QS. Al-'Ankabuut : 64 : "Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui."
|
Ahad, 16 Desember 2012 pukul 15:00 WIB
Penulis : Fithriyah Abubakar
Gebruuuk! Aku menghempaskan tubuhku ke tempat tidur dengan kesal. “Adaaaw!” teriakku pelan. Tapi nampaknya teriakanku tidak cukup pelan untuk tidak terdengar oleh ibu yang sedang menonton TV di ruang sebelah, karena tak lama kemudian terdengar ketukan di pintu.
“Via, kenapa, nak? Kamu nggak apa-apa?” terdengar suara ibu khawatir.
“Nggak, bu, cuma kepentok tempat tidur, kok!” sahutku sambil meringis kesakitan dan memijat-mijat pinggangku yang baru saja beradu keras dengan kayu penyangga tempat tidur.
Sambil bersungut-sungut, aku bangkit pelan-pelan dari tempat tidur, lalu memukul-mukul kapuk yang mengumpul di dasar kasur lama itu, supaya tersebar rata di permukaannya yang memang sudah tipis. Setelah itu dengan gerakan yang tak kalah pelannya, aku meletakkan tubuhku di atasnya. Alhamdulillah, kali ini aku berhasil mendarat dengan sukses di atas kasur tipis itu.
Sambil menghela nafas lega, pikiranku kembali melayang ke kejadian tadi pagi di kelasku.
Pagi tadi, seperti biasa, aku terlambat tiba di kampus. Yang memperburuk suasana ialah, aku terlambat pada mata kuliah ibu Rida, dosen yang terkenal tepat waktu dan tidak bisa mentolerir keterlambatan dalam bentuk apapun! Absensi selalu dilakukan tepat 5 menit sebelum kuliah dimulai, dan bagi mahasiswa yang datang setelah namanya dipanggil, anggap saja dia tidak hadir pada hari itu. Serem, kan?
Keterlambatanku selama 10 menit membuat aku kehilangan absen pada hari itu. Bukan itu saja, selepas kuliah, ibu Rida memanggilku ke ruang dosen. Beliau memberiku peringatan keras, karena ini ketiga kalinya aku terlambat pada jam kuliahnya. Bahkan beliau menyatakan bahwa akibat keterlambatanku itu, aku sudah tidak mungkin lagi mendapatkan nilai A, sesuai dengan ketentuan beliau yang disampaikan pada pertemuan pertama kuliah yang lalu.
Huuh, gara-gara telat, melayang deh, satu kemungkinan nilai A dari pelajaran yang paling kusukai! Padahal aku tidak sepenuhnya dapat dipersalahkan, karena aku sudah berangkat pagi-pagi dari rumah, untuk mengantisipasi kemacetan. Entah kenapa, pagi tadi suasana jalan di depan rumahku macet banget, lebih dari biasanya. Setelah menunggu hampir satu jam, barulah aku mendapatkan mikrolet yang kosong. Tapi ternyata itu baru awal dari perjalanan panjangku. Perjalanan dari rumah ke kampus yang biasanya hanya ditempuh selama 1 sampai 1,5 jam, kali ini memakan waktu hampir 2 jam! Jadi wajarlah kalau aku terlambat sampai di kampus.
Hhhoahem! Coba kalau aku punya mobil, pasti nggak akan terjadi kejadian seperti tadi pagi. Aku tidak harus menunggu mikrolet selama berjam-jam, dan hanya memperhitungkan waktu kemacetan saja, sehingga aku dapat berangkat ke kampus agak siang.
“Ya sudahlah, Via, jangan mengharapkan yang bukan-bukan!” suara hatiku berkata. Bisa kuliah di PTN saat ini saja sudah bersyukur, apalagi bila mengingat bahwa ibu yang mempunyai catering kecil-kecilan merupakan satu-satunya pendamping hidupku, karena ayahku sudah tiada ketika aku lulus SMA.
“Sudah, mendingan kamu mikirin aja kuliah kamu, gimana caranya biar bisa cepet lulus dengan hasil baik, biar bisa cepet membantu ibumu bekerja. OK?” kata hati kecilku lagi.
“OK, deh, kakak!” kataku sambil menutup kepalaku dengan bantal.
***
Kamis, pukul 18.30, Yulia masih juga belum datang. Sudah 15 menit aku menunggunya di lapangan parkir ini.
“Via, sorry ya. Lama nunggunya?” akhirnya suara yang kutunggu-tunggu datang juga.
“Lumayanlah, sudah seperempat jam,” sahutku sambil tersenyum ke arahnya dan temannya, yang rasa-rasanya pernah kukenal sebelumnya.
“Vi, masih inget ‘kan sama Heni? Dulu ‘kan kita pernah barengan ngurusin Ramadhan di kampus,” sambung Yulia.
“Ooh, ya. Pantesan, dari tadi aku inget-inget, kayaknya kenal, deh! Apa kabar, Hen?”
“Baik, alhamdulillah. Kamu sendiri gimana, Vi?” balas Heni ramah sambil menjabat tanganku erat.
“Baik juga. Eh, Yul, aku ikut kamu, ya?” balasku sambil mengarahkan pandangan ke Yulia.
“Ooo, ya. Aku lupa, Vi! Semalam papa memberikan aku mobil Mbak Ina, karena Mbak Ina berangkat ke Jepang, dapat beasiswa untuk S-2. Berhubung Mbak Ina agak lama di Jepang dan papa tidak mau kalau mobilku tidak terurus, jadi mobilku akan dijual. Nah, sementara menunggu mobilku laku, kamu pake dulu aja, ya Vi!” tutur Yulia sambil menyerahkan kunci mobil Feroza-nya kepadaku.
Aku terpana, mataku beralih dari kunci mobil di tanganku ke wajah Yulia di hadapanku. “Yul, kamu, ini?” aku setengah tak percaya menghadapi rejeki nomplok itu.
“Nyantai aja, Vi. Papa sudah ngijinin, kok! Aku ceritain ke papa, kalau kamu sering telat gara-gara nungguin mikrolet, jadi papa langsung setuju waktu aku bilang mau minjemin mobil ke kamu sementara belum laku terjual. Jadi kamu nggak telat lagi, kan? Oya, berhubung aku ada janji sama mama, kamu pulang bareng Heni, ya? Udah telat, nih. Assalamu’alaikum!” celoteh Yulia tanpa terputus, sambil melangkah ke arah jalan raya.
“Wa’alaikum salam!” sahut kami berbarengan.
Setelah itu hening sesaat. Aku baru tersadar saat Heni menyentuh lenganku. “Vi, kita nunggu apa lagi nih? Udah malem, pulang yuk!”
“Oh, eh, ya, ayo!” Aku terdiam sejenak sambil mengamati kunci “mobilku”.
“Hen, kamu bisa nyetir, nggak?”
“Bisa, kenapa, Vi?”
Aku tersenyum malu. “Walaupun punya SIM, tapi aku belum lancar bawa mobil, Hen! Kamu mau nggak ngajarin aku?”
“OK, deh! Kalau gitu, sekarang aku yang bawa aja, ya! Udah terlalu malem buat les nyetir, ya nggak? Yuk, buruan!”
Aku tersenyum penuh rasa terima kasih, dan menyerahkan kunci mobil kepadanya. Tak lama kemudian kami telah menyusuri jalan pulang, bersama “mobilku”.
***
Ibu terkejut ketika kami datang, dan menanyakan mengapa aku membawa mobil Yulia. Walaupun beberapa kali aku menceritakan kejadian tadi, ibu tetap tidak percaya. Setelah Heni masuk dan mendukung ceritaku, barulah beliau percaya. Setelah itu, hilanglah rasa terkejutnya, dan ibu sibuk berencana membuatkan masakan yang paling enak untuk Yulia, sebagai ungkapan rasa terima kasih.
Sementara itu, aku belajar untuk parkir dan menjalankan mobil bersama Heni. Akhirnya setelah beberapa kali, Heni merasa yakin bahwa aku bisa mengeluarkan mobil itu dari halaman tanpa tertabrak/tergores sesuatu, barulah kami menghentikan kursus privat itu.
“Segini dulu, ya Vi! Besok Insya Allah aku mampir ke sini deh. Kamu ‘kan besok jadi OP (Orang Percobaan)-nya Yulia, ‘kan?”
“Ya, Insya Allah, jam 7, kan?”
“Ya, sampai besok ya. Pamit ke ibumu dulu, yuk!”
Setelah itu kami masuk, mengantarkan Heni yang berpamitan pada ibu. Setelah Heni pulang, akupun masuk ke kamarku. Jam sudah menunjukkan pukul 21.15. Hoaheem! Pantesan mataku sudah terasa berat. Rupanya cukup lama juga kursus kami tadi. Padahal besok aku harus jadi OP untuk psikotes Yulia seharian.
***
Yulia, oh, Yulia! Sahabatku sejak SMP itu memang agak antik. Walaupun dari keluarga orang berada, dia tidak pernah sombong ataupun memilih-milih teman. Mereka sekeluarga adalah orang-orang yang baik, ramah, alim, dan sangat peduli terhadap sesama. Contohnya hari ini. Yulia dengan entengnya meminjamkan mobilnya kepadaku, karena aku sering terlambat ke kampus, walaupun mungkin dia lupa, bahwa aku belum lancar nyetir.
Saat ini kami kuliah di fakultas yang berbeda. Aku di fakultas ekonomi, dan Yulia di fakultas psikologi. Tapi karena rumah kami searah, jadwal kami banyak yang bersamaan, dan aku sudah jadi langganan Yulia untuk menjadi OP dalam tes-tes psikologinya, maka kami sering pulang bareng.
Tiba-tiba figur Yulia menjadi kabur, gelap. zzzz… zzzz…
***
Pagi ini aku bangun dengan penuh semangat, karena ini adalah hari pertama yang akan kuawali dan kuakhiri bersama mobilku tersayang. Sebelum mandi, aku mencuci mobilku sampai mengkilat. Setelah itu, barulah aku menyiapkan diri untuk berangkat. Tepat pukul 07:00, Heni datang, dan kamipun berangkat ke Fapsi, dengan Heni sebagai pengemudi. Alhamdulillah, kami tiba di kampus dengan selamat, 10 menit sebelum tes dimulai.
Tes itu berlangsung selama sekitar 4 jam, dengan 2 kali istirahat masing-masing selama 15 menit. Setelah tes yang melelahkan itu berakhir, aku terpaksa pulang sendirian, karena Yulia dan Heni harus menganalisa hasil tes tersebut.
Keluar dari ruangan tes, aku sudah mulai kebingungan. Ada 3 pintu keluar dari Fapsi, dan bagiku semua pintu itu sangat mirip. Akhirnya aku mengambil pintu yang terdekat dari ruangan tes tadi. Setelah berjalan beberapa meter, aku mulai merasa aneh. Sepertinya jalan yang kulalui tadi pagi tidak seperti ini.
“Waduh, gimana nih?” pikirku sambil celingukan di jalan itu. Saat itu jalanan sepi banget, mungkin karena masih jam makan siang. Akhirnya aku mengikuti jalan itu, yang ternyata berujung di sebuah gang buntu. Nasib, akupun kembali lagi ke jalan semula, dan akhirnya menemukan seorang mahasiswa yang rupanya baru sampai di tempat itu. Setelah menanyakan arah ke jalan besar kepadanya, aku menuju ke arah yang ternyata berlawanan dengan jalan yang telah kulalui tadi. Setelah berjalan kurang lebih setengah jam, akhirnya kutemukan jalan raya, alhamdulillah!
Dengan perut keroncongan, aku segera menaiki mikrolet yang menuju ke rumahku. Ketika aku akan membayar mikrolet, tanganku menyentuh sebuah kunci dalam tas. Dengan penuh ingin tahu, kukeluarkan kunci itu dari tasku. “Kunci apa ya? Perasaan kunci lemari nggak pernah aku bawa-bawa, deh! Apalagi kunci kamar, selalu nempel di lubang kuncinya! Tapi, rasanya kenal deh! Apa kuncinya Yulia kebawa aku, ya?” pikirku sambil memasukkan kembali kunci tersebut, dan menyetop mikrolet di depan gang rumahku.
“Kok siang banget, Vi? Macet ya?” sambut ibu sambil membukakan pintu.
“Enggak kok, bu! Tadi Via nyasar waktu keluar dari kampus Yulia, jadinya lama deh!” jawabku sambil mencium tangan ibu, dan beranjak ke meja makan.
“Pulang naik apa, Vi?”
“Hmm, ibu ini gimana, ya naik mikroletlah, naik apalagi?” selorohku sambil mengambil rawon kesukaanku. Rawon buatan ibuku memang paling top di dunia, slurp!
“Lho, ‘kan tadi pagi naik mobilnya Yulia, bareng Heni. Memang mobilnya udah dikembaliin, ya?” tanya ibu lagi.
“Astaghfirullahaladzim! Berarti itu tadi kunci mobil Yulia!” seruku sambil menepuk dahiku.
“Kenapa, Vi? Ada apa?” tanya ibu panik melihatku pucat mendadak.
“Nggak kok, bu! Cuma tadi Via lupa kalo naik mobil, jadinya itu mobil masih duduk manis di kampus Yulia deh! Dasar pelupa, ampun!” kataku, sibuk menyalahkan diri sendiri.
Sifatku yang satu ini memang sudah terkenal nyusahin! Terbukti dengan lupanya aku akan jalan pulang dan mobil Yulia kali ini. Masya Allah!
“Jadi gimana? Kamu mesti ambil, Vi. Itu ‘kan amanat dari Yulia! Jangan sampai terjadi apa-apa dengan mobil itu!” kata ibu lagi.
“Ya deh, bu! Insya Allah, nanti habis Ashar deh, Via ke sana. Soalnya Via capek banget nih, mau istirahat dulu,” kataku menenangkan ibu.
“Bener ya, nanti abis Ashar ibu ingetin deh, biar nggak lupa lagi! Via, Via,” kata ibu gemas.
Aku hanya tersenyum pasrah, sambil menikmati suapan terakhir dari rawonku.
***
Sehabis Ashar, dengan mata yang masih berat karena mengantuk, akupun berangkat ke Fapsi. Alhamdulillah, setibanya di sana, ternyata mobil itu masih bertengger dengan anggunnya, tidak kurang suatu apa. Dengan mengucap basmalah dan berbagai do'a yang aku hafal, aku mulai menyalakan mobil itu. Setelah itu, dengan perlahan-lahan aku mulai menjalankan mobil ke luar lapangan parkir, sambil tak putus-putusnya aku berdzikir.
“Ya Allah, bimbinglah kami dalam menjalankan dan memelihara amanat Yulia ini,” do'aku sambil berkonsentrasi penuh ke arah jalanan.
Tiba di jalan raya, aku mulai panik. Jalanan di depan kampus itu memang sangat ramai, penuh dengan berbagai angkutan umum dan pribadi. Berulang-kali aku menarik nafas sambil istighfar. Akhirnya setelah tenang, aku menjalankan mobil dengan kecepatan orang berjalan kaki! Sempat kudengar beberapa pengemudi kendaraan lainnya mengucapkan kata-kata bernada keras dan mencemooh ketika melewati mobilku, tapi tak kudengarkan, karena konsentrasiku penuh ke arah jalan di hadapanku. “Biar lambat asal selamat, deh!” pikirku.
Setelah lama menimbang-nimbang jalan mana yang akan kupilih, akhirnya kuputuskan untuk mengikuti saja mikrolet yang ke arah rumahku, karena aku tidak mau lagi tersesat seperti tadi siang di kampus. Karena aku berjalan di belakang mikrolet yang sering berhenti, akhirnya aku sampai di rumah menjelang Maghrib. Tapi kesulitanku belum berakhir di situ. Saat yang tersulit adalah memasukkan mobil ke halaman rumahku. Akhirnya setelah berulang-kali mundur dan mengendalikan stir, masuklah mobil itu dengan selamat. “Alhamdulillah..!” desahku lega, sambil mematikan mesin.
Begitu aku turun, ibu sudah menungguku dengan cemas di teras. “Kamu nyetir sendiri, Vi? Mobilnya nggak papa, gimana di jalan?” berondong ibu dengan berbagai pertanyaan.
“Wah, ibu, kok yang ditanyain mobilnya sih, bukan Via?” jawabku sambil nyengir.
Ibu tergagap dan tersadar, ”Bukan gitu, tapi itu kan amanat, Vi! Kalau kamu kan…”
“Anak ibu, bukan pinjeman, jadi kalo kenapa-napa, gak papa, gitu?” godaku melihat ibu kebingungan mencari kata-kata.
Ibu terdiam, bingung harus menjawab apa. Melihat itu, aku jadi tidak melanjutkan godaanku lagi.
“Udahlah, bu, Via ngerti kok, Via ‘kan cuma iseng aja ngegangguin ibu, biar nggak stres gitu! Senyum, dong!” bujukku sambil memeluk pinggangnya.
“Lain kali jangan pernah ngomong gitu lagi ya! Buat ibu, kamu itu amanat yang tak ternilai harganya, dan ibu selalu berusaha buat menjaga amanat itu, kamu ngerti kan?” desah ibu sambil tersenyum dan membelai kepalaku lembut.
“Ya, bu, maaf deh, tadi ‘kan Via pengen ngisengin ibu aja! Makan yuk, bu. Via udah pengen makan rawon lagi nih!” jawabku sayang sambil menggandeng ibu ke meja makan.
“Ya, tuh udah ibu angetin. Tapi shalat Maghrib dulu ya?” sahut ibu sambil mendorongku pelan ke kamar.
“OK, bos!” jawabku sambil masuk ke kamar, bersiap untuk shalat Maghrib.
Setelah sholat, aku menuju meja makan, di mana ibu sudah menunggu.
”Ayo, Vi, makan yang banyak ya. Tadi ‘kan kamu pasti stres banget nyetir sendirian, ‘kan?” kata ibu sambil menyendokkan nasi ke piring.
“Hehehe, ibu tau aja, emang laper berat nih!” balasku sambil meminum air es, yang langsung membasahi tenggorokanku yang terasa sangat kering.
Setelah makan dan shalat Isya’, akupun melayangkan diri ke pulau kapuk, mengistirahatkan diriku yang rasanya sangat capek lahir dan bathin hari ini. Hoaheem!
***
Pagi itu aku bangun dengan badan pegal-pegal. Semalam aku tidak bisa tidur nyenyak, khawatir terjadi apa-apa dengan mobilku. Walaupun di lingkunganku terkenal aman selama ini, tapi memiliki titipan mobil ternyata sangat mempengaruhi ketenangan tidurku. Berulang-kali aku terbangun, setiap mendengar suara-suara aneh, yang ternyata hanya suara kucing berantem, atau tikus yang sedang melubangi plafon.
“Bu, Via ingin nanya sesuatu, boleh nggak?” kataku pada ibu, ketika kami sedang sarapan.
“Tentu saja, Via. Ada apa, tampang kamu kok kucel banget, masih capek gara-gara kemaren ya?”
“Ya nih, bu, semalem tidur Via nggak nyenyak banget, kepikiran mobil Yulia terus. Gimana pendapat ibu, kalau mobil itu Via kembaliin aja ke Yulia ya, bu? Kira-kira Yulia bakalan tersinggung nggak ya?”
Ibu terdiam sebentar. “Kenapa, Via, ada masalah? Ibu pikir mobil itu bisa membantu kamu supaya nggak telat lagi ke kampus. Kan lumayan, sebab ibu sendiri mana mampu membelikan kamu motor, apalagi mobil.”
“Ya sih, bu. Tapi setelah dipikir-pikir, sejak ada mobil, Via malah tambah stres. Soalnya mobil itu ‘kan bukan punya Via. Waktu nyetir kemaren aja, Via sport jantung lho, bu! Belum lagi semalem, takut kalau ada yang iseng ngambil mobil itu. Wah, bawaannya jadi nggak tenang deh, bu! Mungkin ini pelajaran dari Allah juga. Kalau memang belum rejeki kita, dipaksakan juga, kitanya nggak akan tenang. Ya nggak, bu?”
Ibu terdiam, matanya berkaca-kaca, ”Alhamdulillah, ibu senang sekali akhirnya kata-kata itu keluar dari hati Via sendiri. Ibu sendiri sebetulnya agak keberatan pada saat kamu menerima pinjaman mobil Yulia dulu. Tapi ibu tidak berani menolak, karena ibu lihat, kamu sangat menyukai mobil itu, apalagi sebelumnya kamu bilang bahwa dosenmu sudah tidak mungkin memberikan nilai A karena keterlambatanmu beberapa kali. Memegang amanat itu berat, Via, tapi ibu ingin supaya kamu menyadari sendiri hal itu, seperti saat ini. Tolong nanti kamu sampaikan dengan hati-hati ke Yulia, supaya dia tidak tersinggung ya!”
“Makasih, bu! Nanti Via akan sampaikan ke Yulia,” jawabku lega.
Pagi itu aku berangkat ke kampus naik mikrolet dengan hati ringan, karena aku sadar, untuk saat ini, hal inilah yang terbaik bagiku.
“Terima kasih, ya Allah, dan ampunilah hamba-Mu ini, yang selalu tidak puas dengan apa yang telah Kau-berikan. Aamiin.”
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Fithriyah Abubakar sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.