Ust. Aam Amiruddin : "Sesungguhnya sepercik kejujuran lebih berharga dari sebongkah cinta. Apa arti sebongkah cinta kalau dibangun di atas kebohongan? Pasti rapuh bukan? Betapa indahnya apabila kejujuran dan cinta ada pada diri seseorang. Beruntunglah Anda yang memiliki kejujuran dan ketulusan cinta."
|
Ahad, 15 September 2013 pukul 22:00 WIB
Penulis : Yanti
“Kak, kapan agik kite nonton same-same?” tanya anak lelaki itu. Tubuhnya yang kurus dan setinggi bahuku menatap dengan penuh semangat.
“Nantik ye, kakak belom sempat. Tanya Bang Wawan, kapan agik, biasenye bang Wawan punye film bagus,” jawabku. Dia tersenyum, dan kembali dengan aktivitasnya membaca buku cerita anak.
“Kak, ade buku baru ndak?” Suatu hari anak itu muncul di depan pintu.
“Ye, ade, banyak. Kakak baru beli kemarin, tapi belom dicatat, jadi kalau mau bace ambil di atas dan jangan simpan di rak ye,” jawabku. Kaki kecilnya lantas berlari menyusuri tangga, tak lama dia kembali dengan beberapa buku cerita di tangannya.
“Eh, kak Yanti datang tuh…” katanya setengah berteriak saat melihatku memarkirkan motorku di depan pintu. Anak-anak yang lain berlari ke arahku kemudian memasuki perpustakaan kecil itu. Aku senang menjalani soreku dengan perlakuan yang sama. Anak itu. Ya, anak setinggi bahuku dengan kulitnya yang hitam terpanggang matahari, dengan seragam sekolahnya yang lusuh dan matanya yang jernih, yang setiap kali bertemu denganku akan selalu tersenyum dan menyakan tentang nonton film bersama serta buku baru yang kami beli untuk TBM baca Indonesiaku.. Anak itu yang membuat soreku menjadi berwarna seindah senja, meski di antara bau sampah ikan dan sayur busuk di pasar Flamboyan.
***
Dia begitu istimewa, untukku dan TBM Baca Indonesiaku. Setahun yang lalu, ketika aku dan teman-teman baru saja membuka perpustakaan gratis ini, anak itu adalah pengunjung pertama kami. Usianya tak lebih dari 9 tahun. Tubuhnya kurus, dan itu membuatnya tampak tinggi. Kulitnya hitam dengan rambut yang tampak sedikit coklat. Dia datang pertama kali dengan seragam merah putih yang terlihat usang dan kotor. Dia melintas dengan tatapan tajam dan penuh curiga saat kulambaikan tangan ke arahnya. Aku memintanya untuk masuk dan memperlihatkan beberapa buku cerita anak untuknya.
“Boleh bace ke, kak?” tanyanya. Aku mengangguk. Lalu dengan bersemangat dia mencomot beberapa buku cerita bergambar. Anak itu duduk di salah satu kursi plastic dan kemudian asik membaca. Sejak itu, dia selalu menyambangi TBM Baca Indoensiaku untuk menghabiskan buku-buku cerita bergambar. Beberapa minggu kemudian, dia melontarkan pertanyaan untuk pertama kalinya. Pertanyaan yang selalu diulangnya setiap kali bertemu denganku “Kak, ade buku baru ndak?”
Suatu sore di hari Sabtu, aku sendirian di TBM menunggu teman-temanku yang belum datang. Kami janjian untuk menghabiskan malam ini bersama-sama. Dengan sebuah laptop pinjaman, aku mulai mengetik beberapa tulisan. Anak itu datang bersama kawan-kawannya. Aku mengajak mereka bercerita. Bercerita tentang hari yang mereka lewati juga tentang hariku. Saat itulah mereka bicara tentang hidup mereka yang ternyata tak mudah.
“Die nih tak punye Bapak ngan Emak, kak. EMak Bapaknye dah mati,” ujar seorang anak menunjuk temannya.
“Kite tinggal same Bibik kite, die jualan di sinek. Kite ngawankannye,” ujar anak itu tanpa sedikitpun raut sedih di wajahnya.
“Ha, kalau die nih, Bapaknye ketabrak truk, kak. Yang die tuh, Bapaknye mati ditombak orang,” anak tadi masih melanjutkan ceritanya.
Tibalah anak itu bercerita. Dia tinggal bersama neneknya di kawasan dekat jembatan Kapuas. Di pasar ini, dia menemani neneknya berjualan setiap pulang sekolah. Itu alasan mengapa dia kemari selalu dengan seragam, dan itu pula penyebab seragamnya selalu tak bersih. Dia menghabiskan umur seragamnya tidak hanya di sekolah, tapi juga di pasar.
Dia tidak bersama ayahnya, juga tidak bersama ibunya. Dia pernah tinggal bersama sang bibi, namun kembali di asuh oleh nenek, dan di rumah nenek itulah dia menetap. Dia tidak nakal untuk ukuran anak yang menghabiskan hari di pasar, bahkan cenderung diam. Aku tak pernah melihatnya melakukan hal-hal aneh, selain beberapa kali mendengarnya memaki teman yang mengganggunya. Sejak dia mengenal dan masuk di TBM, dia hampir selalu menghabiskan sorenya di sekitar TBM. Entah untuk membaca atau sekedar bermain di depan pintu muka perpustakaan kecil kami. Sesekali dia berkejaran dengan teman-temannya.
Suatu kali, aku menegurnya karena menggunakan seragam. Seragam bukan busana bermain, kataku padanya. Aku meminta dia membawa baju lain untuk bermain agar seragamnya tidak terlalu kotor. Keesokan harinya, aku melihat anak itu tidak lagi menggunakan seragam. Hanya beberapa kali dia berseragam sekolah, itu karena dia tidak sempat membawa baju ganti, katanya.
Berminggu-minggu aku disibukkan dengan pekerjaanku. Sore yang kujalani tak lagi dihiasi senyuman anak itu. TBM tetap buka, namun aku dan teman-teman tak di sana. Soreku diliputi lelah setelah seharian menjalani hari, hingga kadang aku lupa singgah ke TBM untuk mendengarkan pertanyaan yang sama dari anak itu. Dia tetap ada, namun tersingkir oleh aktivitasku.
Hari berganti hingga sebuah kabar mengejutkanku dan kawan-kawan. Ruko tempat TBM bernaung akan dilelang karena sang pemilik tak melanjutkan angsuran pinjamannya di Bank. Kami tak bisa apa-apa, selain mencari tempat lain untuk melindungi nyawa perpustakaan ini. Beruntung seorang kenalan menawari tempat untuk kami. Kami sibuk dengan persiapan pindahan, mencari pinjaman pick up berharga rendah dan lain sebagainya. Aku lagi-lagi lupa dengan anak itu. Anak pertama yang mengunjungi TBM dan menghabiskan harinya di sana. Lagi-lagi kesibukan menyingkirkannya.
Sore itu, aku dan kawan-kawan ke TBM, membereskan barang agar mudah diangkut. Tapi seseorang datang menghampiriku. Kakak yang berjualan nasi di ujung gang dekat pasar.
“Yan, dah tau ke, Amat meninggal,” katanya.
“Ha, Amat mane, Kak?” tanyaku terbelalak.
“Amat itu, yang kecik suke ke sinik tuh,”
“Ya Allah, yang benar, Kak?” aku masih tak percaya.
“Iye, dah 3 minggu dah,”
“Innalillahi wa innailahi rojiun,” kataku. Ada sedikit perih. Sesak rasanya. Kenangan-kenangan tentang dia seketika berkelebat kembali. Pertanyaan yang sama yang selalu dia lontarkan. Seragam lusuhnya. Cerita dukanya. Semua. Semua tentang dia.
Aku teringat sesuatu. Sebuah vas kaca. Sore itu, dia tergesa-gesa menghampiriku seraya menggenggam sesuatu. Dia memperlihatkan benda yang dibawanya.
“Ni kak, untuk kakak. Tempat bunge biar tarok di TBM, biar ade bunge. Kite dapat di sanak,” katanya sambil menyerahkan vas bunga itu. Barang itu tak lagi baru. Vas kaca berwarna kehijauan berbentuk menara. Di ujungnya telah pecah, di sisinya ada retakan. Tapi dia tetap memungutnya.
Ku lirik vas pemberian anak itu. Masih di sana, belum ada bunga yang mengisinya. Aku mengambilnya. Rika dan Icha memintaku untuk membawa vas itu ke kos mereka. Dua sahabatku itu berjanji akan membuatkan bunga mawar merah dan putih untuk mengisi vas bunga pemberian anak tersebut.
“Vas ini kite bawa ke tempat yang baru untuk memperindah ruangan TBM yang baru,” kata Rika.
“Iye, kite bawa, Yan,” kata Icha.
Ya, kita bawa, kawan. Kita bawa bersama kita. Di dalam vas itu, ada semangat anak itu, ada kenangan anak itu. Kita bawa untuk mengenang sore yang indah dengan senyuman anak itu. Kita bawa untuk mengingatkan kita tentang mengapa dan untuk apa TBM Baca IndonesiaKu kita dirikan. Kita bawa, kawan, kita bawa vas bunga kita.
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Yanti sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.