HR. Ahmad & Al Hakim : "Kemuliaan orang adalah agamanya, harga dirinya (kehormatannya) adalah akalnya, sedangkan ketinggian kedudukannya adalah akhlaknya. "
Alamat Akun
http://271724.kotasantri.com
Bergabung
12 Oktober 2009 pukul 03:38 WIB
Domisili
Surakarta - jawa tengah
Pekerjaan
Guru Swasta
ana tlah lulus dari MTs N Jatinom, Klaten, dan pernah aktif di FARISKA (Forum Aktifis Rohani Islam SMA/SMK/MA se-Klaten) ketika msh kelas 3 MTs slama kurang lebih 7 bulan, karna stlh lulus MTs ana melanjutkan d ma'had Ibnul Qoyyim, Sleman, Yogyakarta dan tlah lulus pd tahun 2010. Dan skrg nie, …
farieka@gmail.com
farieka@gmail.com
Tulisan Naflah Lainnya
Memperingati Hari Jadi
6 Oktober 2010 pukul 18:55 WIB
Kata Mereka : Al-Qur'an Tidak Suci
10 Juli 2010 pukul 20:13 WIB
Figur Seorang Ayah
13 Juni 2010 pukul 17:00 WIB
Pelangi
Pelangi » Risalah

Rabu, 24 November 2010 pukul 18:44 WIB

Menepis Kesombongan

Penulis : Naflah

Ketika ada teman yang memuji masakan kita, tanpa sadar bibir ini berucap, "Hem... Siapa dulu dong kokinya? Kalau bukan aku, mana bisa seenak ini?" Betapa ringan kalimat bermuatan kesombongan itu meluncur dari bibir kita.

Ungkapan-ungkapan yang lain yang biasa kita dengar, misalnya, "Untung ada saya, kalau tidak, wah bahaya!" Atau, "Antum kan ngajinya baru kemarin sore, sedangkan saya sudah bertahun-tahun!" Atau, Kalau bukan karena saya, mana mungkin semua itu bisa terlaksana!" Kalimat-kalimat tersebut menandakan adanya bibit-bibit kesombongan dalam diri yang mengucapkannya.

Sesungguhnya, sebagai manusia kita tidak sepantasnya berlaku sombong. Allah mengharamkan sikap sombong (merasa diri lebih dari orang lain, menganggap yang lain lebih rendah, dan menampakkannya). Kesombongan hanyalah milik-Nya. Hanya Dia yang berhak untuk 'sombong'. Tidak layak siapa pun angkuh dan sombong, sebab memang tidak ada yang dapat disombongkan. Meskipun memiliki selaksa kelebihan, kita pun tentu memiliki banyak kekurangan.

Dan, tak ada satu hal pun yang bisa kita lakukan sendiri, tanpa campur tangan orang lain. Misalnya, kita mau minum. Air itu, siapa yang menciptakannya? Siapa yang memasakkannya? Siapa yang membuat cerek dan gelasnya? Demikian juga kalau kita mau makan, pasti ada campur tangan banyak orang. Dari petani yang menanam padi, pembuat dan penjual lauk pauknya, dan sebagainya. Singkat kata, sebagai manusia kita selalu terkait dan perlu bantuan orang lain, jadi tidak layak berlaku sombong.

***

Agar Tidak Sombong

Kesombongan tak boleh hadir dalam diri kita. Karena berdasarkan sabda Rasul, orang yang memiliki kesombongan dalam hatinya meski sebesar biji sawi, ia tidak akan masuk surga. Jadi, bagaimana menepis agar tidak merasuki hati kita?

1. Senantiasa mengingat dan menanamkan keyakinan bahwa sombong dan ujub itu dosa. Bukan orang lain yang akan merasakan adzabnya dari Allah, melainkan diri kita sendiri.

2. Yakinlah, kesombongan tidak akan menambah apa pun selain kerugian. Tidak ada kan, orang yang suka pada orang yang angkuh dan sombong. Sebenarnya, seseorang yang sombong juga tidak suka bila ada orang lain berlaku sombong di depannya. Dia pun akan mengatakan "sombong amat" padahal, pada saat yang sama ia tidak sadar kalau dirinya juga menunjukkan sikap sombong. Mengapa ia tidak katakan pada dirinya sendiri, "Sombong amat kau!"

3. Sering-seringlah mengingat kelemahan diri sendiri, di setiap kesempatan. Misalnya saat santai, istirahat, bengong di kendaraan, sejenak menjelang tidur, atau kapan saja. Cobalah memikirkan kelemahan kita dibandingkan dengan orang lain. Dengan mengetahui kelemahan, insya' Allah akan muncul sikap rendah hati (tawadhu'). Sebaliknya, tanpa mengetahui kelemahan, seseorang akan merasa dirinyalah yang paling segala-galanya. Orang Sunda menyebutnya 'asa aing pangdadalina!' (merasa dirinya paling gagah laksana burung garuda). Hal ini tidak berarti tidak boleh mengetahui kelebihan diri sendiri. Memahami potensi dan keunggulan diri-sendiri tersebut jangan sampai melahirkan sikap menganggap rendah orang lain.

4. Jangan menolak kebenaran dari mana pun datangnya. Misalnya dari orang yang lebih muda, atau lebih yunior dari kita. Memelihara sifat sombong berarti membangun benteng penghalang datangnya kebenaran. Dengan adanya sombong, seseorang cenderung menolak kebenaran sekalipun telah jelas di depan mata. Padahal, menolak kebenaran berarti mengunci gerbang perubahan ke arah kebaikan yang bermuara kepada kebahagiaan. Jika demikian, kebahagiaan dunia dan akhirat, hanyalah sebuah angan-angan hampa.

5. Banyak-banyaklah mengingat kematian. Kematian akan menjemput siapa saja tanpa kita tahu kapan waktunya. Orang mati tak akan bisa berbuat apa-apa lagi, meski sekedar menggerakkan jari tangannya. Kelebihan apa pun tidak berarti apa-apa saat itu. Semuanya serba kecil di hadapan Allah Rabbul 'alamin. Bila seperti ini realitasnya, apa lagi alasan untuk menyombongkan diri?

6. Setiap kali muncul keinginan untuk sombong atau membanggakan diri, segeralah mohon ampunan kepada Allah Dzat pembolak-balik hati. Berlindunglah dari kesombongan, dan berdo'alah kepada Allah! Mudah-mudahan Allah mangabulkan.

Nah, mulai saat ini benih-benih kesombongan tidak boleh ada dalam diri kita!

Dikutip dari Majalah Elfata, Edisi 04, Vol. 10-2010

Suka
Naflah, bambang, dan yantie menyukai tulisan ini.

Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Naflah sebagai penulisnya dan KotaSantri.com sebagai sumbernya.

UmmuRaihanah | IRT, Wiraswasta
Inspiratif, banyak ilmu. Tampilan webnya sudah banyak berubah. Maju terus, tetap istiqomah. ;)
KotaSantri.com © 2002 - 2024
Iklan  •  Jejaring  •  Kontak  •  Kru  •  Penulis  •  Profil  •  Sangkalan  •  Santri Peduli  •  Testimoni

Pemuatan Halaman dalam 0.1289 Detik

Tampilan Terbaik dengan Menggunakan Mozilla Firefox Versi 3.0.5 dan Resolusi 1024 x 768 Pixels