HR. Muslim : "Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada sosokmu dan hartamu, tetapi Dia akan melihat kepada hatimu dan amalanmu."
|
Ahad, 7 April 2013 pukul 22:00 WIB
Penulis : Fithriyah Abubakar
Sebutlah Sakura, salah seorang teman seruanganku di study room. Duduk berdekatan denganku, hanya diselingi seorang siswi Jepang yang itupun jarang memakai tempat duduknya karena lebih sering di ruangan dosen pembimbingnya. Kira-kira sebulan yang lalu, Sakura kutemui dalam keadaan suntuk dan lelah, sesuatu yang jarang kulihat pada dirinya. Saat kutanyakan padanya mengapa dia tampak sangat lelah hari itu, akhirnya, setelah berpikir-pikir sebentar, diapun bercerita dalam Bahasa Inggris yang fasih.
Semalam dia menjaga ayahnya yang sudah koma sejak terserang stroke 4 tahun yang lalu. Dari serangan pertama stroke yang mengakibatkan koma 4 tahun yang lalu hingga sekarang, ayahnya tidak pernah menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Karena selama 4 tahun ini ayahnya dirawat di RS swasta yang notabene mahal, maka semalam keluarganya memutuskan untuk memindahkan ke RS di sekitar rumahnya. Kesibukan mengurus pemindahan yang berlangsung hingga dini hari itulah yang membuatnya sangat capek hari itu.
Belum selesai urusan sang ayah, kembali Sakura dan adik lelakinya dihadapkan pada masalah baru : Pikiran sang ibu mulai terganggu, akibat tak kuat melihat kondisi suaminya. Hal ini berlangsung sejak setahun yang lalu. Sejak itulah, maka Sakura dan adiknya (yang masih duduk di SMU) bekerja untuk membiayai sekolah, perawatan ayah, dan kehidupan keluarganya.
Di akhir ceritanya, Sakura mengatakan bahwa sebenarnya keluarganya sudah meminta kepada pihak RS untuk melakukan euthanasia pada ayahnya. Hal ini diputuskan setelah mendengar berita dari pihak RS, bahwa ayah Sakura mengalami kerusakan otak total akibat stroke tersebut, dan seandainya dia siuman dari koma, maka ia akan mengalami kelumpuhan fisik total, dan hanya bisa berbaring di tempat tidur. Di samping itu, pihak RS juga menyatakan bahwa kondisi ayah Sakura kini hanya ditumpu oleh alat-alat saja, karena dari indikasi otak dan fisik, tidak ada tanda-tanda aktivitas apapun.
Pernyataan terakhir ini nyaris kubantah, tapi melihat wajah Sakura yang sedang menumpahkan isi hatinya, akupun menunggu untuk menanggapi setelah Sakura selesai berbicara.
Namun Sakura mengatakan, pihak RS menolak, karena peraturan di Jepang menyatakan bahwa euthanasia hanya diperbolehkan bila yang bersangkutan yang memintanya. Walaupun keluarga Sakura sudah mengatakan bahwa yang bersangkutan tidak mungkin melakukan itu, dan hal tersebut sudah diputuskan oleh seluruh keluarga, namun pihak RS tetap menolaknya. Akhirnya Sakura bertanya, "Kalau di Indonesia bagaimana? Euthanasia diijinkan atas persetujuan keluarga, nggak? Atau harus atas permintaan yang bersangkutan seperti di Jepang?"
Aku terdiam mendengar pertanyaan Sakura. Kisah Sakura mengingatkanku pada peristiwa yang dialami oleh almarhumah tanteku, tahun 1994 silam. Saat itu tanteku, salah seorang pejabat eselon I di sebuah departemen, berangkat ke RS bersama sepupunya, untuk melakukan CT-Scan (rontgent kepala), rangkaian dari check-up rutin yang merupakan fasilitas untuk pejabat eselon I di kantornya.
Rencananya, setelah CT-Scan, tanteku akan ke penjahit langganannya untuk menjahitkan baju. Merekapun berangkat dengan berjalan kaki, karena RS ini sangat dekat dari rumah tante, hanya 5 menit dengan berjalan santai.
Apa daya, rencana untuk cek-up berakhir dengan tragis. Cairan contrast untuk CT-Scan (untuk memperjelas penampakan otak pada rontgent) sebanyak 2 dosis yang seharusnya disuntikkan dengan jarak minimal 15 menit antar-dosis itu, tanpa bertanya-tanya dahulu langsung disuntikkan oleh ibu dokter tanpa jeda, dan mengakibatkan tanteku kejang-kejang kemudian stroke! Sepupunya yang melihat itu langsung panik, dan menyuruh ibu dokter untuk melakukan sesuatu.
Parahnya lagi, antidot suntikan tersebut tidak ada di RS, sehingga sepupu tanteku terpaksa membelinya ke apotek, dan menghabiskan waktu sekitar 30-45 menit (belakangan kuketahui dari tanteku yang berprofesi sebagai dokter, bahwa suntikan contrast ini memang potensial menyebabkan alergi, jadi seharusnya berdasarkan peraturan RS, obat yang bersifat menimbulkan alergi harus disediakan pula antidot-nya di RS tersebut, sehingga untuk pasien yang terkena alergi dapat diobati saat itu pula, karena aliran contrast ini sangat cepat dan berbahaya)! Saat sepupunya tiba, tanteku sudah dalam kondisi koma, dan sudah sangat terlambat untuk menggunakan antidot tersebut.
Menginjak hari keenam tanteku koma, pihak RS menyatakan kepada seluruh keluarga besar kami yang sudah berkumpul dan bergantian menjenguk ke RS sejak hari pertama, bahwa tanteku mengalami kerusakan otak total, dan bila siuman juga fisiknya akan lumpuh total. Tambahan lagi, mereka menyatakan bahwa saat ini yang menunjang kehidupan tanteku hanya alat belaka, karena indikasi dari otak dan fisik tidak menunjukkan aktivitas apapun (persis seperti ayah Sakura!). Saat itu pihak RS menawarkan untuk mencabut alat-alat tersebut dan merelakan tanteku pergi.
Sayangnya, informasi ini ditanggapi secara berbeda oleh keluarga besar kami. Pihak saudara-saudara kandung tanteku (termasuk di antaranya 2 orang dokter), menolak untuk mencabut alat tersebut, sedangkan para sepupunya menyatakan untuk mencabut saja dan mengikhlaskan tanteku. Aku pribadi? Tentu saja menolak, karena (walaupun aku awam tentang dunia kedokteran) aku yakin, bahwa berdasarkan film-film Dooggy Howser, Trapper John MD, dan lain-lain; alat-alat itu masih bergerak karena masih ada denyut jantung dari yang bersangkutan. Bila denyut jantung itu berhenti, maka alat apapun tidak akan berfungsi untuk menunjang kehidupan seseorang.
Keyakinanku ini terbukti pada hari Minggu pagi (kalau tidak salah ini hari ke-10 tanteku koma). Saat itu di RS hanya ada aku dan dua orang sepupu laki-laki. Ummi, saudara kandungku, dan saudara-saudara kandung tanteku sedang di rumah tante untuk mandi dan beristirahat, karena semalam kami semua tidur di RS. Aku tinggal bersama kedua sepupu untuk berjaga-jaga.
Saat itu sekitar pukul 08.00 pagi, dan kami sedang bercakap-cakap di depan jendela kamar tanteku, di ICU. Selama tanteku dirawat di sini, kami hanya boleh masuk bergiliran (maksimal 2 orang) untuk menjenguk, dengan menggunakan jaket steril yang disediakan (seperti yang digunakan para ahli bedah saat operasi di film).
Tengah kami bercakap-cakap, tiba-tiba kulihat dari jendela, para perawat berlarian panik ke arah tanteku. Kamipun langsung berkumpul di depan jendela, mencari tahu apa yang terjadi. Saat itu juga aku menyuruh salah seorang sepupuku untuk menelpon ke rumah tanteku, agar mereka segera kembali ke RS.
Tengah kami panik melihat dari jendela, tiba-tiba salah seorang perawat menutup tirai jendela rapat-rapat. Aku berusaha mengintip, tapi tak terlihat apapun, akhirnya kuputuskan untuk masuk ke kamar. Sambil berlari akupun menerobos masuk, bahkan perawat yang mengingatkanku untuk memakai jaket serta perawat galak lainnya yang melarangku masuk tak kugubris. Sampai di sana aku terpana.
Adegan kritis yang biasa kulihat di film kini benar-benar terjadi di depan mataku. Dokter dan para perawat yang sibuk memeriksa alat dan menempelkan alat untuk memancing detak jantung yang terhenti (namanya nggak tahu, pokoknya yang bersifat penghentak listrik itu, lho…) ke dada tanteku berkali-kali. Dan dengan perasaan ngeri, aku melihat indikator systole/diastole (pengukur tensi yang berbentuk grafik). Alat yang biasanya stabil bergerak antara angka 60-70, kali ini hanya menginjak angka 55-65 bila penghentak listrik diaktifkan, dan kemudian kembali ke angka nol.
Saat penghentak listrik dihentikan, dan dokter serta para perawat itu menggunakan cara lainnya, aku mendekati tanteku, dan menggenggam tangannya, seraya membisikkan tahlil, sembari diselingi dengan permohonan untuk bertahan sebentar, menunggu adik-adiknya datang.
Tak berapa lama, ummi dan adik bungsunya serta saudara-saudaraku lainnya datang, dan akupun menepi untuk memberi kesempatan pada mereka untuk mendekati tante. Saat mereka berkumpul, aku hanya melihat indikator systole/diastole yang hanya membentuk kurva kecil yang semakin mengecil, hingga akhirnya "tuuuuuuuuuuuuut". Suara itu terdengar berbarengan dengan grafik yang hanya berbentuk garis lurus dengan angka 0 terpampang di monitor. Tante akhirnya berpulang ke Rahmatullah, disambung dengan suara isakan kami dalam kamar yang mendadak hening, karena semua alat di situ telah berhenti total.
Inilah akhirnya, Allah telah menunjukkan jalanNya. Tak ada pencabutan, tak ada pula tante yang lumpuh otak dan fisik, inilah yang terbaik bagi tante kami. Tante yang akan selalu hidup sebagai seorang yang lincah, enerjik, galak bila marah, disiplin, tapi sangat penyayang, dalam kenangan kami.
Kembali ke pertanyaan Sakura, akupun menjawab bahwa di Indonesia, pihak RS dapat melakukan euthanasia atas persetujuan keluarganya, bila yang bersangkutan sudah tidak memungkinkan untuk memintanya secara langsung. Tapi akupun menegaskan pada Sakura, tidak ada ungkapan hanya sekedar alat, karena alat itu hanya berfungsi bila masih ada denyut kehidupan dalam tubuh sang pasien.
Terakhir, aku hanya menyampaikan, semoga Tuhan memberikan yang terbaik bagi ayahnya. Namun setelah aku berpisah dengan Sakura, dalam perjalanan pulang aku berpikir. Bila memang selama empat tahun seseorang hanya terbaring seperti ayah Sakura, apakah memang euthanasia boleh dilakukan?
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Fithriyah Abubakar sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.