Tazakka : "Perjuangan itu artinya berkorban, berkorban itu artinya terkorban. Janganlah gentar untuk berjuang, demi agama dan bangsa. Inilah jalan kita."
|
razan.pranoto@yahoo.com |
Sabtu, 21 Desember 2013 pukul 21:00 WIB
Penulis : Yanti Afriyani
Seminar “Ketika Anak Kecanduan Games” besutan Supermoms dengan pembicara Ibu Elly Risman, memang sudah lama berlalu. Tapi materi seminar ini membuat saya merasa beruntung bahwa Langit, di usianya saat ini, nggak terlalu tertarik pada gadget. Sempat saya mengunduh beberapa games yang sesuai usianya, misalnya puzzle, princess, atau Fruit Ninja, tapi Alhamdulillah, Langit hanya bermain paling lama 5 menit. Satu-satunya hal di gadget yang ia suka hanyalah melihat-lihat foto atau video (dirinya sendiri). Bakat narsis, rupanya.
Anyway, siapa di sini yang anaknya mulai ‘kecanduan’ games? Baik itu di smartphone, tablet, Nintendo, dan lain sebagainya?
Fakta menunjukkan bahwa saat ini sudah terdapat jutaan anak-anak Indonesia yang andal memainkan games. Mulai dari games pemula di gadget atau bahkan online games yang dengan mudah ditemukan di Facebook atau situs-situs lainnya.
Memainkan games memang ada segi positifnya, antara lain meningkatkan penggunaan Bahasa Inggris, melatih pemecahan masalah dan penggunaan logika, praktik penggunaan motorik halus, memperkenalkan anak pada kecanggihan teknologi, bahkan sampai pada meningkatkan kemampuan membaca jika yang dimainkan adalah games edukasi.
Namun, di balik segala kelebihannya, games juga menyimpan berjuta sisi negatif. Sebut saja games kekerasan yang bisa meningkatkan agresivitas anak, mengganggu sistem belajar, sampai menurunkan kemampuan sosial.
Di awal seminar, Ibu Elly menunjukkan hasil survei mengenai games pada anak. 65% orangtua memberikan fasilitas untuk main games pada anak usia 3-5 tahun, sementara 48% orangtua memberikan iPad untuk anaknya memainkan games. Sudah jleb, belum?
Berdasarkan survei juga, 36% orangtua memberikan fasilitas games tanpa alasan yang pasti. Mengenai hal ini, Ibu Elly juga menambahkan, biasanya alasan peer pressure menjadi hal utama dari orangtua memberikan fasilitas games untuk anak-anaknya. Istilah yang Ibu Elly gunakan adalah, “Ber-iPad anak orang, ber-iPad juga anak kita.” lalu ia melanjutkan, “Nggak punya pendirian banget, sih, lo, jadi orangtua.”, lalu peserta seminarpun cengar-cengir dibuatnya.
Nah, kenapa anak-anak senang main games?
Pertama, sudah pasti karena ada fasilitas. Kalau nggak dikasih fasilitas, mereka nggak akan kenal, kan?
Kedua, games itu menyenangkan. Jujur, saya juga suka main games, walaupun hanya sebatas Fruit Ninja.
Ketiga, melepaskan ketegangan. Siapa bilang anak-anak kita nggak tegang? Coba cek jadwal belajar mereka di sekolah. Saya sering melihat tweet atau status teman dan kerabat yang anaknya sudah duduk di Sekolah Dasar, biasanya mereka mengeluhkan materi pelajaran zaman sekarang yang sulit. Nah, kita yang dewasa saja bilangnya sulit, apalagi anak-anak?
Belum lagi, anak-anak ketika diajak ngobrol oleh orangtua yang pertama ditanyakan adalah, “Ada PR nggak?” atau “Kamu udah belajar belum?” Semakin beratlah, ‘beban hidup’ anak-anak kita.
Keempat, menghilangkan kebosanan. Saya pernah tweet kira-kira begini, “Kita memang capek kena macet dan bekerja, tapi anak-anak juga capek dan bosan menunggu kita pulang.” Bayangkan, berapa jam kita meninggalkan mereka? Saya sering menghitung berapa lama saya tidak berada di samping Langit, sekitar 12 jam, ternyata! Bayangkan, sekolahnya hanya 2-3 jam, 10 jam lainnya ngapain?
Bagi anak-anak yang sudah SD, selesai sekolah, mereka biasanya ada les, kursus atau apalah namanya itu. Kira-kira anak bosan nggak, dengan rutinitas tersebut? Kita yang dewasa pun, bekerja 8 jam sehari, 5 hari seminggu, pasti pernah merasa bosan, kan?
Kelima, meningkatkan keterampilan dalam bermain games. Anak-anak yang sudah main games tertentu, biasanya ingin meningkatkan keterampilannya ke tingkat yang lebih tinggi.
Keenam, merasa berkuasa atas sebuah hal. Bisa dibilang, selama menjadi anak-anak, kehidupan kita selalu ‘dikuasai’ oleh orangtua. Maka saat nge-games, anak-anak merasa berkuasa atas suatu hal. Ia bisa bebas ‘menyetir’ tokoh yang ia mainkan sesuai yang ia inginkan.
Seperti juga televisi, saya pribadi tidak bilang it’s a big no-no, ya, tapi ada beberapa rambu yang harus kita perhatikan saat memfasilitasi games pada anak :
1. Pastikan Mommies punya alasan yang kuat untuk memberikan games pada anak.
2. Sepakati pemberian games pada anak dengan pasangan.
3. Update selalu pengetahuan Mommies terhadap perkembangan teknologi. Apa yang kita anggap canggih saat ini, bisa jadi ‘ketinggalan zaman’ untuk anak-anak kita.
4. Jelaskan alasan kenapa kita mengizinkan anak bermain games atau kenapa kita melarangnya.
5. Jelaskan juga efek negatif bermain games untuk tubuhnya pada anak.
6. Berikan dan patuhi peraturan anak main games. Ingat, yang mematuhi tidak hanya anak, lho. Tapi juga orangtua. Nggak adil, kan, kita melarang anak pegang tablet untuk main, tapi di hadapan mereka kita asyik-asyik buka Facebook atau scrolling timeline Twitter?
7. Lakukan kontrol terhadap semua media games anak, kalau perlu mainkan sampai usai sebelum diberikan kepada anak. Kenapa? Karena ternyata banyak sekali games yang awalnya sesuai dengan anak-anak, ternyata di beberapa tingkat setelahnya mengandung kekerasan atau pornografi.
8. Cari rating games tersebut. Penjelasan rating games, Mommies bisa lihat di situs esrb.org.
Bagaimana jika anak sudah telanjur kecanduan? Hal pertama yang harus dilakukan adalah, berunding dengan pasangan lalu minta maaf pada anak. Kenapa minta maaf, karena, kan, kita yang kasih fasilitas games untuk mereka. Setelah itu, tanyakan perasaan anak, hargai apapun yang ia katakan. Dan, dampingi anak selama ia sedang dalam ‘proses pemulihan’ dari kecanduan tersebut.
Diambil dari mommiesdaily.com
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Yanti Afriyani sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.