HR. At-Tirmidzi : "Pena (takdir) telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering, apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa kemenangan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan."
|
Kamis, 3 Oktober 2013 pukul 20:00 WIB
Penulis : Yanti
Teh itu punya kekuatan magis, kawan. Ratusan tahun, bahkan ribuan tahun, teh telah menemani manusia menjalani kehidupannya yang seringkali tak mudah. Teh menjadi saksi jutaan kisah yang heroic, ironis, sampai pada kisah cinta. Secangkir telah menyaksikan jutaan kisah manusia. Tapi teh sendiri adalah produk ketimpangan pada masa lalu, bahkan mungkin sampai sekarang.
Teh ditanam secara besar-besaran di perkebunan yang sejuk. Ah, kalau bicara soal perkebunan, kawan, kita akan selalu menemukan sejarah kelam umat manusia. Di Amerika, Eropa, Asia termasuk Nusantara. Kisah perkebunan teh, Kopi hingga si manis tebu. Sulit kau temukan kisah cantik, selain cerita cinta para buruhnya yang jatuh hati karena sering bertemu. Lebih banyak cerita ketidakadilan di areal perkebunan. Tapi, berbeda dengan kopi yang terkenal merakyat, teh punya kisahnya sendiri. Konon teh itu minuman para intelektual dan kaum borjuis di masa lalu. Nah, kau tahu sendiri, kawan, betapa hidup kadang tak adil. Teh yang dibesarkan oleh tangan para papa tapi dinikmati oleh para pembesar.
Tapi tentu saja itu adalah masa lalu. Kini teh bisa dinikmati siapa saja. Kau bisa mendapatkan secangkir teh hangat di gelas kecil dengan harga seribu rupiah, seribu lima ratus rupiah untuk sebungkus es teh, dan kalau tak beruntung, kau akan membeli teh dengan harga dua ribu lima ratus dengan rasa yang sedikit asam. Sedikit serapah keluar dari mulutmu yang membuat rasa minuman itu semakin asam.
Teh tampak sederhana, kawan, tapi tahukah engkau di antara sekian banyak minuman di dunia ini, teh adalah minuman yang luar biasa. Seorang ratu Inggris saja punya waktu tersendiri untuk menikmati secangkir teh. Tak boleh sembarangan menikmati teh. Di Jepang, ada upacara minum teh. Jangan coba-coba sembarangan, kawan, kau akan dicap sebagai orang yang tak tahu adat. Upacara minum teh itu meliputi cara duduk, ada kostum yang harus dipakai, bahkan cangkir yang digunakan untuk laki-laki dan perempuan juga dibedakan. Upacara minum teh punya nilai yang tradisi yang dijunjung tinggi.
Tapi di balik kisahnya, teh adalah sahabat perasaan. Saat kau bahagia, kadang kau lupa menikmati secangkir teh. Kau lebih memilih untuk menikmati semangkuk es krim bertabur coklat dan kismis. Kadang kau memilih jus mangga segar atau Capuccino Ice. Namun, secangkir teh akan menemanimu melewati hari yang penuh luka kala cintamu berkhianat. Secangkir teh menemani air matamu di malam tak berbintang kala kau tak bisa tidur. Secangkir teh juga bersamamu saat kau tak tahu mengapa ada seseorang yang bersemayam di pikiranmu sementara kau tak ingin dia di sana. Secangkir teh akan bersamamu, saat kau tak tahu apa yang sedang berkecamuk dalam pikiranmu, saat orang-orang tertidur dan kau hanya sendirian.
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Yanti sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.