Bilik » Pena | Jum'at, 29 November 2013 pukul 23:00 WIB
Penulis : Muhammad Nahar
If i can say to somebody else, “I love you,” i must be able to say, “I love in you everybody, i love through you the world, I love in you also myself.” - Erich Fromm dalam The Art of Loving
Saya tertarik dengan masalah kemiskinan sudah sejak lama. Waktu masih sekolah, saya mengenal dan berteman dengan anak-anak orang kaya dan anak-anak orang miskin. Saat pulang sekolah, seorang teman sering mengajak saya pulang melewati kawasan kumuh di belakang sekolah. Saya mendapatkan pengalaman dan kesempatan melihat langsung keadaan orang-orang yang miskin di sana. Sehingga, setelah mengenal internet, sayapun berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sosial. Kegiatan-kegiatan tersebut diselenggarakan beberapa komunitas berbasis pengguna internet, baik para bloggers ataupun para pengguna jejaring sosial, seperti Multiply Indonesia, Relawan Pelangi, Komunitas Lebah, dan Yayasan Sahabat Peduli Generasi Mandiri. Dalam perjalanan tersebut, sayapun berkenalan dengan orang-orang dari berbagai latar belakang, namun sama-sama menyukai kegiatan sosial.
Sebagaimana manusia pada umumnya, ketertarikan antar lawan jenis bisa saja terjadi. Bukankah ada syair lagu “mulanya biasa saja, akhirnya datang juga”? Pertemuan saya dengan dia yang dicinta itu terjadi secara tiba-tiba. Saya sudah sangat tertarik pada orang itu saat pertama kali bertemu. Namun,seperti sudah bisa diduga, hasil yang saya terima adalah penolakan. Semenjak kejadian itu, saya sempat down secara mental dan emosional. Hari-hari saya hanya diisi dengan kemurungan, persis seperti syair lagu “but like a fool I keep losing my place and I keep thinking something gonna change” dari lagu Sometimes Love ain’t enough-nya Patty Smith. Hanya harapan kosong akan perubahan yang tak kunjung datang. Sayapun saat itu berada di persimpangan jalan antara yang benar dan yang salah, antara menerima kenyataan dan memberontak sampai berbuat nekad.
Namun, entah kenapa, semenjak saat itu saya malah termotivasi untuk belajar menulis lebih banyak tentang cinta. Sayapun lebih intens mendalami ajaran-ajaran Erich Fromm. Dalam ajaran-ajaran Fromm, saya temukan kombinasi yang menarik antara cinta antar pribadi dengan kondisi masyarakat. Cinta, menurut Fromm, adalah suatu seni yang agung dan indah yang memberi kekuatan pada sang pencinta untuk berbuat yang terbaik bagi yang dicintai tanpa mengharapkan balasan. Cinta bukan sekedar perasaan manja yang menuntut untuk terus menerus dipuaskan. Kata-kata sang filsuf pun banyak saya kutip dalam tulisan-tulisan saya tentang cinta. Tentu saja yang saya ambil adalah yang sesuai dengan keyakinan saya sebagai seorang muslim.
Akhirnya, saya menyadari bahwa patah hati bisa jadi adalah anugerah tersembunyi yang diberikan oleh-Nya. Anugerah itu membuat hati kita yang telah mengeras dan membeku menjadi lembut dan peka pada tanda-tanda kekuasaan-Nya. Musim dingin tersebut adalah kesempatan bagi kita “berhibernasi” dan berkontemplasi dengan relaks sebagai bekal menghadapi kehidupan yang akan datang.
Bukan tidak mungkin, orang yang menyebabkan kita patah hati sehingga menderita, nelangsa, dan sebagainya adalah “utusan”-Nya yang bertugas memaksa kita kembali ke jalan yang benar, jalan yang Dia kehendaki. Setelah tugasnya selesai, biarlah sang “utusan” pergi meninggalkan kita, tidak perlu kita mengejarnya. Kita tinggal meneruskan perjalanan di jalan yang Dia kehendaki, di mana kebahagiaan yang dijanjikan untuk kita menanti jika kita sabar meniti jalan lurus tersebut. Di antara kepingan-kepingan hati yang berserakan itulah saya temukan butir-butir mutiara pencerahan yang membuat saya mampu menuangkan apa yang saya pikirkan dan rasakan dalam bentuk tulisan.
Selain pengalaman yang saya alami di atas, berbagai kiat menulispun saya temukan di internet. Salah satu layanan pelatihan menulis yang saya ikuti adalah Newsletter Gratis Pintar Menulis dalam 9 Minggu. Di sana saya temukan kiat menulis bebas, yaitu mencurahkan apa yang ada di hati dan kepala terlebih dahulu dan mengedit hasilnya belakangan. Belajar menulis memang perlu proses, tetapi bisa dijalani oleh siapapun yang berminat mempelajarinya. Motivasi untuk menulis saya semakin terpacu saat membaca buku Cara Dahsyat Menjadi Penulis Hebat yang ditulis sahabat saya, pak Jonru.
Sayapun semakin yakin, bahwa dengan mengambil jalur pengabdian di bidang sosial dan kerelawan, pilihan saya tidaklah salah. Melalui pengabdian pada sesama, cinta itupun akan mewujud dengan sendirinya. Erich Fromm mengatakan, “Jika aku berkata aku mencintaimu, maka sesungguhnya aku mencintaimu dalam diri semua manusia, dalam diri semua yang hidup, dan dalam diriku sendiri.” Bahwa sesungguhnya kekasihmu berada dalam diri setiap manusia dan engkau akan selalu bisa berbuat baik dan memberi kepada kekasihmu melalui diri setiap orang. Kekasihmu mungkin tidak mengetahui kebaikan-kebaikanmu dengan sesama manusia, mungkin dia tidak akan pernah tahu. Namun, pancaran energi kebaikan itu cepat atau lambat akan mencapainya, mengetuk lembut pintu hatinya dan bukan tidak mungkin keajaiban demi keajaiban akan terjadi. Keajaiban yang tidak dapat dijelaskan dengan logika atau kata-kata. Begitu banyak orang-orang yang menderita di negeri ini, sehingga kita tidak akan pernah kekurangan kesempatan berbuat kebaikan.
Belajar menulis memang semata-mata melibatkan unsur intelektualitas. Bahkan pak Hernowo pernah menulis buku yang berjudul Menulis dengan Emosi. Judul itu membuktikan bahwa emosi adalah unsur yang sangat ampuh dalam menuangkan ide dan gagasan dalam bentuk tulisan. Emosi adalah kekuatan terpendam dalam diri manusia yang bisa digunakan untuk hal-hal yang membangun atau merusak. Dalam adegan film Enter The Dragon, Bruce Lee menasihati seorang untuk menggunakan Emotional Content dan bukan kemarahan dalam berlatih.
Saya sendiri berharap, para pembaca tulisan ini tidak sedang patah hati. Namun jika ada yang mengalami, maka akan lebih baik menggunakan momen tersebut untuk belajar menulis dan lihat saja hasilnya. Insya Allah.
KotaSantri.com © 2002-2024