cepat berlalu, tanpa disadari ia sudah berada di pertengahan akhir semester dua. Kesibukan kuliah dan aktivitasnya yang padat kadang membuatnya lupa bahwa ia adalah gadis yang teramat bangga dengan romantisme kenangan masa SMA. Barulah saat-saat ketika lelah mendominasi ruang rasa, ia rindu dengan masa itu kembali datang. Rindu dengan gelora semangat yang selalu digemakan oleh para rohiser, rindu dengan semua kebersamaan yang terbingkai atas nama ukhuwah.
Dua kenikmatan yang sering manusia tertipu dengannya adalah nikmat sehat dan waktu luang. Entah mengapa ia seperti mendengar hadits itu kembali dibisikkan di telinga. Dan album kenangan di awal hidayah itupun datang, seolah diputar. Ternyata semangat yang menyala itu ada di sana. Ternyata ikhlasun niat kala itu begitu beningnya.**
Jihad is still going on! Tiba-tiba Nurul terhenyak. Jam dinding di kamar menunjuk angka 6 dan 12. Iapun bergegas merapikan kamar, bersih diri, dan bersiap menuju GOR.
Bismillahi tawakkaltu ‘alallahi laa haula walaa quwwata illabillah! Semoga acara HAMASA hari ini berjalan lancar, do'anya sebelum melangkahkan kaki ke luar gerbang pondoknya.
***
Akhi…
Ingin kulebur dosa yang pernah ada
Lewat medan jihad ini
Kuingin mendekapmu
Kuingin merengkuhmu untuk bersama
Kuingin membagi indahnya jihad bersamamu
Dan kuingin engkau berjanji, saudaraku
Suatu saat kita bertemu karena ALLAH***
Huda tersenyum membaca SMS dari Nurul. Kembarannya itu ternyata sudah kehabisan ide. Buktinya sarapan pagi yang diberikan kepadanya adalah kutipan dari tulisan seorang al-akh Ambon yang ada di Majalah Tarbawi. Bunyi tulisan itu sudah sangat dihapalnya sejak kelas satu SMA. Meskipun bukan menu baru, iapun merasa mendapat suplai energi baru untuk memulai aktivitas hari ini. Tiba-tiba ia terharu. Duhai, inikah salah satu keindahan ukhuwah?
AMBON! Peristiwa itu kembali menyapanya. Ah, entah mengapa ia jadi teringat dengan tragedi yang terjadi tahun 1999. Huda pun ingat dengan cerita seniornya yang baru saja melakukan jaulah ke Ambon. Ternyata sampai detik ini, Ambon masih sangat kekurangan SDM dakwah.
“Bukan hanya Ambon, hampir seluruh wilayah di Indonesia timur saat ini masih membutuhkan kader dakwah. Ayo’, siapa mau ke sana?! Kalau sudah lulus, urusan pekerjaan gampang. Banyak channel di sana.”
Promosi seorang anggota tim BP FSLDK**** itu terdengar seperti sebuah tantangan. Ke Ambon? Kedengarannya indah. Ia tiba-tiba tersadar bahwa bekalnya belumlah cukup. Ia, seperti halnya Nurul, baru semester dua. Masih banyak hal yang harus dipelajarinya di kampus hijau tercinta.
2009! Refleks, tangannya mulai menggambar peta masa depan. Di tahun itu aku harus sudah lulus dan menjadi kader dakwah yang kokoh dan mandiri, cerdas dan kreatif, spesialis berwawasan global. Ups, tiba-tiba ia menyebutkan karakteristik kader dakwah 2009. Wow! Bukan sekedar kata, tapi mewujudkannya adalah keniscayaan. Ya! Huda pun menerbitkan optimistis di hatinya. Ia sangat yakin bahwa dakwah adalah mega proyek yang membutuhkan banyak tenaga. Itulah mengapa ia ingin bersegera mengaplikasikan kurikulum dakwah berbasis kompetensi untuk menjawab tantangan dan peluang yang sama-sama terbuka lebar di masa depan.
***
“Gimana HAMASA-nya kemarin?” tanya Huda dalam perjalanan menuju ke rumah. Ahad pagi ini Si Kembar “eNHa” sengaja memilih bus Jurusan Jogja - Surabaya, karena kondisi fisik. Capek motor-motoran alasan keduanya. Lagian di bus mereka bisa muraja’ah Al-Qur'an bareng.
“Hmm, yang datang sedikit,” jawab Nurul sepertinya sedikit kecewa. Dialihkan pandangannya ke luar menembus kaca di sampingnya. Gadis berjilbab putih itu buru-buru menutupi setitik kecewanya, banyak ibrah yang didapatnya dari acara itu.
“Yang penting, kan bukan banyaknya peserta yang datang, Chay. By the way, temanya apa, sih?”
Nurul yang lebih senang dipanggil Chaya itupun membenarkan ucapan Huda.
“Indahnya Ukhuwah dalam Kebersamaan. Ya! Kamu bener, aku jadi malu. Ternyata ta’aruf, tafahum, dan takaful itu memang tahapan yang harus dilalui dalam membina keindahan ukhuwah. Aku baru nyadar kalau selama beberapa bulan jadi pengurus JN UKMI ini, aku belum terlalu ma’rifah dengan teman-teman yang lain. Aku baru tahu bahwa ternyata teman-teman di bidang lain juga punya banyak agenda yang padat.”
“JN UKMI itu ibarat keluarga. Antara bidang satu dengan yang lain adalah kesatuan. Jangan pernah terkotakkan oleh bidang. Jadikan dinamika dakwah kampus sebagai kawah candradimuka yang akan menggembleng kita sebelum terjun ke medan jihad yang lebih berat. Apapun yang terjadi, kita adalah da’i sebelum yang lain. Ingat ikrar kita, kan? Nahnu du’at qabla kulli syai’in.”
“Ya, tentu ingat, dong! O ya, gimana Bakti Jama’ah? Katanya mau ngadain baksos, ya? Aku bisa bantu apa?”
“Pakaian pantas pakaimu kayaknya banyak, deh. Disumbangin aja daripada memenuhi lemari? Trus…”
“Tapi, Da. Aku masih suka semuanya.”
“Katanya indahnya ukhuwah, karena kita ibarat satu tubuh. Jangan egoistis, dong! Dakwah, kan butuh tadhiyyah. Lagian bagaimana bisa itsar kalo berbagi dengan saudara saja tidak mau.”
“Ya, deh! Sekarang kita muraja’ah dulu, yuk. Gimana hapalanmu, Da?”
“Oke, kita cek bareng-bareng, ya!” Huda pun mengawalinya dengan ta’awudz.
Bus jurusan Jogja - Surabaya masih melaju tenang.
* : SMS seorang sekbid menjelang Subuh.
** : Potongan email di milist muslim_smuda; published by nahdahalfauziya:090305.
*** : Dirosat, Tarbawi Edisi 4 Th. 1 15 Oktober 1999.
**** : Badan Pekerja Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Betty Herawati sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.