Ibn Qudamah : "Ketahuilah, waktu hidupmu sangat terbatas. Nafasmu sudah terhitung. Setiap desahnya akan mengurani bagian dari dirimu. Sungguh, setiap bagian usia adalah mutiara yang mahal, tak ada bandingannya."
|
http://aishliz.multiply.com | |
http://friendster.com/http://friendster.com/aishliz |
Kamis, 14 Mei 2009 pukul 21:14 WIB
Penulis : Lizsa Anggraeny
Dua belas empat puluh lima. Aku melirik jam di tangan. Tinggal lima belas menit menuju angka satu. Siang terasa perlahan dengan terik panas menyengat. Menunggu dalam peluh keringat, membuat tak sabar rasanya. Tachikawa, stasiun besar ramai pengunjung. Menyelusuri peronnya ada sekelebat kenangan. Seorang wanita paruh baya dengan wajah senyum, tubuh kurus, bercerita tentang masa silam.
"Bunuh diri?! Pernah nyoba beberapa kali tuh!" Pernah satu kali mimiknya dingin, dalam tatapan lurus. Bercerita tentang sebuah kehidupan nestapa dalam liku perjalanan. Suami meninggal karena kanker. Anak terlahir cacat mental. Kehidupan sulit penuh beban. Dalam gamang tak ada pegangan, bunuh diri adalah jalan singkat. "Bosan hidup," ucapnya menambahkan, sambil memperlihatkan beberapa bekas sayatan pisau di pergelangan tangan.
Suguro-san, aku memanggilnya demikian. Teman seperjalanan selepas acara ta'lim yang diadakan di sebuah masjid di sekitar Tokyo. Sering aku bertemu dengannya sekedar untuk meminjamkan telinga, menjadi pendengar keluh kesahnya. Berusaha memetik hikmah perjalanan hidupnya di jelang usia ke-60 tahun.
Memilih menjadi muslim, bukan keinginan hati. Pernikahan dengan suami kedua membawa jalan untuk berikrar dalam syahadat. Bersentuhan dengan Islam yang sama sekali tak pernah diketahui sebelumnya. Menyandang nama muslim hanyalah hiasan. Benturan-benturan dalam memahami prinsip keyakinan, perbedaan pemikiran, berbagai aturan wajib yang harus dijalankan, membuatnya terasa bagai terkungkung dalam sarang sempit. Hingga pada tahun ketiga, pertahanan kesabarannya runtuh. Mengantarkan pernikahan kedua kandas di tengah jalan.
Sesaat setelah perpisahan, ia mereguk kembali kebebasan. Menenggak beberapa minuman terlarang adalah keasyikan. Berbaur dalam hingar-bingar lampu klub malam adalah kegembiraan. Kepul asap rokok adalah pelepas penat. Lepas, bebas, tanpa terikat seruan wajib yang kadang menjemukan.
Hingga pada titik menjemukan, ia kembali didera rasa gamang akan kehidupan. Kesepian, sunyi tak ada teman sejati. Minuman berbisa tak lagi menjanjikan kesenangan, lampu hingar-bingar tak lagi terasa menggembirakan. Hatinya kering merindukan sesuatu. Mengurung diri dalam kamar, tertawa, lalu mengoceh sendirian, berbicara pada teman halusinasi menjadi kebiasaan. Ajakan bunuh diri dari sisi kelam, kembali muncul. Depresi! Orang-orang sering mengatakannya demikian.
Beberapa konseling terapi jiwa didatangi untuk berbagi. Tak lain hanya untuk mencurahkan penat kegamangan hati. Ingin ke luar dari ajakan diri untuk mengakhiri sisa hidup. Agar dapat memantapkan jiwa, optimis menghadapi hidup. Suguro-san lelah, tak tahu harus pergi ke mana untuk mendapatkan oase kesejukan hati.
Ternyata, Yang Maha Pemurah menunjukkan jalan. Dalam satu kesempatan tak terduga, langkah-langkah kaki Suguro-san mengajaknya pergi ke suatu tempat dengan bangunan kecil. Masjid, begitu biasanya orang-orang menyebut bangunan tersebut. Tepat ketika hari itu beberapa orang sedang berkumpul untuk mendengarkan siraman jiwa yang dibawakan oleh seorang muslimah Jepang. Untuk kali pertama mendengarkan lantunan ayat suci, hatinya bergetar dengan bulu kunduk berdiri.
"Hey! Bacaan apa ini?!" Ia tak memahami arti kalimat tersebut, tapi mendengarkannya begitu menyejukan. Di tempat itu, ia menemukan senyum, sapaan, pun jabat erat. Bahkan beberapa orang ada yang memeluknya hangat. Kerontang batin yang lama mengering terasa disimbah hujan sehari. Dan untuk mendapatkan semua itu, tak sepeser pun harus mengeluarkan uang. Senyum, jabat erat, pelukan, semuanya tanpa pamrih. Tak seperti beberapa terapis ataupun konseling yang didatanginya, semua berujung pada uang. Tak ada uang, tak bisa datang. "Inikah yang dinamakan muslim?" bisiknya dalam hati.
Rasa penasaran membawa Suguro-san untuk hadir kembali di pekan yang berbeda dalam kumpulan tersebut. Selain materi dan guru pembimbing, senyum, sapa, jabat erat, tidak ada yang berubah, sama seperti kali pertama ia datang. "Kesulitan hidup adalah ujian," seorang guru muda membawakan tema yang sama sekali tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Islam mengajarkan beberapa sikap optimis dalam menghadapi hidup, kegagalan bukanlah tanda hidup berakhir, kesenangan bukan pula berarti kegembiraan yang kekal, semua telah diatur bagai roda. Kadang di atas, kadang di bawah. Yang berhasil melewati ujian dengan kesabaran, mendapatkan balasan berupa surga. Sedangkan bunuh diri? Sesuatu perbuatan yang telarang. Menghantarkan ruh masuk ke neraka.
Surga? Neraka? Tempat seperti apa itu? Bukankah yang selama ini ia pahami, semua orang akan masuk ke tempat yang indah setelah menemui ajal? Termasuk orang-orang yang bunuh diri. Ia akan kembali reinkarnasi sesuai dengan yang diinginkannya. Berbagai pertanyaan yang berkecamuk, mengantarkan Suguro-san berusaha meluangkan waktu untuk dapat menghadiri rutin perkumpulan ta'lim di masjid tersebut.
Dan tak disangka, di pertemuan keempat, aku dan Suguro-san menjadi tiba-tiba sangat begitu dekat. Terlebih saat ia bercerita tentang usaha bunuh diri, perjuangannya membesarkan anak cacat, serta mencari nafkah serabutan sebagai cleaning service atau pun penyanyi karaoke di klub malam karena tak memiliki keahlian khusus.
Berjanji untuk bersama-sama pergi atau pun pulang lepas acara adalah sesuatu yang menyenangkan. "Jangan sungkan, anggap aku ibumu," pernah satu kali, sambil menyodorkan uang 5.000 yen ia berkata demikian. Tepat saat aku panik karena dompet raib tak ketemu sedangkan kartu langganan kereta tak terbawa. "Kita muslim, harus saling bantu, bukan?" ucapnya melanjutkan. Untaian kalimat yang tak pernah aku duga sebelumnya. Sejak saat itu, hubunganku dengannya bertambah erat.
Pukul tiga belas tepat. Di antara titian tangga turun, aku melihat wajah wanita yang sangat dikenal. Tersenyum sambil melambaikan tangan. Ini pertemuanku dengannya setelah hampir lebih enam bulan tak saling bersua. Padatnya aktivitas masing-masing, menyebabkan komunikasi hanya berjalan lewat saluran selular. Ada kerinduan mendengarkan langsung kisah perjalanan hidupnya. Melihatnya tersenyum menuruni tangga, terngiang kembali ucapan terakhirnya di seberang horn telpon, tadi malam.
"Rasanya, aku harus berterima kasih pada mantan suami keduaku. Tanpa aku sadari, syahadat yang sebatas terucap saat pernikahan, justru kini menyelamatkanku. Memberikan tamparan lembut bahwa hidup bukan untuk ditangisi tanpa sebab. Bunuh diri adalah bodoh. Aku menemukan mutiara termahal dalam hidup, yaitu menjadi seorang muslim."
Suguro-san, padanya terdapat banyak pelajaran. Menjadi seseorang yang dekat dengannya adalah kegembiraan. Mengingatnya, menyadarkan diri bahwa hidayah tak semata ditunggu, tapi perlu dicari. Dan untuk menggenggam hidayah tersebut adalah perjuangan yang tiada henti.
Terima kasih untuk cerita pengalaman hidup yang dapat menjadi pelajaran buatku. Begitu pun kisah keinginan untuk bunuh diri menjadi hikmah tersendiri. Semoga Allah Ta'ala selalu menghimpun kita dalam hidayahNya.
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Lizsa Anggraeny sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.