QS. Al-Hujuraat : 13 : "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
|
Kamis, 28 Februari 2013 pukul 14:00 WIB
Penulis : Fithriyah Abubakar
Si V, "Wah, lagi S3? Berarti calonnya nanti minimal juga kudu doktor, dong?"
Paman W, "Jangan sekolah melulu, ntar gak nikah-nikah, lho!"
Mbak X, "Aku gak jadi nerusin doktor, ah. Wong lulus master gini aja belum juga dapet jodoh!"
Mahasiswi Y, "Jadi wanita nggak perlu sekolah tinggi-tinggi, ‘kan nantinya ke dapur juga!"
Mbak Z, "Si A mundur, Mbak. Soalnya dia masih kuliah S2, padahal Mbak udah Master!"
Beberapa komentar di atas sering muncul di sekitarku, terutama yang senada dengan V, W, dan X. Komentar yang mengarah pada satu kesimpulan, pendidikan yang tinggi bagi wanita akan meningkatkan kesulitan untuk mendapatkan jodoh baginya! Percaya atau tidak, hal tersebut belakangan ini membuat teman-teman wanitaku enggan untuk melanjutkan studinya, padahal mereka memiliki kesempatan dan kemampuan untuk itu. Salah satunya, tentu saja si Mbak X ini. Padahal kesempatan terbuka lebar baginya, dan saat itu ia juga belum mendapatkan kejelasan, dengan siapa akan menikah.
Kalau sang calon pendamping sudah jelas, pasti beda lagi situasinya. Tinggal didiskusikan dengan yang bersangkutan, bereslah sudah! Namun yang kebanyakan mengorbankan studi demi menanti sang calon suami ini, justru mereka yang masih benar-benar sendiri, dalam arti tidak sedang berproses/dekat dengan pria manapun.
Menanti sang pendamping, memang salah satu dari ketidakpastian. Ada berbagai kemungkinan yang membuat sang qawwam ini belum hadir juga. Yang pertama, tentunya kriteria dari si muslimah itu sendiri. Kalau dia menentukan kriteria yang terlalu ‘biasa’, bisa jadi, justru inilah yang mempersulit kehadiran sang pendamping hidup. Lho, kok bisa? Ya, wong maksudnya sang suami itu harus ‘biasa’ berakhlaq Al-Qur’an bak Nabi Muhammad SAW, berwajah ‘biasa’ ala Nabi Yusuf AS, ‘biasa’ kaya dan berkuasa bagai Nabi Sulaiman AS, dan ‘biasa’ sabar seperti Nabi Ayyub AS! Wah, kalau yang kayak gini sih, mau bumi ditegakkan dan diruntuhkan berapa kali juga nggak bakalan ketemu, deh!
Jadi, sebelum menentukan kriteria, ada baiknya kita juga berkaca pada diri sendiri. Bukankah Allah telah menyampaikan dalam QS. An-Nuur : 26, bahwa “… perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik (pula).” Kesimpulannya? Ya, kalau kita tidak sebijaksana dan seshalehah Khadijah RA, ataupun secerdas dan seberani Aisyah RA, jangan pasang kriteria setinggi Rasulullah dan kawan-kawan, dong! Cari kriteria yang membumi, karena kita memang tinggal di bumi, bukan di awang-awang.
Yang kedua, berusaha/ikhtiar. Kalau menurut Ustadz Arif Rahman dalam ceramah Ramadhan di kantorku dulu, ada 3 bentuk ikhtiar yang bisa dilakukan oleh muslimah untuk ‘menjemput’ sang qawwam ini.
a) Meluruskan niat dan membuka diri. Maksudnya bergaul, secara syar’i tentunya. Kalo ngumpet terus di rumah, gimana mau ketemu orang, dong? Jangan-jangan malah selama ini orang di sekitar nggak ngeh kalo kita ada, karena hibernasi melulu. Terus soal niat, mesti diseriuskan bahwa niatnya memang untuk nikah, menggenapkan setengah agama. Bukan cuman untuk hura-hura atau pacaran yang nggak ketahuan juntrungannya. Bukankah segala sesuatu itu berawal dari niat? Jika niat baik, jalannya baik, dan tujuannya baik; Insya Allah akan dipermudah dan dilancarkan.
b) Meminta rekomendasi teman/kerabat/keluarga. Sama dengan rejeki, yang namanya jodoh itu juga datangnya dari arah yang tak disangka-sangka. Kalau nggak percaya, tanya deh ke temen-temen sekitar yang sudah nikah, pasti banyak cerita-cerita ajaib soal pertemuannya dengan pendamping hidupnya saat ini. Di sisi lain, kita juga mesti hati-hati dan memilih teman yang dapat dipercaya, jangan asal OK aja. Ingat, nikah itu bukan cuman untuk sebentar dua bentar, tapi Insya Allah hingga bertemu di surga nanti.
Jadi pastikan bahwa semua informasi yang didapatkan adalah yang paling up-to-date, akurat, tajam, dan tepercaya! Jangan mudah percaya dengan sesuatu yang berawalan dengan, “Kudengar dari temen, temenku punya kawan, kawannya ini sohiban sama si B. Nah, temen sebangkunya tetangga si B ini katanya lagi nyari istri.” Welah dalah, jauh banget, yak? ’Kan susah untuk cek en ricek infonya nanti. Sebenernya paling enak memang kalau dijodohin sama orangtua, asalkan kriteria mendasar kita sama dengan mereka. Soalnya tiap orangtua pasti akan memilihkan yang terbaik buat anaknya. Nah, tinggal pinter-pinter negosiasi aja sama orangtua, biar tidak ada tabrakan kepentingan di sini, karena seringkali patokan kriteria sang ortu berbeda dengan sang anak.
c) Last but not least, berdo'a. Niat udah, usaha udah, tinggal tawakkal, pasrahkan dan mintakan yang terbaik kepada Allah, karena hanya Dia-lah yang mengetahui kepastian tentang jodoh kita. Selalu berbaik sangkalah kepada-Nya, karena hanya Allah yang mengetahui mana yang terbaik bagi kita.
Nah, kembali ke soal pendidikan tinggi dan hubungannya dengan berkurangnya prospek untuk menikah. Terus terang, setidaknya ada empat alasan bagiku untuk menolak pendapat ini.
1) “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim[1].” Catat, setiap muslim, yang berarti baik laki-laki maupun perempuan. Memang, menuntut ilmu tidak wajib lewat pendidikan formal, tapi kalau kesempatan dan kemampuan memungkinkan, kenapa tidak? Percaya deh, yang namanya sekolah itu nggak bakalan ada ruginya. Kecuali kalau niat sekolah bukan untuk menuntut ilmu, tapi cuman pengen gaul dan kongkow bareng temen di luar kelas, memperluas jaringan. Kalau ini mah, jelas rugi banget, udah buang waktu, tenaga, dan biaya, tapi yang kita dapet sama sekali nggak setara dengan itu.
Selain itu, patut diingat bahwa kelak bila sudah menikah dan melahirkan, seorang ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Itulah sebabnya, pendidikan bagi seorang ibu dan calon ibu sangat penting. Kebayang nggak sih, kalau ibunya lulusan SD, terus waktu si anak duduk di SMP nggak bisa ngerjain/nggak ngerti PR-nya, mau bertanya ke siapa? Ibunya nggak paham, ayahnya belum tentu sempat ngajarin. Kasihan si anak, ‘kan? Apalagi di era globalisasi seperti ini, di mana sang ibu juga dituntut untuk berpacu dengan waktu, agar dapat memberikan bekal pendidikan yang manstab bagi sang anak, sehingga sang anak bisa mandiri, shaleh/ah, dan tidak gampang terpengaruh dengan lingkungannya.
2) Jodoh merupakan salah satu dari tiga sekawan (bersama rejeki dan maut, maksudnya) yang hanya diketahui kepastiannya oleh Allah SWT. Tiga sekawan itu telah dituliskan sejak awal nyawa kita ditiupkan. Kalau kita menganggap bahwa orang yang berpendidikan tinggi itu sulit mendapatkan jodoh, berarti sama saja kita menganggap bahwa Allah pilih kasih, tidak adil pada wanita yang berpendidikan tinggi, soalnya hak prerogatif nentuin jodoh itu ‘kan di tangan Beliau?Pastinya, Allah nggak gitu, deh! Mungkin ‘kesulitan’ bertemu jodoh ini justru karena kriteria yang terlalu tinggi tadi, sehingga walaupun yang bersangkutan sudah di depan mata, tapi si wanita masih tetap berharap yang lebih dan lebih, tanpa memperhitungkan kualitas dirinya sendiri, sehingga menolak sang jodoh yang telah ditetapkan.
3) Tingkat pendidikan formal yang tinggi bukan berarti tahu segalanya. Mungkin pada inget, kita dulu belajar “sapu jagad” justru saat di SD, dari belajar baca tulis angka, huruf Latin, Jawa, dan Arab sampe not balok; dari sejarah Kutai sampe teori relativitas; dari melipat kertas sampe menjahit; dari berkebun sampe olahraga. Lama-kelamaan, pendidikan kita beralih dari generalis menuju ke spesialis, yang dimulai sejak penjurusan di SMA, terus berlanjut hingga akhirnya di S3 kita hanya menambah pengetahuan untuk jenis bidang ilmu yang digeluti saja.
Jadi kalau ada yang bilang bahwa muslimah lulusan S3 mesti nikah dengan pria yang minimal S3, rasanya nggak juga. Semuanya tergantung pada pribadi masing-masing. Karena kemampuan akademik tidak mencerminkan kepribadian seseorang sepenuhnya. Idealnya memang sekufu. Tapi sekufu bukan berarti setara dalam gelar akademik, ‘kan? Jika calon qawwam yang diajukan memiliki kepribadian yang shaleh, akhlaq yang baik, dan pola pikir serta komunikasi yang nyambung (walaupun gelar akademik yang dimilikinya lebih rendah dari si wanita), kenapa tidak diterima? Selama bisa saling menghormati, Insya Allah perbedaan status pendidikan ini tidak akan menjadi masalah dalam bahtera rumah tangga nanti.
4) Memanfaatkan waktu sambil menanti kepastian di tengah ketidakpastian. Menuntut ilmu adalah salah satu sarana untuk meningkatkan kualitas diri dalam masa penantian yang tidak pasti ini. Jangan sampai kita duduk manis menunggu si godot, eh si jodoh ini, deh! Pasti semua sudah mendengar hadits ini, ”Manfaatkanlah lima (keadaan) sebelum (datangnya) lima (keadaan yang lain). Hidupmu sebelum matimu, sehatmu sebelum sakitmu, waktu luangmu sebelum waktu sempitmu, masa mudamu sebelum masa tuamu, dan kayamu sebelum miskinmu.” Ya, kalau nunggunya bentar, kalau lama? Rugi banget, kan buang-buang waktu dan kesempatan hanya karena mengandalkan sesuatu yang belum pasti kapan tibanya.
Jika sang qawwam belum juga hadir, pastinya ada alasan Allah untuk itu. Mungkin saja kita diberikan kesempatan untuk berkarya semaksimal mungkin sebelum menikah, karena pernikahan bagi beberapa orang dapat mengurangi kebebasan untuk beraktivitas, apalagi jika anak-anak telah hadir menemani. Psst, pernah seorang wanita bilang kepadaku, ”Enak ya, kalau belum nikah, bisa sekolah ke mana-mana, bisa kerja di tempat yang kita suka. Kalau udah nikah mah, semua kudu pake ijin suami, apalagi setelah ada anak, nggak bisa ditinggal sama sekali. Ribet banget, dah!”
Pastinya, nggak semua begitu lho! Banyak kok, temen-temen yang sudah nikah dan punya anak, tapi tetep bisa beraktivitas seimbang di keluarga dan masyarakat. Jadi komentar si Y di atas juga nggak masuk hitungan deh, karena sebaik-baik manusia, adalah yang paling bermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya. Hal yang perlu diingat adalah, komunikasikan keinginan untuk tetap beraktivitas di luar rumah ini pada sang calon pendamping, agar tidak menyesal di kemudian hari.
Tapi jika masih ada pria yang mundur hanya karena status pendidikan yang lebih rendah dari si wanita seperti kata si Z, gimana dong? Itu sih problem dia, bukan kita. Karena orang yang terbaik bagi kita adalah yang dapat menerima kita apa adanya, sebagaimana penerimaan kita terhadapnya.
Qawwam yang tepat bagi seorang wanita adalah yang mampu menerima calon istrinya dalam kondisi walau (walau nggak bisa masak, walau nggak feminin, walau pendidikannya lebih tinggi, walau beda suku, walau dari keluarga yang biasa saja), bukan dengan syarat kalau (kalau pinter masak, kalau feminin dan lemah-lembut, kalau pendidikannya setara/di bawahnya, kalau dari suku yang sama, kalau anak orang kaya). Wah… kalau syaratnya mengubah sejarah pendidikan, keturunan, kekayaan, dan kepribadian begini mah, mendingan milih orang lain aja, deh!
Kesimpulannya, tetaplah untuk terus maju. Selama apa yang kita kerjakan itu baik, benar, dan halal, kenapa mesti ragu? Karena waktu terlalu berharga, untuk disia-siakan dalam penantian yang belum jelas ujungnya. Begitu berharganya waktu, sampai Allah pun mengatakan dalam QS. Al-Insyirah : 7, “Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain).” Bila sang sandaran hati tak juga berjumpa di dunia ini, Insya Allah pasangan abadi akan dipertemukan di akhirat nanti.
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Fithriyah Abubakar sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.