Pelangi » Pernik | Ahad, 3 Mei 2009 pukul 18:11 WIB
Penulis : Fithriyah Abubakar
Tiga puluh tahun yang lalu, kami pindah dari rumah kakek ke istana pribadi kami. Walaupun istana baru ini masih mengontrak, tapi kami sangat bahagia, karena akhirnya memiliki rumah sendiri. Tidak hanya itu, kepindahan ini juga telah mempertemukan kami dengan banyak teman baru. Aku yang saat itu masih duduk di kelas satu SD, memiliki banyak teman baru yang sebaya, dan akrab dengan keluarga mereka, yang semuanya tinggal berdekatan. Hingga beberapa waktu kemudian, kami bertemu dengan seseorang yang istimewa.
Beberapa kali pria berpakaian agak lusuh ini berdiri di jalanan depan toko kayu Abi, yang letaknya bersebelahan dengan rumah kami, memandangi kesibukan Abi dan para asistennya. Namun setiap Abi memanggil, ia selalu berjalan cepat menjauhi tempat itu, sambil tersenyum malu. Akhirnya, beberapa waktu kemudian, ia menghampiri Abi, yang saat itu tengah duduk sendirian di teras menunggui toko, sambil membaca koran. Para asistennya sedang sibuk membuat furnitur di halaman belakang.
"Bah [1], saya boleh kerja di sini?" tanyanya sambil menunduk malu. Abi mengajaknya duduk di sampingnya, namun pemuda yang berusia sekitar 20 tahunan itu menolak, dan tetap berdiri di bawah teras. Akhirnya Abi pun beranjak menuruni teras, dan bercakap-cakap lama dengannya, lalu memintanya untuk kembali 2 hari kemudian.
Setelah menanyakan kepada para tetangga tentang pemuda itu, Abi pun menerimanya bekerja. Ketika pekerjaannya selesai dan Abi sedang senggang, biasanya Abi mengajaknya ngobrol, menggali latar belakang pemuda yang sedikit 'berbeda' dengan rekan seusianya ini.
Plongo namanya. Lahir sebagai anak pertama dari seorang ayah yang hobi berjudi dan menyabung ayam, serta ibu yang bekerja sebagai pedagang serabutan di pasar. Kehadirannya yang dinanti-nanti, kemudian berganti menjadi kekecewaan, begitu orangtuanya menyadari, bahwa tingkat intelektualnya lebih rendah dibandingkan dengan teman sebayanya. Setelah berkali-kali tidak naik kelas, Plongo dikeluarkan dari sekolah, sehingga pendidikan terakhirnya adalah kelas 2 SD. Penghasilan keluarga yang pas-pasan membuatnya tidak sanggup mengikuti pendidikan bagi anak sepertinya, yang saat itu masih terhitung mahal.
Ketika adik prianya lahir normal, Plongo semakin diabaikan. Ia disuruh bekerja untuk membantu keluarga, karena penghasilan ibunya sering diambil sang ayah untuk bermain judi. Sejak itulah, Plongo kecil rajin bekerja dari rumah ke rumah, mulai dari menimba air, menyapu halaman, menyiram tanaman, mencabuti rumput, hingga membersihkan sampah dan menjadi kuli angkut di pasar.
Allah memang Mahaadil, Plongo yang agak lamban dalam berpikir ini dikaruniai hati yang baik dan tubuh yang kuat. Walaupun bekerja berat setiap hari dan makan seadanya, Plongo tetap terlihat ceria dan hampir tidak pernah sakit.
Saat adiknya, Joko, tumbuh menjadi anak yang pintar dan lebih tampan daripada Plongo, sang ayah mengusirnya dari rumah. Ia sangat marah karena Plongo menolak untuk memberikan uang hasil kerjanya sebagai taruhan di meja judi. Sang ibu yang juga telah lama memendam rasa malu karena kondisinya, tidak berusaha untuk mencegah Plongo pergi.
Sejak itulah Plongo hidup sebatang kara. Malam tidur di masjid, pagi bekerja di pasar, dan siangnya berkelana dari rumah ke rumah, menawarkan tenaganya. Karena kejujurannya, banyak orang yang menyukai Plongo, dan memberikan pekerjaan sekedarnya padanya. Apalagi Plongo paling pantang dikasihani, ia tidak akan mau diberi sesuatu secara cuma-cuma.
Karena kebiasaannya tidur di masjid inilah, maka Plongo dipertemukan pula dengan seorang ustadz, yang rajin menyemangati dan mengajarinya mengaji. Beliau pula yang selalu mengajarkan kepada Plongo, agar selalu bekerja di jalan yang halal, walaupun upahnya tidak seberapa. Upah di surga jauh lebih berarti daripada di dunia, begitu selalu nasehatnya.
Lain Plongo, lain pula Joko [2]. Si tampan kecintaan keluarga yang lebih muda 6 tahun darinya ini, ternyata mengikuti jejak ayahnya. Joko yang termasuk pandai di kelasnya, sering ketahuan mencuri di kelas. Saat duduk di bangku SMP, ia tertangkap tangan mencuri uang teman untuk yang kesekian kalinya, sehingga dikeluarkan dari sekolah.
Saat mengobrol bersama Plongo, Abi pernah menanyakan tentang namanya. "Saya dulu bodoh banget, Bah. Kalau ditanya guru, selalu plonga-plongo, makanya sejak itu saya dipanggil 'Plongo' sama orang-orang," katanya sambil tersenyum getir. Ketika Abi menanyakan nama aslinya, Plongo menyebutkan sebuah nama yang bagus, namun kembali meminta Abi agar memanggilnya dengan 'Plongo' saja, karena ia sudah terbiasa dengan nama itu. "Daripada Abah 'ntar capek manggil, sayanya gak dateng-dateng," katanya sambil tersenyum lebar.
Suatu hari, ketika sedang bersantai di ruang tamu sepulang sekolah, aku mendengar suara orang memanggil-manggil nama Plongo dengan keras dan tidak sopan. Saat melihat dari jendela, kulihat Plongo sedang menunduk terdiam, dibentak-bentak oleh seorang pemuda tanggung yang terlihat lebih muda darinya. Melihat itu, aku pun kesal sekali, dan segera beranjak ke luar, melalui pintu samping. Saat melewati dapur, Ummi menanyaiku dan kemudian ikut melihat dari jendela. Ummi pun segera menyuruhku untuk memanggil Abi di toko dan melaporkan kejadian itu padanya.
Ketika Abi muncul dan mengusir pemuda itu, Plongo malah membelanya. "Biarin aja, Bah. Itu adik saya, Joko," katanya memelas. Sementara itu, Joko hanya melengos dan beranjak pergi, sambil memasukkan sesuatu ke saku kemejanya.
Usut punya usut, ternyata Joko memaksa Plongo untuk menyerahkan uangnya. Dia bilang ibu mereka sakit, karena memikirkan Plongo yang idiot, sehingga tidak bisa bekerja lagi. "Saya cuma kasihan sama ibu, Bah. Kalau dia nggak bisa beli obat, 'kan 'ntar sakitnya nggak sembuh-sembuh," katanya sambil terisak-isak. Akhirnya Abi menyuruhnya pulang dan memberinya sejumlah uang untuk biaya berobat ibunya. Plongo pun menurut, dan keesokan paginya, ia berpamitan untuk menjenguk ibunya.
Hari berikutnya, Plongo sudah muncul kembali, dengan wajah yang lebih lesu dari biasanya. Ternyata ibunya baik-baik saja, dan bahkan tidak mengijinkannya masuk ke rumah, hanya menerima uangnya saja. Yang lebih parah lagi, ternyata Joko tidak pernah menyampaikan uangnya pada ibunya.
Para tetangganya mengabarkan, bahwa adiknya kini semakin parah, tidak hanya mencuri, tapi juga berjudi dan pencandu minuman keras! Sejak itulah, Plongo memutuskan untuk tidak lagi kembali ke rumahnya.
Ketika usaha kayu Abi pailit karena banyaknya pelanggan yang kabur dan tidak membayar hutangnya, Abi meminta Plongo untuk bekerja di tempat lain, karena tidak sanggup untuk memberinya upah seperti biasa. Di luar dugaan, Plongo meminta untuk tetap diijinkan tinggal dan makan di situ seperti sebelumnya, walaupun tanpa upah, karena ia sudah menganggap kami sebagai keluarganya. Abi pun mengabulkan permintaannya, dan sejak itu Plongo semakin dekat dengan keluarga kami.
Meskipun Abi telah melarangnya untuk bekerja di tempat kami, namun Plongo tetap bekerja seperti biasa. Setelah beres, ia kembali menawarkan jasanya untuk bekerja di tempat lain, dan kembali ke rumah saat hari menjelang Maghrib.
Kabar berita keluarga Plongo datang silih berganti. Diawali dengan meninggalnya Joko karena tertabrak bis, kemudian sang ayah yang meninggal setelah sakit keras. Plongo pun sempat pulang beberapa hari, setelah Abi memaksanya untuk pulang melayat ayahnya dan menemani ibunya.
Setelah beberapa waktu berlalu, Plongo datang sebentar dan kemudian pergi untuk selamanya dari rumah kami. Abi mengatakan bahwa ibu Plongo telah menerimanya kembali, karena ia sangat kesepian sepeninggal Joko dan suaminya. Plongo yang pada dasarnya sangat mencintai ibunya itu pun tak tega, dan ingin menjaga beliau hingga akhir hayatnya.
Tahun demi tahun berlalu, Plongo hanya muncul sesekali saja, dan setelah itu menghilang tanpa berita. Tak lama setelah itu, terdengar kabar duka, bahwa Plongo telah menghadapNya, setelah menderita tetanus beberapa lama. Bahkan sang ibu pun bercerita kepada Ummi, betapa kaget dirinya melihat iringan panjang yang mengantar Plongo ke liang lahat, anak yang selama ini selalu dianggap membawa aib di keluarganya.
Perkenalan dengan Plongo adalah sebuah anugerah bagi keluarga kami. Sosoknya membawa bukti nyata, bahwa yang terpenting bagi seorang manusia adalah hatinya, bukan kepandaiannya, apalagi kekayaannya. Hati yang ikhlas akan membuat seseorang mampu menghadapi apa saja, dalam keadaan yang terberat sekali pun, dan tetap menempuh hidup di jalan yang diridhaiNya.
Masih terbayang di benakku, betapa Plongo selalu menimba air sambil menyanyi gembira, menyabit rumput sambil bersiul-siul ceria, serta menerima piring makanannya dengan tawa bahagia. Bahkan ia pun tak pernah marah, saat anak-anak kecil mengolok-oloknya. Plongo, semoga Allah mengampuni dosa-dosamu, melapangkan kuburmu, dan menerima segala amal ibadahmu, Aamiin.
"Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, karena boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok)." (QS. Al-Hujurat : 11).
Nishi Chiba, 22 Juli 2008 (01.42 JST)
Catatan:
[1] Dari kata 'Abah'.
[2] Plongo dan Joko bukanlah nama yang sebenarnya.
KotaSantri.com © 2002-2024