Pelangi » Jurnal | Sabtu, 24 Agustus 2013 pukul 22:00 WIB
Penulis : Merza Gamal
Sumber Daya Manusia (SDM) adalah faktor sentral dalam suatu organisasi. Apapun bentuk serta tujuannya, organisasi dibuat berdasarkan berbagai visi untuk kepentingan manusia dan dalam pelaksanaan misinya dikelola dan diurus oleh manusia. Peran SDM bagi sebuah perusahaan yang ingin berumur panjang merupakan suatu hal strategis. Oleh karena itu, untuk menangani SDM yang handal harus dilakukan sebagai human capital.
Human capital, bukanlah memposisikan manusia sebagai modal layaknya mesin, sehingga seolah-olah manusia sama dengan mesin. Human capital justru bisa membantu pengambil keputusan untuk memfokuskan pembangunan manusia dengan menitikberatkan pada investasi pendidikan (termasuk pelatihan) dalam rangka peningkatan mutu organisasi sebagi bagian pembangunan bangsa. Penanganan SDM sebagai human capital menunjukkan bahwa hasil dari investasi non fisik jauh lebih tinggi dibandingkan investasi berupa pembangunan fisik.
Islam sebagai sebuah way of life, mengajarkan dan mengatur bagaimana menempatkan SDM pada sebuah syirkah (perusahaan). Islam sangat peduli terhadap hukum perlindungan hak-hak dan kewajiban mutualistik antara pekerja dengan yang mempekerjakan. Etika kerja dalam Islam mengharuskan, bahwa gaji dan bayaran serta spesifikasi dari sebuah pekerjaan yang akan dikerjakan harus jelas dan telah disetujui pada saat adanya kesepakatan awal, dan pembayaran telah dilakukan pada saat pekerjaan itu telah selesai tanpa ada sedikitpun penundaan dan pengurangan. Para pekerja juga mempunyai kewajiban untuk mengerjakan pekerjaannya secara benar, effektif, dan effisien. Al-Qur'an mengakui adanya perbedaan upah di antara pekerja atas dasar kualitas dan kuantitas kerja yang dilakukan sebagaimana yang dikemukakan dalam Surah Al-Ahqaaf ayat 19, Surah An-Najm ayat 39-41. Sungguh sangat menarik apa yang ada dalam Al-Qur'an yang tidak membedakan perempuan dengan laki-laki dalam tataran dan posisi yang sama untuk masalah kerja dan upah yang mereka terima, sebagaimana yang terungkap dalam Surah Ali’ Imran ayat 195.
Islam juga menganjurkan, untuk melakukan tugas-tugas dan pekerjaan tanpa ada penyelewengan dan kelalaian, dan bekerja secara efisien dan penuh kompentensi. Ketekunan dan ketabahan dalam bekerja dianggap sebagai sesuatu yang mempunyai nilai terhormat. Suatu pekerjaan kecil yang dilakukan secara konstan dan professional lebih baik dari sebuah pekerjaan besar yang dilakukan dengan cara musiman dan tidak professional. Hal ini sesuai dengan Sabda Rasullulah yang berbunyi “Sebaik-baiknya pekerjaan adalah yang dilakukan penuh ketekunan walaupun sedikit demi sedikit.” (H.R. Tirmidzi). Kompentensi dan kejujuran adalah dua sifat yang membuat seseorang dianggap sebagai pekerja unggulan sebagaimana yang dinyatakan dalam Surah Al-Qashash ayat 26.
Standar Al-Qur'an untuk kepatutan sebuah pekerjaan adalah berdasarkan pada keahlian dan kompetensi seseorang dalam bidangnya. Ini merupakan hal penting, karena tanpa adanya kompentensi dan kejujuran, maka bisa dipastikan tidak akan lahir efisiensi dari seseorang. Oleh karena itu, merupakan kewajiban bagi manajemen sebuah organisasi (perusahaan) untuk menempatkan seseorang sesuai dengan kompetensinya.
Berdasarkan ayat-ayat di atas, dapat disimpulkan, bahwa Islam mengajarkan SDM dalam sebuah perusahaan merupakan salah satu capital bukan sebagai cost unit. Dengan demikian, penanganan SDM sebagai human capital, bukanlah sesuatu yang baru dalam aktivitas ekonomi Islami.
Namun demikian, meskipun konsep sumber daya manusia sebagai human capital pada sebuah korporasi dianggap suatu hal yang positif dan merupakan faktor strategis dalam semua kegiatan institusi/organisasi, sering kali dalam kenyataan di lapangan, hanya menjadi istilah yang tidak sesuai dengan idealitas. Seiring berkembangnya era ekonomi baru, berkembang pula budaya yang menitikberatkan pada bottom line yang mengandung arti bahwa laba hari ini bukan laba jangka panjang, sehingga ketika menghadapi masalah maka perusahaan perlu mengambil tindakan cepat dan menentukan. Mempertahankan pekerja pada saat perusahaan bermasalah, dipandang sebagian pihak sebagai tindakan lemah hati dan rendah pikiran. Oleh karena itu, memiliki “pekerja tetap” dianggap merugikan dibandingkan dengan outsourcing, sehingga pekerja tidak lebih dari sebuah obyek sewa pelengkap produksi.
Banyak korporasi sebagai organisasi saat ini, telah melupakan visi dan misinya yang berkaitan dengan kepentingan manusia yang memiliki rasa kesetiaan. Kesetiaan usaha, tampaknya sudah merupakan sebuah nilai dari era yang telah lewat. Hal ini dapat berarti, bahwa angka penduduk bekerja bisa berkurang lebih cepat begitu kondisi ekonomi terpuruk. Akibat kesetiaan perusahaan kepada pekerja menurun, dan pekerja hanya sebagai obyek sewa (outsourcing) tidak heran keresahan pekerja terhadap kelangsungan pekerjaannya menjadi meningkat.
Perusahaan tidak semestinya, memperlakukan pekerja sebagai obyek sewa demi menaikkan nilai tunai investasinya di mata pemegang saham. Mengorbankan kepentingan pekerja untuk menaikkan nilai saham di mata investor adalah sebuah tindakan yang tidak bijak.
Tindakan memperlakukan pekerja hanya sebagai obyek sewa merupakan pelemahan pembangunan loyalitas sumber daya manusia. Bagi perusahaan yang ingin menjadi sebuah perusahaan jangka panjang dan bertahan dari masa ke masa, maka tindakan di atas akan dapat menjadi boomerang di masa depan. Rendahnya loyalitas sumber daya manusia akan menyebabkan tingginya cost of employee turn-over. Sudah saatnya, kita kembali kepada ajaran yang diajarkan Islam tentang human capital dan tidak menjadikan pekerja hanya sebagai unit cost guna mencapai cita-cita mengembangkan pembangunan ekonomi bangsa yang mensejahterakan umat.
KotaSantri.com © 2002-2024