HR. Ad-Dailami : "Alangkah baiknya orang-orang yang sibuk meneliti aib diri mereka sendiri dengan tidak mengurusi aib orang lain."
|
![]() |
http://tetapbersyukur.wordpress.com |
![]() |
yudi_aja56@yahoo.co.id |
![]() |
mas.yudiii |
![]() |
http://facebook.com/Wahyudi Yusuf |
Kamis, 6 Desember 2012 pukul 16:00 WIB
Penulis : Wahyudi
Peran profesional muslimah adalah peran kontributif, dan peran utamanya adalah di rumah. Ketika dia ke luar rumah dan menjalankan peran sesuai dengan kapasitasnya secara profesional, sesungguhnya ia tengah ikut bersama kaum pria untuk membangun bangsa. Meski demikian perlu diingat, jika dilihat secara jumlah, sebenarnya muslimah yang dikaruniai peran kontributif jumlahnya lebih kecil daripada wanita rata-rata. Dan dalam pengurusan manajemen dan analisa biasanya wanita memang memiliki kualitas lebih bagus dibandingkan kaum laki-laki.
Ketika seorang muslimah memiliki potensi dan kesempatan untuk menjalani peran publik, maka ia harus menjalaninya dengan baik dan semata berharap untuk mengharap ridha Allah. Selain itu ia juga harus didukung oleh suaminya, keluarganya, dan masyarakat (negara). Mereka yang memutuskan untuk berkontribusi pada bangsa dan masyarakat dan tentunya dengan seizin dan ridha suami harus mencari cara yang efektif dan efisien untuk berperan optimal tanpa meninggalkan fungsi utamanya sebagai istri, ibu, dan ibu rumah tangga (dalam tataran masyarakat).
Kita memang perlu menciptakan dunia yang ramah bagi muslimah, ramah dalam peran dan produktifitas. Peran shahabiyyah di zaman rasulullah sangat banyak dan beragam. Sementara sekarang ada pemikiran yang mengerucutkan peran muslimah itu menjadi dua poin ekstrim, ibu bekerja dan ibu rumahtangga. Bagaimana sebenarnya?
Peran muslimah, sesungguhnya bukan sekedar pelengkap, pemanis, atau sekedar peran di belakang layar. Tetapi dia memiliki banyak peran dan tanggung jawab yang harus dijalankan. Ada peran individu sebagai seorang hamba, peran sebagai istri, peran sebagai ibu, dan peran sebagai ibu rumah tangga dalam tataran masyarakat bahkan bangsa yang menuntutnya untuk berkontribusi. Lalu bagaimana cara mengelola semua peran tersebut tanpa mengenyampingkan peran utamanya sebagai wanita seutuhnya? Ada pertimbangan-pertimbangan yang harus diperhatikan oleh seorang muslimah dalam memilih mana yang lebih diprioritaskan.
Ketika kita memilih untuk berkontribusi di tataran masyarakat, kita harus memahami betul apakah peran tersebut akan menggaggu peran utamanya? Ketika suami mendukung dan peran tersebut bisa diseimbangkan tanpa mengganggu peran utamanya, maka diperbolehkan. Tetapi ketika peran tersebut dimungkinkan akan mengganggu peran utamanya, maka dia harus meninggalkannya dan fokus pada peran utamanya. Bagaimanapun syurga muslimah berada dalam ridha tidaknya suami.
“Banyak kaum laki-laki hebat yang dilatarbelakangi oleh wanita hebat, baik istri, ibu, maupun saudara.” Kalimat ini harusnya bisa menjadi pemicu bagi kaum wanita untuk berperan secara optimal, baik sebagai istri, ibu, maupun ibu rumah tangga. Bahkan Nabi pernah bersabda, bahwa kemandirian dan tegaknya sebuah negara bergantung pada wanita. Karena dialah pencetak generasi-generasi pemimpin negara.
Dari siroh kita belajar bahwa mereka juga menjalankan peran-peran strategis. Ada sebuah kisah shahabiyah yang cukup menarik untuk disimak. Ketika itu, dalam perencanaan penempatan pasukan, muslimah ditempatkan pada tempat yang sesuai dengan fitrahnya, di belakang. Namun, pada saat-saat genting, Rasul tidak melarang muslimah untuk mengambil peran-peran penting, bahkan meski itu mengambil tempatnya para sahabat. Contoh, Nasibah Al-Mazniyyah, Srikandi Perang Uhud. Di saat genting, Umar dan bahkan Abu Bakar minggir ketika mendengar kabar Rasulullah telah mati. Mereka tidak punya semangat lagi untuk berjihad, karena mereka menyangka, siapa lagi yang mau dibela? Saat itu Rasul pingsan. Saat tersadar, ia tidak melihat kehadiran orang lain kecuali Nasibah. Kemudian Rasulullah mempersilakannya meminta kepadanya, “Ya Nasibah, salmi, salmi” (mintalah, mintalah). Kemudian Nasibah meminta, “Ya Allah, jadikanlah aku sebagai temannya di surga.” Rasulullah pun memohon kepada Allah, “Ya Allah, jadikanlah Nasibah ini menjadi temanku di surga.”
Nasibah berperan langsung, bahkan dalam perang fisik. Pada mulanya ia memegang dua pedang. Tapi, setelah ia kehilangan sebelah tangannya, ia memberikan salah satu pedangnya kepada anaknya. Dalam peperangan itu, Nasibah kehilangan suami, anak, dan sebagian anggota badannya. Dalam kondisi genting seperti itu, Rasulullah tidak mengatakan, “Nasibah, ngapain kamu di sini?” Tidak. Jadi, meski sebelumnya ia berada di deretan pasukan belakang, saat itu Nasibah berperan sebagai pendamping Rasul karena tidak ada yang melakukannya. Subhanallah...
Semoga kita diberi kekuatan untuk selalu meningkatkan kualitas diri agar bisa ikut berkontribusi membangun bangsa. Dimulai dari diri sendiri - keluarga - masyarakat - bangsa - dunia Islam.
Diambil dari Tulisannya Kiki Rakhmawati Z / muslimahinspiring.blogspot.com
http://tetapbersyukur.wordpress.com
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Wahyudi sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.