Ibn. Athaillah : "Di antara tanda keberhasilan pada akhir perjuangan adalah berserah diri kepada Allah sejak permulaan "
|
http://lakonhidup.wordpress.com | |
setta_81@yahoo.com | |
setta_81@yahoo.com |
Jum'at, 7 September 2012 pukul 14:00 WIB
Penulis : Setta SS
Mei 2003, buku Antologi Cerpen saya terbit. Lihatkan Bintang Untukku (DAR! Mizan), bersama Divisi Fiksi Forum Lingkar Pena (FLP) Yogyakarta. Dua cerpen remaja saya "Ada Apa, Dinda?" dan "Akhir Sebuah Sandiwara" termuat di dalamnya. Itulah buku antologi perdana saya.
Saya termasuk telat menggoreskan pena. Bahkan tidak pernah membayangkan sebelumnya akan memiliki buku yang berisi karya saya sendiri hingga lulus dari bangku SMA. Apalagi kemudian saya kuliah di eksakta.
Semua berawal dari formulir pendaftaran FLP yang ada di majalah Annida di tahun 2000. Saat saya duduk di tahun kedua di bangku kuliah. Sepucuk surat berisi blanko pendaftaran FLP yang sudah saya isi lengkap itu berbalas diterimanya saya sebagai anggota baru gerbong kepenulisan yang baru melebarkan sayapnya kala itu. Meski sejujurnya, saat itu saya hanya berbekal tekad dan belum menghasilkaan karya tulis apapun.
Mulai saat itulah, saya menggoreskan pena. Menulis fiksi. Tertatih. Otodidak. Tidak produktif. Tidak ada target. Mengalir saja. Hanya belasan cerpen yang saya selesaikan dalam rentang tahun 2000 hingga awal 2005. Ada yang dipublikasikan di media nasional. Tapi sisanya tak layak muat.
Setelah itu, saya bisa dikatakan off dari dunia olah kata, fiksi khususnya. Hanya sesekali menulis refleksi keseharian. Non fiksi. Apa yang saya rasa, lihat, dan dengar dari lingkungan sekitar. Ternyata itu jauh lebih sederhana daripada menulis fiksi. Tidak harus berimajinasi. Tulis saja apa adanya. Tentu, dengan tanpa meninggalkan referensi yang relevan dibaca untuk memperkaya tulisan.
Satu hal yang selalu saya coba praktekkan adalah menulis jadi. Apa maksudnya? Meskipun hanya sebuah refleksi/catatan harian sederhana, tetapi harus memenuhi standar kepenulisan yang layak baca/publish. Baik dari segi tata bahasa, logika cerita, dan rasa bahasanya itu sendiri.
Saya sering berkunjung ke blog seorang teman. Ia bekerja sebagai asisten peneliti di bidang Biologi. Diary online-nya tentang aktivitas keseharian dan dunia lab-nya enak dibaca karena dia menguasai bidang yang digelutinya itu. Namun, satu yang (sangaaaat) saya sayangkan, ia tidak menulisnya sesuai standar menulis jadi seperti yang saya terapkan tadi. Padahal, mungkin, kalau dia mau memolesnya dengan tata bahasa yang baik dan benar, layak untuk nampang di sebuah portal online yang mempublikasikan refleksi keseharian pembacanya.
Ya, kalau boleh saya simpulkan, menulis jadi itu menulis yang sekaligus mempunyai nilai jual/komersil. Jadi, jangan asal curhat doang deh. Biar kita juga punya buku. Right?
Juli 2008, buku antologi kedua saya lahir. Kali ini bertajuk Antologi Puisi dan Kisah Inspiratif Menggenggam Cahaya (eSKa Publishing House). Satu artikel refleksi keseharian saya termasuk di antara 19 artikel dan 31 puisi terpilih yang dibukukan dalam rangka milad komunitas Sekolah Kehidupan. Tidak sia-sia, aktivitas menulis jadi saya membuahkan buku antologi kedua.
Dan, awal Nopember 2008 lalu, buku ketiga saya kembali hadir di jagat perbukuan Indonesia. Ramadhan Tiba, Saatnya Wisata Kuliner Dunia (Erlangga). Sebuah Antologi Ramadhan bersama komunitas FLP Jepang. Alhamdulillah, sekali lagi, kebiasaan menulis jadi yang saya praktekkan berbuah manis.
Yuk, mari budayakan menulis jadi! Mengisi blog kita hanya dengan tulisan yang membawa pencerahan bagi siapapun yang membacanya. Sesederhana apapun itu.
Setuju?
***
8 Desember 2oo8 1o:02 a.m.
http://lakonhidup.wordpress.com
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Setta SS sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.