Bilik » Pena | Jum'at, 15 November 2013 pukul 20:00 WIB
Penulis : Radinal Mukhtar Harahap
"Saya itu sama-sama mengikuti pelatihan kepenulisan dengan dirinya. Sama-sama berada di depan. Sama-sama mendengarkan penuturan narasumber, dan lain sebagainya. Tetapi kenapa dia lebih berhasil dan saya tidak? Dia lebih memahami hal-hal yang disampaikan narasumber! Ada apa dengan saya?"
Setidaknya kita pernah bertanya demikian ketika mengikuti pelatihan atau kelas menulis. Sama-sama mengikuti, sama-sama mendengarkan, sama-sama membayar, tetapi hasilnya, kenapa berbeda?
***
Dalam Zen ada sebuah cerita. Tersebutlah seorang profesor yang terkenal karena ilmunya begitu banyak. Kehebatannya adalah selalu memenangkan perdebatan tentang keilmuan dan selalu mengalahkan siapapun lawannya dalam perdebatan. Hingga suatu hari, profesor ini mendengar bahwa ada seorang master hebat di atas bukit. Rasa ingin tahunya muncul. Ia berangkat ke bukit tersebut dengan satu tujuan, yaitu menguji ilmu sang master. Lama ia berjalan, sampailah ia di tempat yang ia inginkan. Di hadapan sang master, profesor itu duduk lalu berbicara, "Ajari saya ilmu master."
Sang master hanya diam, lalu ia masuk ke kamar dan keluar lagi sambil membawa air teh hangat buatannya sendiri. Dituangkanlah air tersebut ke dalam cangkir hingga airnya tumpah ke mana-mana. Menyadari bahwa air itu tumpah, maka Sang Profesor pun berkata, "Airnya tumpah, Master."
Lalu Sang Master berkata, "Untuk apa aku ajari kau ilmu, bukankah kau datang dengan segudang ilmu yang kau miliki? Aku khawatir ilmu yang kuberikan padamu akan sia-sia seperti layaknya air yang tumpah di hadapanmu, wahai profesor."
Cerita di atas saya dapatkan dari buku Nanang Qosim Yusuf yang berjudul The 7 Awareness. Cerita yang beliau angkat sebagai pembuka dari 7 pintu menuju manusia di atas rata-rata dengan kekuatan hati dan jiwa. Konsep zero, begitulah beliau memberikan nama. Hal ini penting, dalam mencari kebenaran.
Begitu pulalah kiranya dalam hal belajar menulis. Dibutuhkan zero base. Dibutuhkan kekosongan diri dalam memulai menulis. Dan kosong di sini maksudnya adalah melepaskan diri dari faktor-faktor yang menghambat diri kita untuk menulis. Baik dari faktor takut dikritik, faktor malu jika ditertawakan teman, dan faktor lainnya.
Dalam kaitannya dengan pelatihan kepenulisan dan kelas menulis, ketika memasuki pelatihan dan kelas menulis tersebut, cobalah kita bayangkan diri kita adalah diri yang kosong. Diri yang belum tahu apa-apa tentang menulis. Diri yang belum tahu apa-apa tentang teori Ejaan Yang Disempurnakan. Diri yang belum tahu tentang kesulitan-kesulitan dalam menulis.
Dengan merasakan kekosongan tersebut, besar harapan, sebagaimana yang dikatakan Master dalam cerita di atas, ilmu-ilmu tentang kepenulisan yang akan kita terima dapat kita pahami secara menyeluruh. Tidak tumpah dan menyebar ke mana-mana.
Cobalah isi sebuah gelas yang penuh. Pilihan yang tumpah hanya ada dua. Isi yang asli, yaitu yang memang sudah ada di dalam atau isi yang baru kita tuangkan.
Begitu pulalah kiranya dengan belajar menulis. Hanya ada dua hal yang akan tumpah. Ilmu yang telah melekat pada awalnya atau ilmu yang akan diterima.
Tinggal memilih dan mengosongkan diri terlebih dahulu, dengan tujuan mendapatkan hal menyeluruh dari apa yang disampaikan oleh pemateri adalah hal yang lebih baik.
KotaSantri.com © 2002-2024