Tazakka : "Perjuangan itu artinya berkorban, berkorban itu artinya terkorban. Janganlah gentar untuk berjuang, demi agama dan bangsa. Inilah jalan kita."
|
http://lakonhidup.wordpress.com | |
setta_81@yahoo.com | |
setta_81@yahoo.com |
Ahad, 11 Desember 2011 pukul 10:00 WIB
Penulis : Setta SS
“Benar. Saat ini, aku mungkin sedang dalam kondisi terparah dari rangkaian episode hidupku,” wajah yang tampak lelah itu memulai kisahnya pada saya.
Dua kelelawar dewasa berkelebat berkejaran di antara pekat malam tanpa rembulan bersigegas berebut menuju tempat jatah makan mereka yang entah.
“Jika aku boleh memilih, aku ingin kembali ke masa-masa 10 hingga 16 tahun silam. Saat-saat seragam putih biru abu-abu melekat erat di tubuhku. Akulah si juara kelas itu. Akulah bintang kejora di antara teman-temanku yang hanya setitik putih di belantara angkasa. Saat-saat aku menikmati petualanganku tanpa kehadirannya—ya, kehadirannya!”
Saya menatap wajahnya yang tiba-tiba menegang. Ekor mata saya menangkap geram terbit di sana seketika, terpancar di kedua sorot elangnya. Satu keganjilan yang belum pernah saya saksikan sebelumnya.
Saya, belajar berempati padanya. Dan hanya mengangguk-anggukkan kepala saya beberapa kali, berharap ia yakin saya adalah orang yang tepat untuk mendengar keluh kesahnya. Tanpa berkata-kata.
“Aku baru mengenal sosoknya tak lama setelah menanggalkan statusku sebagai pelajar menengah. Tak ada yang istimewa padanya—kupikir. Very ordinary. Tapi aku mencintainya—sungguh-sungguh mencintainya!”
“Kau tahu itu?” tanyanya meminta pengesahan pengakuannya dari saya, setelah beberapa jenak keheningan menyelinap di antara jeda penuturannya.
“Tentu,” saya menimpali cepat.
Sungguh, bukan menghiburnya, tetapi karena saya tahu persis apa yang seharusnya saya katakan kepadanya. Ia jarang bercerita, meski kami tak pantas lagi disebut teman kemarin sore. Apakah menurutmu lima tahun tinggal bersama adalah waktu yang terlalu singkat?
“Aku tulus mencintainya—sungguh-sungguh mencintainya, dengan caraku sendiri. Meski aku tak pernah tahu apakah dia juga mencintaiku seperti aku mencintainya atau tidak. Itu bukan urusanku! Cukuplah aku mencintainya sepenuh hatiku.”
Senyap.
Saya paham, kenapa ia berkata seperti itu.
Ia, pemuda cerdas yang duduk tak jauh dari saya itu, laksana seekor itik yang menemukan kembali saudara seinduknya setelah sekian lama alam memisahkan mereka—memaksa mereka terpisah. Angin menerbangkannya ke sebrang saat ia berumur bilangan minggu, ke pelukan ibu ayahnya.
Dan, ia sungguh-sungguh mencintainya.
“Aku hanya berharap sebuah keakraban yang alami di antara kami. Apakah itu terlalu berlebihan menurutmu?”
Saya biarkan pertanyaan retoris itu menggantung di ruang imajinasinya. Semoga ia menangkap arti senyum tulus saya adalah sebuah kompromi—hai, bukankah nyanyian alam yang selalu menghadirkan aroma kebersamaan itu adalah segurat lukisan yang dibentuk oleh sepasang bibirmu?
“Sayang, kau telah menumpahkan setitik racun ke dalam ramuan cinta yang susah payah kuhadirkan selama ini—sejak pertama kali aku mengenalmu! Sungguh, sangat kusayangkan pilihan sikapmu itu ….”
Saya menerka, diam-diam—
“Dia menghujatku!”
Intonasinya mendadak melonjak.
“Dia menusuk jantungku dengan sebilah belati berkarat!”
Ia meradang.
“Dia menghinaku seperti pada seonggok daging busuk yang tak berharga di matanya!”
Ia terluka.
“Dia menebas tunas-tunas cinta yang susah payah kusirami agar tumbuh subur selama ini!”
Dan, saya cukup menjadi pendengar yang baik.
“Sungguh, betapapun terpuruknya aku saat ini di hadapannya, ia sangat tak pantas berkata seperti itu pada orang yang tulus mencintainya …,” suaranya tercekat di antara celah kerongkongannya, “karena ikatan darah.”
Kembali hening.
Angin bersiul-siul sambil berkejar-kejaran riang.
Seekor tikus sawah melintas terburu tanpa permisi membawa sejumput jerami kering dengan gigitan gigi-gigi runcingnya.
Sebuah bintang berkedip di angkasa, entah ia bersimpati atau sekadar mentertawakan tingkah kami.
“Kau akan memaafkannya?”
Saya memutus rantai kebekuan yang tercipta sekian jenak lamanya.
Ia acuh. Jari-jemari tangan kanannya meraih sebuah batu kali yang terserak tak jauh dari tempat kami bersandar pada besi pembatas jembatan di ujung jalan kampung ini. Tiba-tiba, dihempaskannya batu itu sekuat tenaga, menghunjam dasar kali di bawah jembatan yang kerontang.
Samar, gendang telinga saya masih mendengar gemerutuk gigi-geliginya. Dalam cengkraman siluet kelam, kedua tangannya mengeras, terkepal, merah!
Saya terbius dan membisu.
Dan sebelas detik berlalu gegas.
Ia menyandarkan punggungnya pada besi pembatas jembatan, di samping saya. Menghela nafasnya panjang—sangat panjang, mengeluarkannya bagai orang yang baru muncul ke permukaan setelah menahan nafas lima menit di dasar sungai bah coklat tua kehitaman. Dua kali, nyaris tanpa jeda. Seolah melepas kegetiran yang menghimpitnya.
Kemudian sepasang mata elang itu redup, mengatup rapat.
Hampa kembali menjalari ruang yang tersisa antara siku tangan kirinya yang terlipat kaku memeluk dadanya dan jaket kumal yang saya kenakan.
Tak lama—
“Bahkan, aku mungkin sudah memaafkannya.”
Sungguh, saya lega luar biasa mendengarnya. Karena iblis pun pasti akan tersenyum kecut karenanya. Karena begitulah ia sejatinya.
“Hanya saja, aku tak mungkin melupakannya di sepanjang sisa usiaku!”
Memaafkan, tetapi mustahil melupakan?
Saya tertegun.
“Sebagian orang—termasuk dia!—lebih sering berkata tanpa pernah berpikir terlebih dahulu tentang seberapa mahal harga yang harus dibayarkan untuk setiap perkataannya itu.”
Ah!
“Dan, hari itu, aku belajar dari mulutnya!”
Saya pun—
***
2o Oktober 2oo9 o9:o9 a.m.
http://lakonhidup.wordpress.com
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Setta SS sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.